Ganzheit: Tentang Kritik Sastra (Sebuah Pendirian)

Arief Budiman dan Goenawan Mohamad

I

“Kritik kesusastraan,” kata H.B. Jassin (1959: 44) “ialah pertimbangan baik atau buruk sesuatu hasil kesusastraan.” Kata-kata ini sudah diucapkan beberapa tahun yang lalu, dan sejak saat itu berpuluh-puluh kritik sudah ditulis baik oleh H.B. Jassin sendiri maupun oleh para kritikus lainnya. Namun kita hampir-hampir tak pernah mempersoalkan asas-asas kritik sastra kembali, hingga akhirnya, pada awal tahun 1967, seorang sarjana sastra (Saad, 1967) mengajukan sebuah pertanyaan yang fundamentil: “…. apakah pembicaraan tentang kesusastraan itu (dalam pengertian ini tentunya termasuk kritik — pengutip) ilmu atau seni’?”’

Sebelum kita lanjut dalam persoalannya, ada baiknya kita jelaskan beberapa istilah. Ilmu adalah satu pengertian yang sering diasosiasikan dengan pengertian ilmu alam, di mana terdapat hukum-hukum yang bersifat umum, yang berlaku di segala tempat dan di sepanjang zaman. Ini mengakibatkan bahwa suatu pembicaraan tentang kesusastraan atau juga misalnya psikologi dianggap bukan sebagai ilmu, karena tidak mempunyai hukum-hukum yang umum.

Terhadap anggapan semacam ini satu kecenderungan terjadi: orang berusaha “mengilmiahkan” pembicaraan kesusastraan dan psikologi dengan mencari norma-norma yang umum untuk dipakai dalam kedua lapangan itu.

Seorang filsuf, W. Windelband, membagi ilmu itu dalam dua disiplin: disiplin nomothetis dan disiplin ideografis. Yang pertama mencari hukum-hukum umum seperti halnya ilmu eksakta. Yang kedua berusaha mengerti persoalan-persoalan khusus (Allport, 1956: 22). Pembagian ini ada, karena — seperti dinyatakan oleh Fenomenologi dari Edmund Husserl — pengertian yang benar ialah pengertian menangkap realitas dan menangkapnya menurut tuntutan realitas itu sendiri (Drijarkara, 1964: 122). Tanpa memperhatikan tuntutan realitas yang mau kita tangkap, kita tidak akan mempunyai pengertian yang benar tentang obyek yang kita pelajari.

Maka, persoalan kritik sastra sebagai ilmu atau sebagai seni lebih tepat bila dirumuskan dalam pertanyaan: Bagaimanakah kita bisa mencapai pengertian yang benar tentang sebuah karya sastra — pengertian yang kita tangkap menurut tuntutan karya sastra itu sebagai realitas? Adakah kita bisa melalui ukuran-ukuran umum atau tidak?

II

Keinginan akan ukuran-ukuran umum memang bisa dimengerti, tapi soalnya adalah: apakah ini sesuai dengan tuntutan karya sastra itu sendiri?

Dalam prakteknya, proses peristiwa kritik menjawab “tidak”. Proses peristiwa kritik pada mulanya adalah suatu pertemuan antara manusia dan karya seni. Atau, khususnya dalam pembicaraan kita ini, dengan satu karya sastra. Ia berlangsung dalam satu dialog. Yang terjadi adalah suatu Einfühlung, suatu penghayatan langsung, tanpa terlebih dulu melalui analisa dan pendekatan diskursif. Dengan tepat M. Saleh Saad (Ali, 1967 : 113) menggambarkan peristiwa ini:

…. pembaca turut serta dalam kehidupan yang dilukiskan Cipta sastra itu, tenggelam dalam kekuatan yang dahsyat. Dikatakanlah, bahwa pada hakikatnya penghayatan adalah suatu “pertemuan” dengan jiwa sang sastrawan yang bicara dalam Cipta sastra itu. Dapat dibandingkan dengan praktek orang-orang dari kalangan mistik, yang dalam ekstase bersatu dengan Tuhan.”

Dalam tahapan pertama peristiwa itu kita tidak bersikap seperti seorang dokter yang tengah memeriksa tubuh seorang pasien. Di sini tidak ada soal meneliti, menyelidiki ataupun menyiasati. Karya sastra itu telah datang pada kita sebagai sesuatu yang utuh hidup dan dengan cara “luar biasa”. Jacques Maritain (1938: 54) mengatakan: “It strikes us at the heart through forbidden ways.”

Baiklah hal ini kita uraikan lebih lanjut. Memahami sebuah karya sastra, seperti memahami seorang manusia, tidaklah memahaminya dengan jalan setapak demi setapak, unsur demi unsur. Bukan elemen-elemen yang datang terlebih dulu pada kita, melainkan totalitasnya. Hal ini terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari yang dengan jelasnya dibuktikan oleh psikologi Gestalt.

Dasar pemikiran psikologi Gestalt ialah bahwa suatu keseluruhan (totalitas) memiliki kwalitas baru yang tidak sama dengan jumlah semua elemen-elemennya. Kita sering membaca sebuah kata tanpa kita sadar bahwa pada kata itu ada sebuah huruf yang hilang atau salah cetak.

Kita mengenal sebuah wajah secara intim sekali, tapi bila pada suatu saat timbul pertanyaan bagaimana bentuk bibir atau hidung dari wajah tersebut secara tepat, maka kita kewalahan untuk mencoba merekonstruksikan bentuk-bentuk bibir hidung yang ditanyakan tadi. Bahkan kemungkinan besar kita akan gagal untuk memenuhi permintaan itu. Padahal, kita sudah benar-benar kenal dengan wajah itu dalam keseluruhannya.

Semua ini karena pada hakikatnya, yang kita hayati ialah sebuah totalitas. Sebuah totalitas bukanlah elemen-elemen yang kita susun satu demi satu. Sebuah totalitas langsung kita hayati sebagai keseluruhan, bukan melalui penghayatan unsur-unsurnya satu demi satu.

Sebuah wajah bukanlah kita hayati dengan terlebih dulu menghayati hidungnya, kemudian lainnya lagi. Sebuah lagu tidak kita hayati melalui nada pertama ditambah dengan nada kedua dan seterusnya. Kita berhadapan langsung sebagai sebuah keseluruhan. Elemen-elemen secara dinamis mengadakan interferensi yang menghasilkan sebuah kwalitas baru. Kwalitas baru inilah yang langsung kita hayati, yang kita tangkap pertama kali. Elemen-elemen baru muncul kemudian, setelah kita mengadakan analisa (Budiman, 1968: 101).

Penjelasan di atas, yang kita ambil dari kehidupan sehari-hari, juga berlaku dalam pertemuan kita dengan suatu karya seni, selama proses penikmatan. Hanya di sini ada beberapa hal yang perlu dicatat: sebuah lagu adalah sebuah kwalitas total tersendiri. Sebuah lagu yang dihayati oleh seseorang menjadi suatu kwalitas total yang baru, karena lagu itu mengadakan interferensi dinamis dengan orang yang menghayatinya itu.

Demikianlah, penghayatan tiap-tiap manusia pada sebuah lagu yang sama, ternyata berlain-lainan. Setiap penghayatan merupakan sebuah re-kreasi, penciptaan kembali, dari karya seni yang dihayati, dalam hati kita. Karya seni datang sebagai keseluruhan tersendiri, dan bersama kita sebagai subyek penikmat, membentuk satu keseluruhan baru. Inilah Ganzheit: suatu keseluruhan di mana faktor manusia yang menghayati termasuk.

Ganzheit ini adalah keseluruhan kesan yang hidup tentang satu sajak atau satu cerita-pendek. Kesan ini hidup, bergerak dalam hati kita, bergemuruh atau bergumam, menari-nari atau tinggal diam sepi.

Dalam peristiwa semacam itu dari manakah timbulnya penilaian atas suatu karya sastra — karena kita kini berbicara tentang kritik? Bukankah kita di situ, untuk meminjam kata-kata M. Saleh Saad, “tenggelam dalam kekuatan yang dahsyat”? Penilaian timbul secara spontan: jika karya sastra yang kita hayati itu bisa secara langsung menenggelamkan kita dalam satu pertemuan yang akrab, maka kita mengatakan karya sastra itu baik. Keseluruhan kesan yang hidup atau Ganzheit itu sejak mula sampai akhir benar-benar hidup dan padu. Tetapi jika karya itu datang secara terbata-bata, terasa retak-retak — dengan kata lain: Tidak bisa menggugah satu keakraban yang padat, melainkan satu disharmoni — maka kita pun mengatakan karya itu tidak berhasil.

Tadi dikatakan, penilaian terhadap satu sastra timbul secara spontan, dalam suatu pengalaman pertama yang intens antara seorang manusia dan sebuah karya sastra. Tidakkah ini memungkinkan penilaian subyektif? Jawabnya adalah “ya”. Referat ini justru hendak mengatakan bahwa dalam kritik sastra, kita tidak bisa berpretensi untuk dapat menjadikan “obyektivitas” sebagai mahkota. Kebenaran kritik sastra adalah seperti yang dikatakan Kierkegaard; “Apa yang disebut benar, barulah benar, jika dan sesudah saya akui. Apa yang disebut pasti, barulah pasti, jika dan sesudah saya akui.”

Dalam memberikan kritik terhadap sebuah karya sastra, sang kritik tidak perlu menyembunyikan kepribadiannya dalam metode dan ukuran umum kritik. Yang perlu adakah ia mampu menghidupkan kembali, mengungkapkan kembali secara hidup dan secara utuh pengalamannya ketika ia berada dalam pertemuan dengan satu karya sastra. Dalam pengungkapan kembali itu dalam bentuk karya kritik – yang penting bukanlah kriteria obyektif.

Yang penting bukanlah satu keputusan yang bisa disetujui bersama oleh semua orang, melainkan bagaimana ia mempertanggungjawabkan keputusannya itu, satu keputusan yang baginya -nmungkin tidak bagi orang lain – satu kebenaran internal yang diyakini. Kritik bukanlah satu penelaahan, bukan penyiasatan, bukan penelitian, tetapi semata-mata kecakapan pengungkapan kembali suatu pengalaman estetik.

            Analisa perlu, tentu saja. Tapi analisa adalah semata-mata upaya untuk membantu pengungkapan: pada dasarnya, analisa adalah analisa pengalaman estetik tersebut, bukan analisa karya sastra secara dingin….[1] . Dalam hal ini, analisa lebih tepat dinamakan sebagai refleksi, yakni sesuatu yang kita lakukan sesudah pengalaman.

Demikianlah, kritik sastra yang sesuai dengan tuntutan karya sastra sebagai realitas khusus, menghadapi tiap hasil sastra sebagai suatu kasus yang unik, tidak terlebih dulu mempergunakan patokan-patokan umum untuk menakarnya. Inilah methode Ganzheit itu: sang kritikus dalam hal ini bertindak sebagai seorang orang kedua dalam suatu pembicaraan yang akrab: menghadapi karya sastra tanpa memasukkannya dalam kotak-kotak yang sudah tersedia, melainkan menghadapi karya sastra itu dengan membiarkannya bebas, hidup, bergerak terus secara unik, seakan-akan sebagai suatu pribadi tersendiri, sebagai suatu subyek lain, dan bukan obyek.

            Sebab, pada hakikatnya berdialog dengan satu karya sastra bukanlah “berdialog” dengan satu hasil teknik, tetapi dengan pengarangnya sebagai pribadi, bukan dengan sederetan konsep-konsep-seperti bila membaca karya-karya ilmiah-tetapi dengan pengarangnya sebagai subyek yang lain. Flaubert pernah menganalogikan pengarang dengan Maha Pencipta: ia hadir di mana-mana dalam ciptaannya, meskipun tak terlihat.

III

Dalam prasaran M. Saleh Saad (Ali, 1967: 112) untuk Simposium Bahasa dan Kesusastraan Indonesia (25-28 Oktober 1966) kita dapatkan kalimat-kalimat sebagai berikut: “Soalnya menjadi: apakah ciptasastra itu indah atau tidak indah; bukan: apakah saya senang/tidak senang terhadap ciptasastra tersebut.

Dengan demikian penilaian bukanlah semata-mata soal selera pribadi. Di samping itu, terbaca juga: “Kita bisa bertanya apakah ukuran yang berlaku semata-mata subyektivitas orang-orang yang kebetulan memperhatikan ciptasastra itu? Tidakkah dengan demikian dapat diharapkan 1000 penilaian jika ada 1000 kepala yang menilai?”

Terhadap pertanyaan terakhir itu jawaban referat ini adalah “ya”. Jika ada 1000 kepala yang menilai, diharapkan 1000 penilaian-dan kita tidak usah terkejut. Seperti dikatakan di atas, dalam memberikan kritik terhadap sebuah karya sastra, sang kritikus tidak perlu menyembunyikan pribadinya di balik metode dan ukuran umum kritik dan yang penting bukanlah kriteria obyektif. Indah atau tidak indah dalam prakteknya mustahil untuk dipisahkan dari saya senang atau tidak senang.

Dalam sebuah karangan pengantar tentang kritik, yang pernah kita kutip di awal referat ini H.B. Jassin menulis: “Bahayanya seorang kritikus ialah bahwa ia terlalu melihat sesuatu hasil semata-mata dari sudutnya sendiri, sehingga orang tidak melihat ciptaan itu dengan mata sendiri tetapi dengan mata kritikus.” (Jassin, 1959:44). Apa boleh buat: hal semacam itu-tak bisa dihindarkan. Dan tidak dengan sendirinya “bahaya” tersebut adalah sesuatu yang merugikan.

Apa yang dikatakan H.B. Jassin kemudian sungguh tepat: “Bagi pembaca kritikus tidak boleh dipandang sebagai orang yang tidak bisa membikin kesalahan lagi dan selalu tepat pendapatnya. Terhadap kritikus pembaca harus kritis pula.”  Demikianlah seluruh peserta dalam kehidupan kesusastraan, sastrawan, kritikus dan pembaca, harus bersama-sama kreatif, bersama-sama dalam suasana percaturan pendapat terus-menerus, sebab satu-satunya keputusan yang final, yang berlaku abadi dan bisa disetujui siapa saja adalah tidak mungkin.

Kaidah-kaidah yang bagaimanapun dalam kesusastraan harus diakui sebagai sesuatu yang bersifat sementara dan terbatas: sebab kesusastraan, sebagaimana kehidupan, adalah sesuatu yang mengalir terus.

Itulah sebabnya kesimpulan yang mengatakan bahwa “penemuan kaidah-kaidah kesusastraan diharapkan bisa disumbangkan untuk mempertinggi daya apreasiasi dan daya kritik penikmat pembaca kesusastraan”, dan dengan demikian “menipiskan preferensi individual” (Ali, 1967: 184) bisa menyesatkan.

Kritik sastra justru harus tidak bertolak dari kaidah. Referat ini, dengan mengajukan metode Ganzheit, telah menunjukkan bahwa tiap-tiap karya sastra harus dihadapi masing-masing sebagai sesuatu yang unik. Penggunaan kaidah-kaidah umum yang dipakai untuk mengukur satu karya sastra adalah keliru, dan merugikan perkembangan kesusastraan sendiri.

Mengapa? Pertama, bagi sang kritikus sendiri hal itu menjadikan dia cenderung untuk menjadi kurang terbuka kepada perkembangan-perkembangan baru dalam kesusastraan. Kedua, bagi si sastrawan, karena rangsangan kritik-kritik semacam itu menjadikan dia cenderung untuk tidak menggali keunikan dirinya dalam eksperimen-eksperimen baru. Dia sebagai pribadi kurang dihargai.

Karyanya menjadi impersonal, karena seakan-akan dicabut dari dirinya yang unik untuk diukur dengan norma-norma dan kaidah-kaidah yang umum.

Sikap kritik yang berdasarkan pada kaidah-kaidah umum, dalam kehidupan kesusastraan kita terlihat dalam hal-hal sebagai berikut:

a)     Perenggutan isi dari bentuk

Banyak sekali karya-karya kritik di Indonesia yang bertolak dari pembagian antara bentuk dan isi yang menyesatkan ini. Isi dan bentuk bukanlah dua hal yang terpisah, yang dapat dibicarakan sendiri-sendiri, yang satu terlepas dari yang lainnya.

Isi dan bentuk dalam kehadirannya bersama, melahirkan suatu nilai Gestalt yang tidak terdapat pada isi atau pada bentuk jika dua hal itu hadir terpisah sendiri-sendiri. Isi dan bentuk adalah satu, merupakan ekspresi utuh dari sesuatu yang menyebabkan apa yang dikatakan dan bagaimana mengatakannya padu dan tunggal.

Kritik sastra “realisme sosialis”, misalnya, mengadakan pembagian semacam yang disebut di atas. Tapi di samping kritik sastra “realisme sosialis”, juga kritik-kritik lain, satu hal yang terlihat pada gejala untuk membuat sinopsis inilah yang dibahas dan dinilai, dalam rangka penilaian isi. padahal jelas selali, karya sastra sebagai keseluruhan di satu pihak dan sinopsisnya di lain pihak merupakan dua barang yang secara kwalitatif berbeda.

Contoh yang menyolok dari hal itu adalah pembuatan sinopsis dari suatu sajak (Hutagalung, 1967:51). Cara semacam ini menyebabkan karya sastra yang dibahas menjadi kering dan mati, karena renggutan dari keseluruhannya yang hidup.

b)     Perenggutan bentuk dari isi

Dalam beberapa karya kritik di Indonesia terdapat kecenderungan sebaliknya dari yang disebutkan di atas. Yang dimaksudkan di sini ialah: penerapan kategori-kategori tentang bentuk, kategori-kategori yang sudah ada, tanpa menghubungkannya dengan pembicaraan tentang gaya bahasa secara tersendiri dalam kritik.

Pembicaraan gaya bahasa secara tersendiri bisa dimengerti, asalkan hal itu dilakukan dalam rangka studi gaya bahasa. Tetapi satu kritik, sebagai satu pengungkapan satu pengalaman estetik yang utuh, tidak bisa berbuat demikian. Suatu pembicaraan gaya bahasa khususnya, satu pembicaraan tentang bentuk, harus tetap memelihara hubungan senyawa antara bentuk dan isi yang tak bisa dipisahkan itu. Apakah gunanya mencungkil-cungkil metafor atau personifikasi dalam sajak-sajak Asrul Sani, misalnya, jika hal itu tidak mendekatkan kita ke dalam apa yang hidup dalam diri Asrul Sani ketika menulis sajak itu?

c)  Melepaskan kata dari konteks keseluruhan

Sikap seorang kritikus yang tidak memandang satu hasil sastra sebagai sesuatu yang unik mengakibatkan juga seorang kritikus mencungkil sebuah kata atau beberapa buah kata terlepas dari konteksnya. Sebagai contoh yang menyolok adalah kritik Subagio Sastrowardojo (1967) dalam membicarakan sajak-sajak Arifin C. Noer. Kami kutipkan:

“Pada saya kacau gambaran pikiran yang disajikan dalam sajak Siapakah.   Perhatikan baris-baris sajak ini:

Siapakah berpesta dengan tenang
dan tertawa penuh kesungguhan
seorang perempuan tua
yang hampir telanjang
duduk di atas jembatan
tua. Menadahkan tangan ia
di antara lalulintas kendaraan dan kesibukan

Saya bertanya: dapatkah pengertian pesta yang menurut wajarnya kita asosiasikan dengan suasana yang meriah dan ramai (lain halnya dengan selamatan yang tenang) kita hubungkan dengan suasana tenang? Dapatkah juga dengan alasan yang bersamaan tertawa digambarkan dengan penuh kesungguhan?

Selanjutnya: Bagaimanakah membayangkan gambaran ide perempuan tua itu yang duduk menadahkan tangannya di atas lalulintas kendaraan kesibukan? Bagaimana logikanya: orang yang duduk di antara lalulintas kendaraan terang akan kelindas mobil dan becak dan tidak bisa sempat menadahkan tangannya. Adakah ini kekeliruan pemakaian bahasa, atau kedua-duanya?”

Jawaban kita: kesalahan membaca puisi. Subagio Sastrowardojo telah keliru, dengan membahas kata-kata di atas secara tersendiri-sendiri, dilepaskan dari konteksnya, seperti seorang ahli hukum menentl perumusan perundang-undangan, kata demi kata. Ia telah melepaskan kata dari keseluruhan arah kalimat dan kata itu pun jadi kepingan yang beku. Maka tidak heranlah bila dalam diskusi yang diadakan tentang referat itu Asrul Sani mengatakan bahwa pendekatan Subagio Sastrowardojo “merupakan sikap anti puitik yang ekstrim.” Sebab “puisi mempunyai logikanya sendiri” (Mohamad, 1967:82.)

Dengan kata lain, kita tidak akan bisa memakai norma-norma umum yang sudah tersedia dalam menghadapi karya sastra. Sebab: “it strikes us at the heart through forbidden ways.” Karena itu hendaknya kita menghadapinya sebagai satu kasus yang unik, sebagai layaknya pribadi orang kedua dalam suatu hubungan dialog, yang mempunyai berjuta-juta kemungkinan yang tak terduga sebelumnya.

IV

Kalau kita mau sedikit menggambarkan situasi sastra Indonesia dewasa ini, maka dapat kita katakan bahwa ia belum mempunyai dasar berpijak yang jelas. Dia masih terombang-ambing antara sikap yang mau menghadapi suatu karya sastra sebagai sesuatu yang unik dan sikap yang sebaliknya: berpegang pada kaidah-kaidah umum, seakan-akan ingin menjadikan kritik sastra sebagai sesuatu yang “ilmiah,” dengan catatan: keilmiahan yang dikejar adalah keilmiahan yang mengarah-arah kepada keilmiahan ilmu eksakta.

Maka, dengan mengemukakan satu pendirian tentang kritik sastra, referat ini ingin menjawab pertanyaan di atas, ilmu atau seni? Kalau yang dimaksud dengan ilmu ialah pemakaian norma-norma yang distandardisir yang “Berlaku dan disetujui secara umum, maka kritik sastra bukanlah ilmu. Tapi juga dia bukanlah seni, kalau yang dimaksud dengan seni ialah khayalan sepihak dari sang kritikus. Bila yang dimaksud dengan ilmu adalah pengertian yang benar tentang realitas, maka kritik sastra adalah ilmu.

Dan realitas di sini ialah pertemuan yang merdeka antara pribadi sang kritikus dan karya sastra sebagai ekspresi pribadi seorang manusia lain. Dia adalah seni, bila yang dimaksud dengan seni ialah kesanggupan kreatif untuk mengungkapkan satu pengalaman estetik, menemui realitas terlepas dari metode-metode yang sudah tersedia, kaku dari membelenggu.

Kritik sastra bagi kami bermanfaat bagi perkembangan kesusastraan kita, bila kritikus selalu berani menanyakan kembali ukuran-ukurannya sendiri.

Jakarta, 10 Oktober 1968

DAFTAR   PUSTAKA

Ali, Lukman (Ed.). 1967. Bahasa dan Kesusastraan Indonesia Sebagai Cermin Manusia Indonesia Baru. Jakarta: Gunung Agung.

Allport, G.W. 1956. Personality, A Psychological Interpretation. London: Constable & Co,,Ltd.

Budiman, Arief. 1968. “Metode Ganzheit dalam Kritik Seni.” Horison, 4 (April, III).

Drijarkara, N. 1964. Percikan Filsafat. Jakarta: Pembangunan.

Jassin, H.B. 1959. Tiga Penyair dan Daerahnya. Jakarta: Gunung Agung.

Hutagalung, M.S. 1967. Tanggapan Dunia Asrul Sani. Jakarta: Gunung Agung.

Maritain, Jacques. 1938. Creative Intuition in Art & Poetry. New York: Meridian Books.

Mohamad, Goenawan. 1966. “Tema, Bukan Sebuah Utopia Kecil.” Horison, 3 (April, I).

—– 1967.  “Dari Warna Ungu Cerita Pendek s.d. Sajak-sajak Diafan.” Horison, 3 (Maret, II).

Saad, M. Saleh. 1967a. “Chairil Anwar dan Telaah Kesusastraan.” Prasaran untuk Hari Chairil Anwar di Direktorat Bahasa dan Kesusastraan, Jakarta, April 1967.

—– 1967b. “Catatan  Kecil Sekitar  Penelitian  Kesusastraan” dalam Lukman Ali, Bahasa dan Kesusastraan Indonesia Sebagai Cermin Manusia Indonesia Baru. Jakarta: Gunung Agung.

Sastrowardojo, Subagio. 1967. “Tanggapan Sajak-sajak di Horison.” Prasaran untuk Diskusi Sastra Horison, Jakarta, Februari 1967.


[1]     Lihat Goenawan Mohamad, 1966: 68, yang antara lain mengatakan:”…. barangkali suatu kekhilafan kritik kesusastraan modern ialah analisanya yang tajam yang merenggutkan isi dari bentuknya: suatu kekhilafan yang menjadi parah oleh sebab tidak mau kembali dari analisa (sebagai metode) kepada keseluruhannya, yang kita alami sendiri dalam pertemuan primer kita dengan karya kesusastraan itu. Bertahan dalam analisa berlanjut-lanjut ke analisa-analisa yang lebih jauh dan bertolak dari analisa itulah kini kita berbicara tentang suatu karya-yang sesungguhnya bukan lagi, melainkan sebatang mayat yang diurai untuk pelajaran dan praktikum ilmu anatomi.” “Kita tidak menolak analisa, sebagai metode yang bila perlu. Namun sebuah karya kesusastraan, seperti pernah diibaratkan orang ialah seorang raksasa ajaib yang tak akan selesainya dicencang, yang hanya bisa kita tangkap apabila kita sanggup menelannya, hingga tubuh kita pun menjadi besar secara ajaib karena mengepam raksasa tadi dalam seluruh diri kita.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *