Esai: Frischa dan Tanda Bagi Waktu

Oleh Hasan Aspahani

YANG segera menjadi perhatian saya ketika pertama kali membaca sajak-sajak Frischa Aswarini di buku “Tanda Bagi Tanya” (Gramedia, 2017) adalah waktu. Ada semacam obsesi laten terhadap waktu. Yang paling mudah mendukung dugaan saya itu adalah pemakaian kata-kata yang menandainya. Pada judul misalnya, kita menemukan: Petang Penuh Pujian, Oktober di Laberge, Sekolah Hari Pertama, Sebuah Pagi bagi Kakek, Dini Hari, Puisi Oktober. Tujuh dari 33 puisi di buku ini memakai kata yang secara longkar bisa kita anggap berkolokasi dalam hal-hal yang menandai waktu: petang, Oktober, hari pertama, pagi, dini hari. Kecenderungan itu menegas di tubuh puisi. Mungkin saya tak terlalu cermat, tapi sepenelusuran saya, hanya dua sajak yang tak mengandung kata yang bisa saya anggap sebagai penanda waktu.

Sampul “Tanda bagi Tanya”.

Maka, keasyikan saya mula-mula adalah menandai itu. Dan bertemulah saya dengan: kenangan pada masa lalu, silang masa silam, bila sudah waktunya, lewat pukul empat, laparku terbit sebelum matahari, Desember lalu,menanti musim semi, sebelum tutup bulan, tiga puluh malam sebelum Natal, abu hari berembus, 70 tahun sejarah kelam, kenangan klasik di waktu kanak, apa yang lampau dan sekarang, pada pagi yang kudus, sejak awal memilih kayu, sejak mula mendapat wahyu, sekali waktu begitu tanda petang dibunyikan, “sudah waktunya,” pada tetua berkata, minggu pertama bulan baru…. ini baru penemuan hingga halaman 38, sajak ke-13. Sajak terakhirpun mengandung bait ini: …seperti sajakmu, walau malam khusyuk.

Lalu apa artinya perhatian pada hal-hal pada taraf struktur fisik itu? Pada diksi itu? Sebagai pembaca saya tak perlu memastikan apakah itu operasi teks yang dilakukan dengan sadar atau tidak oleh penyairnya, karena puisi-puisi itu telah menjadi milik saya untuk saya nikmati. Kenikmatan pertama yang tersuguh di hadapan saya karenanya adalah kohesi dan koherensi teks, baik di dalam sajak maupun antarsajak dalam buku ini. Ada gagasan besar yang secara konsisten dan halus dihadirkan oleh penyair. Dan itu berhasil. Waktu, perkara besar itu, sangt mudah jatuh menjadi ungkapan basi jika tidak diolah dengan cermat. Frischa lolos dari perangkap klise itu.

Buku puisi adalah galeri bagi pelukis. Pelukis datang untuk berpameran di galeri. Ia datang ke sana dengan konsep. Ia ingin berkomunikasi dengan para pengunjung galeri yang ingin mengapresiasi lukisannya. Dengan amsal itu, pada kekuatan konsep itulah sesungguhnya kualitas seni puisi dipertaruhkan, dan reputasi kepenyairan ditunjukkan. Bisa saja seorang penyair hanya ingin mengumpulkan puisi-puisinya setelah sekian tahun menulis. Dan itulah konsep paling sederhana dan mudah. Di tengah masa di mana penyair semakin banyak, kesederhanaan seperti itu bisa jadi dipandang sebagai ketidakmampuan untuk menggarap puisi dengan mengerahkan energi kreatif lebih hebat.

Kecenderungan buku-buku puisi kita pada beberapa tahun belakangan ini datang dengan konsep tema yang khas, sempit tapi dalam. Kedalaman, itulah tantangan kalian, kata Sutardji Calzoum Bachri pada suatu kali ketika seorang penyair muda bertanya padanya tentang apa yang harus mereka lakukan.
Tema berulang. Penyair muda tak bisa mengelak dari tema yang sudah digarap oleh penyair sebelumnya. Dan kini tampaknya PR itu dikerjakan dengan baik. Ada penyair yang menggarap tafsir atas keseniah tradisional ludruk, permainan anak-anak, kehidupan ibu rumah tangga, tanggapan atas mitologi, tentang dunia makanan, tentang kopi, tanggapan atas reformasi mengecewakan, tokoh terlupakan dalam sejarah, dan bahkan puisi yang ditulis untuk seorang tokoh fiktif dalam sebuah film.

Frischa, penyair kita ini lahir, besar, kuliah, menetap dan menulis di Bali. Karena puisi adalah strukturisasi dari pengalaman, imajinasi, dan nilai-nilai penyairnya, maka adalah menarik karenanya, untuk membandingkannya dengan penyair-penyair dari Bali (dan perempuan) yang sudah kita kenal sebelum dia, yang bisa dengan longgar kita anggap bahwa ada sesuatu yang sama yang melingkupinya untuk memiliki sejumlah tata nilai yang juga sama.

Dari perbandingan itu, kita bisa tempatkan Frischa pada suatu posisi yang khusus, yang berbeda. Dalam sajak-sajaknya tidak terasa ada ketegangan terhadap adat yang kuat, yang pada penyair sebelumnya dipertanyakan bahkan digugat. Kita ingat Pranita Dewi yang dalam sajaknya menyebut bahwa perempuan Bali adalah pelacur para dewa, yang waktunya sebagian besar terikat atau dipersembahkan kepada ritual dan adat.

Frischa bukannya tak menggarap tema itu. Tetapi sajaknya yang bersentuhan dengan religiositas itu terasa berdamai atau dihadapi dengan ringan saja. Tak ada nada gugatan. Ia menulis: … dan junjunglah doa ini / hingga tak ada dewa yang memberimu dosa. Dan pada sajak yang sama (“Petang Penuh Pujaan”, hal 3-4): … menarilah, Saudaraku / seperti nyanyian surgawi / seperti ingatan pada leluhur / yang tak kuasa / tiada.

Ironi dan kontras yang manis bukan? Berdoalah, sehingga tak ada dewa yang memberi dosa. Hei, bukankah berdoa itu justru mmpertegas keberadaan dewa yang menghukum dengan dosa dan memberkati dengan pahala? Tetapi keinginan untuk meniadakan dewa itu, dan kepatuhan untuk menjunjung doa itu dilakukan sebagai kepatuhan (ingatan) pada yang lebih dekat, yaitu leluhur yang tak bisa ditolak keberadaannya.

Didalam lingkup adat yang (masih) kuat itu, Frischa tampak melenggang dengan ringan. Ia tak lari dari sana untuk menghindarinya. Tetapi ia memilih menautkan perhatian pada hal-hal lain yang menggelisahkan dia.

Dia melihat dan mencatat persoalan kehidupan yang ia temukan dalam perjalanannya ke berbagai tempat, kampung, kota lain, dan negeri lain, yang tampaknya cukup memberinya bahan yang kaya untuk sajak-sajaknya tanpa harus menghadap-hadapkannya dengan kebaliannya, jika boleh mengatakan faktor nilai  itu ada.

Imaji kota besar, kota-kota asing, dan desa-desa di Bali digarapnya dengan ketertarikan yang sama. Badut dan tukang sapu ia garap ia beri perhatian seintens perhatiannya pada penyair besar Rendra yang ia ziarahi makamnya.

Posisi Frischa terhadap dunia dan puisi jelas. Ia ingin menawarkan sesuatu yang berbeda. Dan itu benar dan harus. Setiap penyair harus punya kesadaran untuk menyinambungkan tradisi perpuisian modern Indonesia, di mana ia berdiri di ujung jalan setapak penjelajahannya sendiri sendiri, untuk mencari,  menemukan, dan menawarkan keberbedaan, dan terlebih lagi apabilaitu itu adalah kebaruan. Frischa memiliki kesadaran  itu.  Aku tak bisa menulis sajak seperti sajakmu, katanya.

Dia jelaskan bahwa dia adalah seseorang yang menatap potret anak muda (yang harus kita anggap adalah dirinya sendiri yang mewakili generasinya) yang dan melompat dari pigura (simbol kultural yang telah lebih dahulu ada). Berlarian di bawah nyala lampu yang menerangi pertanyaannya (punya bahan dan kemampuan untuk mempertanyakan lagi apa-apa yang jadi konvensi). Dan, dunia, baginya, menampung dongeng indah, yang belum terbayarkan oleh kenyataan. Kalau pun kemudian dia menanggapi dunia itu dengan puisi, sesungguhnya dia sendiri gamang, “apa (dengan) puisi (saya sudah) cukup puas menyadurnya?”

Parafrase dari sebagian bait dalam sajak “Asmayatra” – sajak terakhir yang ingin saya baca sebagai pengantar (buku ini memang tanpa pengantar) yang menjelaskan sikap atau konsepnya menghadirkan puisi-puisinya di galeri eh buku pertamanya ini, sekaligus menunjukkan kemampuan berpikir meditatif Frischa, apa yang penting sebagai bekal untuk menjadi penyair yang kuat.

Aku telah jatuh hati
pada sajak banyak penyair
dan membiarkannya
jadi pakaian penghangat
yang belum sempat kutanggalkan

Tetapi aku tak tahu
dengan baju apa harus kutemui
puisi paling murni dalam diri

Pakaian penghangat itu, yang tentu saja nyaman di tubuh puisinya, bukannya tak bisa ia lepaskan, hanya belum sempat ia tanggalkan. Dan yang penting ia tahu, dengan baju apa ia harus menemui puisi yang paling murni yang datang dari dalam dirinya. Rasanya kita juga tahu, pakaian seperti apa itu, dari sajak-sajaknya yang bagus telah menandai (dan memaknai) waktu di buku ini.

Jakarta, Juni 2018

2 thoughts on “Esai: Frischa dan Tanda Bagi Waktu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *