Esai: Pamflet

Esai: Pamflet

Oleh Hasan Aspahani

PAMFLET adalah sebuah risiko. Di Indonesia istilah itu menyeret ingatan orang banyak ke ranah puisi. Khususnya lagi kepada Rendra, kepada puisi-puisi yang ia tulis sepanjang 1971-1978 dan kemudian terbit dalam kumpulan “Potret Pembangunan dalam Puisi”. Penyair kita inilah yang mengambil risiko itu, menyandingkan puisi dan pamflet, melahirkan apa yang ia sebut puisi pamflet.

Puisi pamflet adalah oksimoron. Puisi bukan pamflet, pamflet bukan puisi.

Di Indonesia istilah pamflet lebih dekat dengan pengertian edaran atau selebaran, berisi imbauan, seruan, ajakan pada orang banyak. Bentuknya selembar cetakan diproduksi lekas dan massif berisi informasi darurat yang harus dengn lekas diketahui orang banyak.

Pamflet adalah selembar kertas murah dengan ilustasi Affandi diberi teks Chairil “Boeng Ajo Boeng!” lalu diperbanyak dan disebarkan agar orang banyak terbakar semangat untuk angkat senjata. Intinya propaganda.

Ada pengertian lain. Sutan Sjahrir memakai istilah itu untuk menyebarkan seruan politik perjuangannya, Oktober 1945. “Perdjoeangan Kita” atau dalam bahasa Belanda “Onze Strijd”, barangkali adalah pamflet politik paling terkenal dalam sejarah perjuangan bangsa ini.

Tentu pamflet Sjahrir bukan selebaran yang hanya selembar, juga bukan buku dengan isi yang mengandung argumen yang ruwet dan mantap. Pamflet Sjahrir merujuk ke isinya yang mudah dipahami, dan punya daya gugah. Intinya sama, juga propaganda.

Pamflet intinya tulisan ringkas, mudah dipahami, mudah ditangkap pesannya, mudah diperbanyak, mudah disebarkan secara luas. Pamflet adalah teks yang tidak atau jauh dari artistik. Istilah inipun agak arkais sekarang.

Maka puisi pamflet adalah oksimoron yang penuh risiko. Dan Rendra mengambil risiko itu. Ia menempuh jalan itu dengan perhitungan yang cermat.

Ketika menulis sajak-sajak yang ia sebut puisi pamflet, namanya sudah dan sedang melambung sebagai seorang penyair besar lewat sajak dengan metafora yang mistis dalam sajak “Khotbat” dan “Nyanyian Angsa”.

Itulah puncak lain dari pencapaian estetis Rendra setakat itu dan dia harus terus bergerak.

Ia tak mau terkurung di puncak itu dan tak melakukan apa-apa, ia memilih turun untuk menemui dan menyentuh publik yang lebih banyak. Karena ada kebutuhan untuk  itu.  Barangkali dengan itu pada periode kepenyairannya selanjutnya ia tidak mencapai ketinggian baru, tapi jelas ia menjadi besar, menjadi lebih besar.

Pamflet bagi Rendra bentuk yang bisa diolah. Ia sampai pada kesadaran hakikat bentuk dan isi. Bentuk baginya adalah jembatan yang menghubungkannya dengan publik seninya. Pamflet Rendra bukan pamflet, ia menulis puisi pamflet, ia menulis puisi dalam bentuk pamflet.

Puisi pamflet berangkat dari analisa dan gagasan. Ia tak bisa untuk menahan diri agar tak mengajukan protes. Ia gelisah melihat situasi sosial-politik-ekonomi, melihat kelaliman penguasa, dan ia ingin benar membangunkan orang-orang agar bersama-sama memberikan kesaksian atau situasi buruk itu. Dan melawan dengan jalan itu.

Dengan kemampuan artistiknya sebagai penyair Rendra tahu ia harus mengolah bentuk lain untuk gagasannya. Ia menyebut sajak pamfletnya bukan sama sekali bebas dari pemberdayaan perangkat puitika. Ia merombaknya.

Metafora misalnya, Rendra menyebut metafora yang dia pakai dalam sajak pamfletnya sebagai sesuatu yang berskema, plastis, dan punya kekuatan grafis. Mungkin ia ingin mempertentangkannya dengan metafora yang membawa pada situasi dengan pengucapan yang sublim dan imajis, dan jelas ia sebutkan  ia tak memerlukan kehadiran keremang-remangan misteri dan ambiguitas dalam sajak pamfletnya.

Ada yang berkata puisi pamflet Rendra bukanlah puisi. Tapi ya pamflet saja. Keduanya berbeda, berlainan hakikatnya, dan apabila dicampur, puisi yang mati. Ada yang berkata ketika menulis pamflet Rendra tak lagi menjadi penyair, dia menjadi propagandis.

Tapi Rendra menepis tudingan itu. Bentuk hibrida baru itu diterima, menjadi konvensi baru yang diterima luas dan jejaknya membekas dalam sejarah puisi Indonesia. Ia telah mengatasi risiko yang telah ia perhitungkan sejak semula.

Apanya yang baru? Bukankah penyair Lekra pada 1950-an,  ketika Rendra menyeruak dengan balada-epik,  sebelumnya juga menempuh jalan realis yang tak berbeda jauh dengan puisi pamflet Rendra?

“Orang-orang Lekra dulu tidak bisa mencapai publik besar karena mereka tidak mau berpikir serius mengenai “bentuk seni” dari gagasan mereka,” kata Rendra dalam makalah “Proses Kreatif Saya Sebagai Penyair” yang ia sampaikan dalam Temu Sastra 1982 di TIM.

Jakarta, 6 Juni 2021.

Bacaan: “Rendra Mempertimbangkan Tradisi” (Gramedia, Jakarta, 1984).

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *