Esai: Tentang Kewibawaan Kritik

Oleh Goenawan Mohamad

            Ada sesuatu yang tak memuaskan, kurang lebih. Pemikiran dan pembicaraan tentang kritik sastra Indonesia belakangan ini mengulangi lagi sebuah perasaan lama: perasaan tak puas, yang umumnya dikemukakan dengan cara-cara yang tak memuaskan pula, dalam diagnosa-diagnosa yang kabur.

Wiratmo Sukito (1968), di akhir Oktober 1968 menyatakan, “Keadaan hidup sastra kita dewasa ini sangat memberi kesan kepada kita, bahwa kekuatan politik masih tetap digunakan untuk menentukan kritik sastra. Apabila hal ini dilakukan oleh publik sastra adalah keliru untuk melemparkan kesalahan kepada mereka, karena yang merupakan persoalan pokok ialah tiadanya wibawa kritik sastra dalam masyarakat.”

Lalu kepada siapakah kesalahan harus dilemparkan? Kepada para kritisi? Saya kira tidak bisa! Selama hidup kesusastraan masih seperti sekarang: pulau kecil di lautan masyarakat yang tidak membacanya, selama itu pula segala suara dari dalam wilayah itu — termasuk suara kritik sastra — hanya akan sampai pada radius beberapa meter di sekitarnya.

Dan keadaan semacam itu, kiranya siapapun tahu, bukanlah lantaran kesalahan kritik kita semata-mata. Jika wewenang kritik sastra Indonesia dewasa ini sudah bukan lagi wewenang kritikus sastra, melainkan sudah diambil orang lain — kekuatan-kekuatan politik, organisasi-organisasi massa yang ingin bertindak menghukum cerita pendek — itu terutama disebabkan oleh hal-hal di luar kemampuan kesusastraan. Kesusastraan, termasuk kritiknya, dalam masyarakat macam apapun kini, punya batas sendiri bagi pengaruhnya. Penyair beserta kawan dan musuh-musuh sekerjanya dalam praktek tidak pernah jadi legislator dunia.

Teristimewa, bagi dunia kita. Bukan saja karena kontak antara para penghasil kesusastraan dengan konsumen-konsumen yang di luarnya masih dihubungkan oleh infrastruktur yang kalang-kabut — kesulitan serta mahalnya ongkos penerbitan adalah salah satu di antaranya — tetapi juga karena bermacam-macam sebab lain. Kehadiran kesusastraan modern di antara kita, yang sendirinya adalah satu pertanda perubahan sosial, tidak segera diikuti oleh perubahan-perubahann sosial yang merata.

Sejak dari puisi Roestam Effendi hingga Chairil Anwar, sejak dari “Siti Nurbaya” hingga “Pertempuran dan Salju di Paris”, kesusastraan kita merupakan kegelisahan pemberontakan terhadap ikatan-ikatan kolektif masa lalu. Namun apa boleh buat, hingga kini pun ikatan-ikatan kolektif itu masih demikian kuatnya. Bagaimana pula seorang atau beberapa orang penulis kritik sastra akan dengan gampang mencegah wewenangnya direbut oleh kekuatan-kekuatan kolektif penjaga masa lalu kita itu?

Kewibawaan kritik sastra kita di masyarakat sekarang ini tidak ada, karena ia belum pernah ada. Dan jika hal inilah yang dikehendaki oleh Wiratmo Sukito, saya pun ragu adakah kehendak itu akan terlaksana.

Oleh sebab itu Wiratmo Sukito seharusnya tak perlu kecewa dan menyalahkan para kritisi kebudayaan kita selama dua tahun ini “tidak membawa kemajuan apa-apa bagi usaha menegakkan kewibawaan kritik sastra dalam masyarakat”. Jika inilah soalnya, maka sebenarnya kita tak bisa berbicara tentang “kegiatan kritik sastra Indonesia dewasa ini”.

Barangkali lebih cocok dengan kenyataan jika kita berbicara tentang masalah kewibawaan kritik di tempat lain: dalam khalayak kesusastraan sendiri. “Seorang kritikus sastra,” kata Wiratmo Sukito, “harus melakukan kontrol atas kegiatan-kegiatan dan prestasi-prestasi sastra.”

Seorang komentator politik yang produktif ini dengan demikian hendak menganalogkan fungsi kritikus dengan seorang legislator, para sastrawan sebagai “pemerintah” dan pembaca-pembaca kesusastraan sebagai “masyarakat”. Analogi memang bukan persamaan, tetapi analogi Wiratmo Sukito -gampang sekali membawa kita, dan terutama membawa dia sendiri, pada kesimpulan-kesimpulan yang ganjil.

Seorang kritikus bisa mentahbiskan seorang menjadi pengarang dan mungkin (meskipun saya amat ragu) bisa memakzulkannya. Memang itu semua bukanlah fungsinya yang tepat. Seorang kritikus mungkin bisa amat berwibawa dalam khalayak sastra yang tidak besar jumlahnya, namun kewibawaan itu adalah hasil berlebih. Seorang kritikus bukanlah guru kepala. Ionesco bahkan menempatkannya dalam kedudukan sebagai “murid suatu hasil-kerja”. Meskipun saya tidak sepenuhnya setuju pendapat ini, paling tidak saya tak bisa mengatakan seorang kritikus sebagai Paus.

Penamaan “Paus Sastra Indonesia” kepada H.B. Jassin oleh Gajus Siagian (?) yang diterima sejak beberapa tahun ini bagi saya terasa sebagai suatu cemooh terhadap masyarakat sastra kita: di dalamnya terkandung impian untuk berlindung di bawah pengayoman otoritas dan taklid pada keputusan seorang tokoh. Dan sebagaimana ternyata dari kenyataan, impian itu telah dilaksanakan secara beramai-ramai.

Kita mengangkat H.B. Jassin menjadi semacam guru kepala sekolah pengarang-pengarang. Orang datang kepadanya untuk minta pengakuan diterima.

Penghormatan semacam itu juga merupakan suatu beban. Sebab dengan demikian kita merenggutkan dari sang kritikus satu kemungkinan dalam hak kreatifnya: kemungkinan untuk salah dan gagal.

Dan kegagalan itu bukannya sesuatu yang tak bermanfaat. Suatu kegagalan kritik akan memberikan kesempatan penilaian kembali dari pihak lain: hal ini memelihara hubungan tegang yang lazim dan mesti ada antara sastrawan-sastrawan di satu pihak dan para kritisi serta publik sastra di pihak lain. Wiratmo Sukito menginginkan ketegangan semacam itu “tidak perlu terjadi”.

Pada hemat saya, ketegangan itu bukan saja akan selalu mengingatkan kembali bahwa sesuatu yang penting — yakni, kegiatan-kegiatan sastra — sedang terjadi. Tapi pun dengan begitu suatu tradisi percaturan pendapat yang terus-menerus antara pelbagai pihak tumbuh. Pada hemat saya, justru di sinilah terciptanya momentum-momentum kreatif yang perlahan-lahan akan menjalar ke masyarakat umum.

Itulah sebabnya, ketidak-puasan terhadap situasi kritik sastra kita seperti yang terasa kini tidak dengan sendirinya mengharuskan beberapa kritisi untuk mundur. Bahkan tidak dengan sendirinya mewajibkan mereka untuk mengubah pendirian-pendirian yang mereka pegang. Kedudukan mereka bukanlah kedudukan wakil rakyat atau menteri. Betapa pun gagal, betapa pun buruk, mereka tetap merupakan unsur dalam perdebatan bersama. Karena itu saya tak bisa berseru, seperti Wiratmo Sukito: “Tokoh-tokoh yang gagal, silakan mundur.”

Lagi pula, kegagalan seorang kritikus tidak ditentukan oleh kegagalannya untuk mencegah kritik sastra digantikan teror dan paksaan. Kegagalan kritik bahkan antara lain ditunjukkan oleh kegagalannya menumbuhkan keberanian dalam diri pengarang: bukan saja keberanian terhadap teror dan paksaan, tapi juga keberanian untuk meragukan segala hal — termasuk keputusan penilaian kritik.

Sebab yang kita butuhkan kini dan untuk seterusnya bukanlah kewibawaan kritik. Yang kita butuhkan adalah usaha pencarian nilai yang tetap diteruskan.

 

BACAAN

Sukito, Wiratmo. 1968. “Kegagalan Kritik Sastra Indonesia Dewasa ini.” Harian Kami, 30 Oktober 1968.

Sumber: Horison No. 11, Th. III, November 1968

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *