Esai: Mencoba Memahami Apa Itu Sastra

Catatan Permenungan Seorang Awam 
Oleh Hasan Aspahani

ISTILAH “orang awam” saya comot dari Subagio Sastrowardoyo. Ketika menjadi pembicara kunci seminar “Menjelang Teori dan Kritik Susastra Indonesia yang Relevan”, ia membentang makalah berjudul “Mencari Jejak Teori Sastra Sendiri (Renungan Seorang Awam)”. Seminar itu diselenggarakan di Universitas Bung Hatta, Padang, Sumbar, 23-26 Maret 1988.

Saya memasuki dunia sastra sebagai seorang awam, belajar secara otodidak. Serabutan. Mungkin sebagian besar pelaku dan pegiat sastra di negeri ini pun memulainya dengan cara yang sama, kecuali yang memang berlatar pendidikan sastra.

Saya kemudian menyadari bahwa bakat menulis saya pun ternyata tidak cukup besar. Itu saya yakini setelah melihat, membaca, atau bertemu dengan banyak penulis muda dengan karya yang cemerlang, menembus media penting dengan mudah, apa yang harus saya lakukan dengan susah-payah.

Kalau Subagio yang bergelar M.A dari Department of Comparative Literature saja menyebut diri awam, dan menyebut makalahnya sebagai permenungan bukan pemikiran, apatah lagi saya, ya, kan?

Karena itu, maka saya selalu nyaman menganggap diri saya sebagai seorang awam, selamanya awam. Dengan keawaman itulah saya hendak terus bergerak, mencari jawaban dari pertanyaan mendasar seputar sastra yang terlanjur saya geluti dan saya cintai.

Sebagai awam saya berjalan seperti seorang pemulung dengan keranjang besar di punggung yang tak penuh-penuh. Saya memungut apa saja yang saya temukan di jalan yang saya anggap berharga. Kadang-kadang yang saya temukan hanya sampah, di lain waktu saya memungut sesuatu yang sedikit bernilai.

Dari buku Rene Wellek dan Austin Warren “Teori Sastra” (Gramedia, cet. 1, 1989)   saya mendapatkan sesuatu yang sangat membantu keawaman saya. Buku yang oleh Melani Budianta, penerjemahnya, disebut seharusnya diterjemahkan sepuluh atau dua puluh tahun sebelumnya – karena begitu penting nilainya untuk memahami sastra, dimulai dengan penegasan bahwa sastra dan studi sastra itu berbeda, dan harus dibedakan.

Sastra adalah kegiatan kreatif, sebuah aktivitas berseni-seni. Sedangkan studi sastra adalah cabang ilmu pengetahuan. Memang ada usaha mengaburkan perbedaan ini, ujar Wellek dan Warren. Tapi keduanya harus dipisahkan.

Sebagai pemulung awam, sepotong penjelasan itu adalah barang yang sangat bernilai. Saya bisa lepas dari beban kata “sastra” yang sebelumnya memberat dalam pikiran ketika saya menulis. Dan sementara itu saya juga tetap bisa membungkuk hormat pada studi sastra dengan segala perangkat teori dan kaidahnya.

Menulis puisi, aktivitas bersastra itu bagi saya seperti mengambil gitar dan duduk di bawah pohon lalu saya bernyanyilah. Saya senang, hati saya riang. Tak ada sepanel juri yang menanti saya di ujung lagu untuk menilai seberapa bagus saya bernyanyi.

Apabila ada seorang yang paham seni bernyanyi lewat di hadapan saya, lalu dia tertarik pada cara saya bernyanyi, dan mengatakan dengan tulus bahwa nyanyian saya bagus, saya tambah senang dan hati saya makin riang. Mungkin saja dia hanya berdusta dan sekadar menghibur, saya pun boleh menganggap pujian itu angin lalu.  

Nah, bagi saya yang awam ini, begitulah sastra sebagai aktivitas berkesenian saya jalani. Saya tak punya beban harus menguasai teori dan kaidah sastra lebih dahulu. Kebahagiaan pertama saya adalah karena saya telah menuliskan puisi-puisi saya itu sebisanya. Puisi-puisi yang saya olah dari pengalaman, dengan imajinasi, dan terpandu oleh nilai hidup saya. Serta dengan kesadaran bahwa bakat yang cekak, tapi Alhamdulillah, selalu ada minat yang menggebu untuk mengelutinya.

Kebahagiaan lain saya sebagai seorang penulis adalah adanya fakta sejarah bahwa karya sastra dihasilkan jauh sebelum ada studi sastra. Studi sastra itu justru lahir setelah ada karya sastra dan ada hasrat untuk lebih memahami karya sastra yang sekali lagi lebih dahulu ada.

Lebih memahami? Kenapa memakai frasa itu? Rupanya penulis sastra itu suka akal-akalan dan bermain-main ketika menuliskan karyanya. Dan bahasa, medium utama yang dipakai dalam aktivitas bersastra itu memang memungkinkan untuk bermain-main.

Mungkin menulis karya sastra adalah mengikuti dan memuaskan dua naluri dalam diri manusia: sebagai Homo signans (makhluk yang memaknai) dan Homo ludens (makhluk yang bermain).  

Apabila kata “bermain-main” saja terdengar terlalu awam, kurang keren, maka mungkin bisa diajukan istilah lain: bermain dengan konsep. Kemampuan menangkap situasi hidup chaotic menjadi konsep yang chosmic, untuk meminjam istilah Chairil, itulah yang memungkinkan bahasa – sarana utama sastra itu – berkembang.

Sapardi Djoko Damono dalam sebuah diskusi, mungkin lebih tepat talk show, pernah pula mengatakan bahwa baginya menulis puisi itu akal-akalan. Dengan kata lain tak perlu teori dan kaidah.

Subagio dalam makalahnya yang disebut sebelumnya menyebut nama Michael Rifaterre, seorang ahli semiotik yang teorinya banyak dipakai – bahkan dipuja-puji – di Indonesia. Kalimatnya mengingatkan pada Sapardi. “Secara ekstrem dapat dikatakan bahwa puisi itu tidak lain daripada sekadar permainan belaka,” ujarnya dalam “Semiotic in Poetry” (1984).

Rifaterre merumuskan teorinya setelah mempelajari sajak-sajak Stephane Mallarme. Sajak, ujarnya, adalah bentuk yang sama sekali kosong dari pesan dalam arti yang biasa, yakni tanpa isi emosi, moral, atau filsafat.

“Pada titik itu sajak adalah konstruksi yang seakan-akan tiada lain kerjanya daripada bereksperimen dengan tata bahasa teksnya, atau barangkali dengan gambaran yang lebih baik, suatu bentukan yang tidak lain daripada senam indah kata-kata, suatu kesibukan perakitan kata-kata,” ujar Rifaterre.

Apa jadinya kalau kaidah yang dirumuskan oleh Rifaterre setelah menelaah sajak Mallarme itu dijadikan pegangan untuk berkarya? “Kemandulan kreatif,” kata Subagio. Atau setidak-tidaknya menimbulkan sajak-sajak yang berupa permainan kata belaka. “Tanpa menghasilkan suatu pesan atau isi,” kata Subagio.     

Menemukan potongan pemikiran itu dan memasukkannya ke dalam keranjang di punggung saya membuat saya melangkah pulang ke studio kerja saya dengan hati enteng. Kesadaran sebagai seorang awam ternyata penting.

Kalau keawaman seorang penulis berkait dengan ketidaktahuannya pada teori dan kaidah sastra maka sesungguhnya sejak semula seluruh penulis pada mulanya adalah awam, bukan? Karena dulu teori itu meamng belum ada. Selain Rifaterre terhadap Mallarme tadi, toh William Empson juga merumuskan teori ambiguitas setelah menelaah karya Shakespeare.  

Kenapa atau buat apa studi sastra – dengan segala teori dan kaidah itu – dibikin? Teori sastra penting karena memang ada yang berharga dalam karya sastra yang dihasilkan oleh manusia penulis, yang menulis tentang manusia, untuk memahami hakikat hidup manusia.

Sastra, kata A. Teeuw, tepatnya ilmu sastra, adalah sebuah keanehan. Atau memiliki keistimewaan yang tak dapat dilihat pada cabang ilmu pengetahuan lain. Apa keistimewaan itu? “Objek utama penelitiannya tidak tentu, malah tidak karuan,” ujarnya dalam “Sastra dan Ilmu Sastra” (Pustaka Jaya, 1984).

Apakah sastra itu? Objek ilmu sastra itu? “Sampai sekarang,” ujar Teeuw, maksudnya tentu sampai ia menulis bukunya, “belum ada seorang pun yang berhasil memberi jawaban yang jelas atas pertanyaan dan paling hakiki, yang mau tak mau harus diajukan oleh ilmu sastra.”

Kok begitu? Teeuw menelusuri jalur yang bagi saya yang awam cukup membingungkan dan melelahkan mengikuti perjalanannya untuk  menjelaskan apa itu sastra. Ia menelusuri akar kata itu dari bahasa Latin, lalu bagaimana dari akar kata yang sama terhentuk berbagai variasi pengertian dalam bahasa di Eropa, membandingkannya dengan sastra dalam budaya dan bahasa Arab, Cina dan Melayu dan Jawa, apa yang kemudian bisa dianggap menjadi landasan sastra Indonesia hari ini.

Eh, tapi apa perlunya saya memahami itu? Urusan saya mula-mula cuma dengan sastra sebagai aktivitas. Lebih jelas lagi dengan upaya saya menulis puisi. Saya tidak sedang mendalami studi sastra yang oleh Wellek dan Warren dengan jelas dibagi tiga: teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Dengan segala kaidah dan teorinya. Apakah saya memerlukan itu untuk menulis?

Percakapan dan jawaban di Twitter antara seorang dengan Sapardi Djoko Damono mungkin ingin saya dudukkan dalam kacamata seorang awam seperti itu.

Seseorang awam bertanya, “untuk menulis sajak atau puisi itu ada kaidah-kaidah dasarnyakah? Atau mengalir saja apa yang ada di pikiran saat itu?”

Sapardi menjawab, “nulis saja, sastra itu tanpa kaidah.” Begitulah. Tapi, memangnya jawaban seperti apa yang kita harapkan dari sebuah percakapan sekilas di media sosial? Apa kita berharap Sapardi atau siapa saja pada posisi beliau lantas membuat sebuah utas menjelaskan apa itu kaidah sastra?

Saya ingat dulu mungkin dalam situasi sama dengan si penanya di Twitter itu, saya pernah bertanya lewat SMS, berkali-kali, berhari-hari. Mungkin beliau kesal tapi beliau terus saja melayani. (Baca buku “Menapak ke Puncak Sajak“; Koekoesan, 2009).

Apa yang salah pada jawaban itu? Pertanyaannya adalah soal menulis puisi. Artinya itu adalah aktivitas sastra, yang melahirkan karya sastra, bukan studi sastra, yang berujung pada teks berupa kajian sastra. Maka, menurut saya jawaban Pak Sapardi nan motivasional itu pas untuk memenuhi kebutuhan si penanya.

Sekali lagi menulis puisi atau cerpen atau genre lain, sebagai aktivitas kreatif dan rekreatif sastra, ranah seni itu, pada dasarnya memang tidak memerlukan teori atau kaidah apapun. Teeuw menegaskan, seorang penulis, adalah orang yang bergerak dalam tarikan ketegangan antara konvensi dan inovasi. Antara apa yang diam-diam disepakati dan diam-diam mengkhianati kesepakatan. Dan itu asyik.

Dan karena itu pula para akademisi sibuk dan asyik melakukan studi, apresiasi dan kritik bahkan merumuskan teori-teori baru yang segera akan keteteran dihantam karya lain yang melabrak konvensi. Saya membayangkan begitulah kehidupan sastra yang sehat itu.

Lalu dengan demikian apakah sastra? Saya merasa cukup berpegang pada pengertian sastra sebagaimana dikutip Andre Hardjana dalam “Kritik Sastra Sebuah Pengantar” (Gramedia Pustak Utama, Cet. 1, 1982). Ia mengutip William Henry Hudson dalam “An Introduction to the Study of Literature” yang menyebutkan bahwa sastra itu – “pengungkapan baku dari apa yang telah disaksikan orang dalam kehidupan, apa yang telah dialami orang tentang kehidupan, apa yang telah dipermenungkan, dan dirasakan orang mengenai segi-segi kehidupan yang paling menarik minat secara langsung lagi kuat – pada hakikatnya adalah suatu pengungkapan kehidupan lewat bentuk bahasa”.

Sebagai veteran wartawan saya serta-merta bertanya, apakah definisi itu bisa membedakan sastra dengan karya jurnalistik? Toh keduanya disampaikan lewat bahasa? Toh keduanya tentang apa yang dialami manusia?

Mungkin bedanya di unsur permenungan itu. Juga mungkin unsur aktualitas dan kebaruan dalam jurnalistik yang dinomor satukan. Tapi banyak hal bisa dipertanyakan lagi. Bagaimana dengan jurnalisme sastrawi?

Saya kira Teeuw ada benarnya atau benar adanya. Sastra sebagai objek studi memang tak jelas benar dan malahan, memakai kalimat dia sendiri, tidak karuan. Tapi tentu saja bukunya penting untuk dibaca untuk melihat bagaimana upayanya menata dunia yang tak karuan itu. Sangat membantu orang awam seperti saya, yang kadang suka juga membaca karya sastra (termasuk karya saya sendiri) dan merasa perlu sedikit pengetahuan tentang kaidah dan teori, apa yang tak saya perlukan benar ketika asyik menulis karya saya.

Jakarta, 12 Mei 2020

One thought on “Esai: Mencoba Memahami Apa Itu Sastra

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *