Esai: Plagiarius

Plagiarius

Oleh Hasan Aspahani

SECARA etimologi (saya mengandalkan www.etymonline.com) dalam bahasa Latin kata “plagiarius” berarti penculik, perayu, penjarah, seseorang yang menculik anak-anak atau budak milik orang lain. Makna kata asal itu kemudian berbelok menjadi bermakna khusus untuk menyebut pencurian di dunia seni kreatif, lebih khusus lagi di bidang sastra. Soal perbelokan ini ada ceritanya, apa yang nanti saya sampaikan.

Plagiat sekarang kita pakai sebagai kata kerja yang berarti mencuri atau menyalahgunakan ide, tulisan, desain artistik, dll. milik orang lain, dan mengakuinya sebagai milik sendiri. Tindakannya disebut plagiarisme. Pelakunya disebut plagiaris atau di Indonesia lebih terkenal sebagai plagiator.

Ini ceritanya. Pada sekitar tahun 80 M, penyair Romawi bernama Martial memakai kata itu untuk menegur penyair lain Fidentius. Ada satu tradisi baik pada masa itu, yaitu para penyair dituntut untuk mengenali karya penyair lain, terutama karya-karya pentingnya. Fidentius pada suatu kesempatan tampil membaca karya Martial, tanpa menyebut dengan cukup baik bahwa itu adalah karya Martial, dan orang justru memuji-muji Fidentius.

Apa yang dilakukan Martial? Ia menulis syair untuk Fidentinus tentang pencurian itu, apa yang kelak terangkum dalam salah satu dari duabelas seri bukunya: Epirgrams. Dalam syair itu Martial menyebut Fidentinus sebagai “plagiarus”, seorang penculik. Diksi sindiran yang keras dan relevan hingga hari ini.

Kegusaran Martial terkait soal penghargaan pada karya dan penulis: pengakuan (berupa pujian) dan uang. Sejak itu, hingga sekarang, plagiarisme kita kutuk, pelakunya terhina, dan harus kita hukum secara moral terutama terkait dua hal itu: ia telah mencuri hak orang lain aats pengakuan yang pantas dan penghasilan dari karyanya.

Kepada Fidentius, dalam syairnya, Martial mengatakan kalau mau membacakan dengan menyebutkan dia sebagai pemiliknya maka dia akan mengirimkan dengan gratis, tapi apabila tak ingin menyebutkan apa yang dibacakan sebagai karya Martial, bayarlah, maka dia akan memberikan karya itu sebagai milik Fidentius.

Saya kerap ditanya soal ini. Banyak penulis baru yang mengaku takut atau malas menayangkan karya di medsos atau blog karena takut diplagiat. Itulah buruknya plagiarisme, bikin orang malas menyiarkan karya. Tapi saya selalu beri nasihat: jangan takut. Lihat sisi positifnya. Menulislah dan siarkan. Kalau ada yang memplagiat karya kita, mencuri karya kita, berarti ada yang berharga pada karya kita.

Plagiator – yang hanya bisa mencuri dan mencuri – tak akan pernah jadi penulis besar. Tapi bukan berarti kita harus beri ampun pada pelakunya, mereka harus diberi ganjaran, secara moral, juga secara hukum, mereka tak layak dihormati, sebab mereka sendiri toh telah merendahkan diri sendiri.

Dan dosa terbesar plagiator adalah karena mencemari etos dunia kreatif yang hanya akan maju bila pelakunya dengan sadar dan teguh mengandalkan kerja keras, pencarian, pencapaian, hasrat pada keaslian, dan penghargaan tinggi pada kebaruan.

Bacaan: Jonathan Bailey; ‘5 Historical Moments that Shaped Plagiarism”; www.turnitnin.com.

Sumber: Mata Puisi, April 2021.

2 thoughts on “Esai: Plagiarius

  1. Bagaimana dengan parafrase? Seberapa besar kadar kesalahan pelaku parafrase sastra?

    Apakah pelaku plagiat tidak bisa dimaafkan? Fakta yang ada tidak seperti itu. Chairil pernah ‘terjatuh’ pada dosa ini, tapi ia segera beranjak dan menumbuhkan kreativitasnya (yang progresif pada jamannya). Voila, ia pun kita kenal sebagai tokoh angkatan 45 dan sebagai dasar lahirnya hari puisi nasional dan hari puisi Indonesia.

    Pada penyair besar lain, saya pun tak yakin mereka lepas dari dosa plagiarisme, atau minimal parafrase. Khalayak saja yang segan menuduh mereka melakukan dosa itu saat menemukan kemiripan karya mereka dengan penyair lain di belahan dunia lainnya.

    Salam.

    • Tahapannya saya kira adalah: tak sadar terpengaruh, dengan sadar mengambil pengaruh, dengan mahir mengolah pengaruh, lalu dengan kuat menghasilkan otentisitas… Chairil ada pada tiga tahap terakhir itu. Saya bahas soal itu dalam satu bab di buku saya “Chairil”. Ini juga kutipan basi: penyair yang cupu meniru, penyair yang kuat mencuri (tanpa jejak). – HA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *