Esai: Tujuh Petuah Rendra

Tujuh Petuah Rendra

Oleh Hasan Aspahani

 
PADA seni ada bentuk dan isi. Keduanya sering dipertentangkan justru karena pertimbangan-pertimbangan di luar kesenian. Ada sekelompok seniman yang karena aliran politiknya memuja isi dan tak peduli pada bentuk. Ada sekelompok seniman lain yang sibuk mengejar bentuk, mendewakan percobaan-percobaan seni untuk mendapatkan bentuk yang unik. Bagaimana baiknya? Enam pasal berikut ini disarikan dari kertas kerja Rendra dalam Temu Sastra 1982, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, lantas dimuat pula di Kompas. Penjelasannya sepenuhnya adalah tafsiran saya. Anda tentu berhak punya penafsiran sendiri.

Pasal 1. Bentuk seni tak pernah terlepas dari kaitannya dengan isi seni, tetapi ia tidak mutlak dan dogmatis, melainkan selalu dinamis dan berkembang.

Penjelasan: Isi seni yang belum diberi bentuk adalah gagasan di kepala seniman yang belum dituliskan. Bentuk seni yang tak diberi isi hanyalah latihan menulis, atau karya iseng. Dulu, di zaman neoklasik Eropa, gagasan besar selalu dituliskan dalam bentuk puisi, saat itu bentuk itulah yang dianggap paling baik dan tepat. Sama halnya dulu di nusantara nasihat sebagai “isi seni” selalu disampaikan dalam “bentuk” syair atau pantun, pada masa itu itulah bentuk yang paling disukai. “Bentuk seni” berkembang, dan dikembangkan oleh seniman. Seniman ditantang untuk menawarkan, menciptakan, dan menemukan bentuk-bentuk seni baru, selain memakai dengan baik bentuk-bentuk yang, atau menghidupkan lagi bentuk yang sudah dianggap mati.


Pasal 2. Seniman harus mempunyai pengalaman melakoni dan menghayati perkembangan “bentuk seni” yang beragam.

Penjelasan: W.S. Rendra adalah contoh nyata dari apa yang ia petuahkan ini. Ia menulis naskah drama, ia menyutradarai, ia menjadi pelakon, ia menulis cerita pendek, ia menulis kritik, dia menulis puisi, dia membacakan puisi. Semua ia lakoni dengan sungguh-sungguh. Keberagaman penghayatan bentuk-bentuk seni itu meluaskan pandangan dan wawasan si seniman.


Pasal 3. Seniman harus punya disiplin untuk tidak mengabdi pada “bentuk seni” tertentu, melainkan harus menguasai daya kekuatan seni yang beragam yang mampu melayani kebutuhan dinamisme isi rohani dan pikiran.

Penjelasan: Dari bentuk-bentuk seni yang dikuasai seniman harus ia dapatkan inti kekuatan seni itu. Bila inti kekuatan seni itu sudah ia dapatkan, maka baginya tidak ada msalah ke dalam “bentuk” apapun “isi seni” yang hendak ia ciptakan, hasilnya adalah karya yang bertenaga. Seniman yang rohani dan pikirannya dinamis tidak akan pernah bisa menghambakan dirinya pada satu bentuk seni saja.


Pasal 4. Kekuatan “bentuk seni”-lah yang bisa menjadi jembatan antara seniman dan publiknya. Tetapi setelah publik menyeberangi jembatan itu, kekuatan yang bisa memuaskan publik dalam hal mutu adalah “isi seni” itu.

Penjelasan: Dengan kata lain, seniman tidak memaksakan “isi seni”-nya kepada publik penikmat karyanya. Seniman harus bisa membuat penikmat karyanya benar-benar menikmati karyanya, mula-mula tentu ia harus memikat dengan bentuk seni, karena bentuk itulah yang pertama kali ditengok oleh publik. Bentuk yang memikat tetapi isinya buruk, akan mengecewakan publik. Bentuk yang buruk meskipun isinya hebat, juga tidak akan maksimal dinikmati, atau bahkan tidak akan pernah bisa dinikmati oleh publik.


Pasal 5. Dalam hal “bentuk seni” khalayak ramai mengagumi “bentuk seni” yang otentik-unik, bukan yang eksentrik-unik.

Penjelasan: Setiap karya harus unik, berbeda dari karya seniman lain, bahkan berbeda dari karya lain dari seniman sendiri. Peniruan atas nama kesengajaan atau kebetulan adalah haram. Pengulangan harus dihindari. Keunikan karya akan bertambah nilainya bila ia otentik bukan sekedar eksentrik. Eksentrik berbeda dengan otentik, karena pada yang otentik terkandung keaslian, sedangkan pada yang ekstentrik hanya mengejar keanehan.


Pasal 6. Bentuk seni” yang lemah atau tidak otentik timbul bukan dari penghayatan terhadap kehidupan, tetapi timbul dari prasangka-prasangka yang eksentrik dan dari tingkah genit yang dibikin-bikin.

Penjelasan: Otentisitas memang berasal dari penghayatan atas kehidupan, bukan dugaan-dugaan atau prasangka-prasangka dangkal atas kehidupan. Penghayatan atas kehidupan dilakukan terus-menerus seperti kehidupan itu sendiri terus berlangsung sampai dihentikan oleh kematian.


Pasal 7. Seniman yang “sok seni” hanya sampai pada “tipu seni” dan bukan “daya seni”.

Penjelasan: Seniman harus sampai pada kearifan “daya seni”. Seniman yang kurang penghayatan atas kehidupan, memang gampang putus asa dan membelokkan karya-karyanya pada “tipu seni”. “Daya seni” yang terkandung pada karya seorang seniman dengan kuat memukau publik seni, dan senimannya sendiri diberi penghormatan yang memang pantas ia terima. Seniman yang hanya mengandalkan “tipu seni” akan ditinggalkan publik dan akhirnya dia sendiri akan terjauhkan dari seni yang sok ia geluti itu.


* Disarikan dari “Proses Kreatif Saya Sebagai Penyair” W.S. Rendra dalam buku “Mempertimbangkan Tradisi”, PT Gramedia, Cetakan kedua, 1984
 
 
 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *