Esai: H.B. Jassin Mengulas Senja di Pelabuhan Kecil


Catatan: H.B. Jassin mengulas sajak “Senja di Pelabuhan Kecil” untuk Horison, No. 4, Oktober 1966. Dari ulasannya kita bisa belajar banyak tentang bagaimana sajak yang bagus itu, juga bisa belajar bagaimana Jassin mengulas sajak dengan bagus. Esai ini bisa menjadi contoh dan jawaban pertanyaan, untuk siapa kritik ditulis? Ia ditulis untuk pembaca, untuk penyair lain yang mau belajar memperbaiki seni puisinya, juga untuk penyairnya sendiri (jika ia masih ada), agar ia bisa meninjau sajaknya, atau melanjutkan pencarian jika dengan kritik atas sajaknya ia teryakinkan bahwa ia telah berada di jalan puisi yang benar. Selamat membaca.  


Oleh H.B. Jassin

Senja di Pelabuhan Kecil

: untuk Sri Ajati

Ini kali tak ada yang mencari cinta
di antara gudng, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.

APABILA kita baca Sajak Chairil “Senja di Pelabuhan Kecil”, maka timbul suatu kerawanan di hati kita, suatu kesedihan yang dalam istilah klise dikatakan “tidak terucapkan”. Tapi Chairil justru mengucapkannya dan di sinilah kelebihannya sebagai penyair.

Apakah gerangan yang hendak diucapkannya? Itulah, kesedihan, kerawanan. Tanpa mengucapkan kata-kata “sedih” dan “rawan”. Hanya dengan melukiskan suatu keadaan yang menimbulkan rawan itu. Kita seolah melihat suatu pigura. Lukisan pemandangan di tepi laut, dengan Gudang-gudang dan rumah tua. Kapal dan perahu yang berlabuh tiada bergerak. Hari gerimis menjelang malam. Terdengar elang di kejauhan.

Tidak, bukan hanya lukisan obyektif belaka. Meskipun lukisan obyektif sajapun sudah akan menggugah rasa kita. Di tengah tamasya yang muram itu berjalan “aku” tanpa cinta dan harapan seorang dirinya sepanjang semenanjung.

Apakah latar belakang Sajak ini?

Keterangan di bawah Sajak memberikan kunci: Buat Sri Ayati. Siapakah Sri Ayati? Ia adalah seorang gadis yang tinggi semampai, warna kulitnya hitam manis, rambutnya berombak, kerling matanya sejuk dan dalam. Tidak ada agaknya pemuda sehat yang tidak akan jatuh cinta padanya. Lagipula ia seorang berpendidikan, mahasiswi Literaire Fakulteit (Fakutas Sastra), tahun 1941, yang pernah main sebagai Ken Dedes dalam drama Yamin Ken Arok dan Ken Dedes.Lawan mainnya Ken Arok ialah yang kemudian jadi Professor Oemar Senoadji. Takdir membawanya keliling-keliling di Balai Pustaka, Chairil sering datang ke rumahnya. Sampai ia pada suatu hari berkata kepada Chairil, “Ril, janganlah kau datang-datang lagi ke rumahku. Aku sudah ada yang punya.”

Maka runtuhlah harapan Chairil. Dan berjalanlah ia dengan hati hampa membawa dukanya ke Pasar Ikan. Suasana pelabuhan kecil di Pelabuhan Ikan waktu matahari hendak terbenam, itulah suasana yang paling sesuai dengan suasana jiwanya. Itulah suasana yang dilukiskannya akan menjelmakan keperihan hatinya ditolak oleh gadis pujaannya. Tidak, ia tidak pergi meleburkan dirinya ditengah orang banyak akan menghibur hati yang luka. Ia hendak berhadapan dengan hatinya sendiri, menyadari hakekat nasib manusia.

Perlukan pengalaman yang sama untuk menikmati sajak ini? Tidak. Kita boleh berpengalaman lain yang juga menimbulkan pedih dan rawan untuk mengenali kembali suasna dalam sajak ini.

Di sini kita berhadapan dengan suatu lukisan yang seolah-olah bicara sendiri. Bicara bukan menjelaskan, tapi menyarankan situasi, menghidupkan kembali suasana.

Bila membaca sajak-Sajak Chairil Anwar, selalu kita merasa terpesona dan tidak bosan-bosannya. Setiap kali kita membacanya, pikira kit mengembara jauh dan selalu kita menemukan sesuatu yang baru, atau sesuatu yang sebelumnya tidak kita lihat, atau kita lihat dengan mata yang lain dari sudut yang lain.

Bagaimana Chairil menghidupkan kembali suasana, situasi? Pertama dengan gambaran keadaan, seperti jelas di atas ini. Tapi gamabran tidak akan memancarkan daya haru yang demikian kuat, tanpa Bahasa yang mempunya tenaga. Dan inilah alat yang terutama dikuasai Chairil. Jiwa kita seolah mencari dari kebekuannya, dicairkan oleh tenaga kata-kata yang menghidupkan imajinasi kita.

Senja mengingtkan kita matahari akan masuk dalam peraduan, siang akan menjadi malam, terang akan menjadi gelap. Di waktu senja itu akan berakhir segala kesibukan,makhluk pulang mencari tempat untuk istirahat. Dan Chairil memperkhusus peristiwa senja ini, yaitu senja di pelabuhan kecil. Judul sajak menciptakan suatu dunia. Selain mengungkapkan suatu peristiwa, kata “senja” merdu dan lembut dalam pendengaran.

Perhatikan bagaimana Chairil dengan singkat tapi tepat menggambarkan situasi “Gerimis mempercepat kelam”. Kita terpikir mengapa gerimis mempercepat kelam? Hari sudah gelap. Karena hujan gerimis, hari yang sudah mulaigelap itu nampaknya lebih cepat menjadi gelap. Kata “gerimis” bicara sendiri. Karena bunyinya, karena asosiasi yang ditimbulkannya. “Kelam”, mengapa tidak “gelap” yang sama artinya? Karena ada beda antara keduanya. “Kelam: lebih merdu bunyinya, lebih sesuai dengan suasana jiwa orang bercint, meskipun cintanya itu tidak berbalas.

“Kelepak elang menyinggung muram”. Betapa tepat kata “kelepak” menirukan bunyi elang mengepakkan sayap dan sekali “kelam” mendapat artinya, dikuatkan oleh kata “muram”, yang menimbulkan asosiasi suram. Seluruh frase “kelepak elang menyinggung muram” adalah ungkapan puitis yang khas penemuan penyair dan artinya harus dirasakan dengan seluruh intuisi. Demikian pun kalimat berikutnya “desir hari lari berenang menemu bujuk pangkal akanan”. Secara prosais orang akan mengatakan: Hari yang mendesir lalu seolah menyongsong masa depan yang memanggil-manggil. Tapi Chairil tidak memerlukan begitu banyak kata-kata. Tiap katanya mempunya daya gugah yang gaib.

Dan hari malam yang gelap dan laut tenang dikatakan pula dengan khas cara penyair: “dan kini tanah dan air tidur hilang ombak”. Ya, tanah dan air tidur, tiada sesuatu yang bergerak, ombak pun hilang. Dan satu demi yang lain saling menyusul tiada tersadari, hingga penyair tidak merasa perlu menaruh koma antara “air tidur” dan “hilang ombak”.

Meskipun sajak ini hasil pengalaman Chairil, kita tidak merasa, bahwa pengalaman ini hanya pengalaman Chairil saja. Chairil telah mengangkat pengalamannya ke tingkat universiil, ke tingkat umum yang bisa dirasakan oleh semua orang sebagai pengalamannya sendiri. Keuniversiilan itu dicapainya dengan seninya, dengan puisi.

Jakarta, 28 Juli 1966.

3 thoughts on “Esai: H.B. Jassin Mengulas Senja di Pelabuhan Kecil

  1. Terima kasih, Pak. Sekadar saran, barangkali esai kritik sastra semacam ini dapat lebih sering dimuat. Bacaan bagus yang perlu dibikin mudah aksesnya. Hehehe

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *