Obituari: Toeti Heraty, Perempuan, dan Puisi

Toeti Heraty, Perempuan, dan Puisi

Oleh Hasan Aspahani

Ingin aku tulis
sajak porno sehingga
kata mentah tidak diubah
jadi indah, pokoknya
tidak perlu kiasan lagi
misalnya payudara jadi bukit,
tubuh wanita = alam hangat
senggama = pelukan yang paling akrab

yang sudah jelas
tulis sajak itu antara menyingkap dan sembunyi
antara munafik dan jatidiri

(“Post Scriptium”, Toeti Heraty)

BAGAIMANA memahami dan melihat posisi perempuan dalam puisi-puisi Indonesia? Toeti Heraty (1933-2021) mengeditori dua buku antologi penyair Indonesia, “Seserpih Pinang Sepucuk Sirih” (Pustaka Jaya, 1973) dan “Selendang Pelangi” (Indonesia Tera dan Galeri Cemara, 2006). Dari pembacaannya atas puisi-puisi pada dua buku itu kita bisa menangkap arah jawabannya.

Seni, kata Toeti, juga sastra tentu, adalah wujud ekspresi manusia dalam interaksinya dengan alam. Hubungan itu tidak sederhana. Manusia (baca: lelaki) mengolah, mengatasi, menaklukkan alam, atas nama membentuk kehidupan yang lebih baik. Berkonfrontasi.

Sedangkan perempuan tidak. Perempuan menempuh jalan damai. Perempuan adalah bagian dari siklus dan perubahan alam, sebab dalam dirinya berlangsung dengan intens proses alam itu: siklus bulanan, menyimpan benih, mengandung, menyusui, melahirkan hingga menopause.

Begitulah antara lain Toeri Heraty menyarikan bacaannya atas puisi-puisi di antologi para penyair Indonesia yang ia sunting dan ia beri pengantar analitis. Ia juga menyuarakannya dalam puisi yang ia tulis pada 1989.

kehamilan maut yang nanti menjemput /luput diredam / kehamilan hidup yang nanti merenggut / goresan dendam / gejolak dan kemelut keprihatinan / gagal direkam / (Lukisan Wanita 1938, dalam “Selendang Pelangi”)

Gerakan kesetaraan perempuan telah menjadi perhatiannya sejak studi S1 di psikologi. Skripsi itu lalu beliau lanjutkan untuk bahan studi filsafat di S2. Ia jelas berasal dari keluarga dengan kelas sosial yang tak membuat posisinya sebagai perempuan lemah. Ia berdaya. Ia memberdayakan.

Akan tetapi ia tahu pasti soal kesetaraan itu perlu banyak hal dilakukan dan banyak orang harus terlibat menggerakkan perwujudannya. Karena itu agaknya dia menjadi aktivis di banyak bidang, seni, budaya, pendidikan, dan gerakan feminis itu sendiri.

Dengan bekal wawasan dan landasan teori yang kaya, Toeti punya sudut pandang yang unik. Puisi, baginya, jelas bisa merekam panorama sosial yang terbentang, dan merangkum wawasan kehidupan perempuan, sekaligus perubahannya seiring zaman.

Toeti seakan menyadarkan dan mengingatkan bahwa menulis puisi lebih sulit bagi perempuan ketimbang lelaki. Kenapa? Karena pilihan alamiah sikapnya yang cenderung berdamai dengan alam itu tadi.

Lelaki hidup dengan ketegangan heroisme, dengan klimaks kematian, sedangkan perempuan menjalani hidup dengan menjaga ketenangan, meredam gelojak, menghindar konflik, seakan tanpa klimaks tetapi hidup dijalani dengan lebih intens. Ekspresi diredam, banyak hal kerap tak terekam.

Toeti memahami sifat perempuan yang secara alami yang seperti itu tapi tampaknya dia tak ingin menerimanya begitu saja. Ada yang bisa dilakukan untuk melawan kecenderungan itu. Puisi-puisinya sendiri jelas ditulis sebagai perempuan dengan posisi yang telah tak lagi berperkara dengan kesetaraan. Ia kukuh berdiri dengan setara, utuh sebagai manusia saja. Jika melawan ia berangkat dari satu posisi yang setara.

Dalam konteks itu satu sajaknya menjadi sangat penting dan bersuara nyaring, sajak yang dikutip di awal tulisan ini. Puisi berjudul “Post Scriptum”. Sebuah penjudulan yang unik, dan telah mengandung kontradiksi yang kuat.

Istilah itu merujuk pada paragraf, atau frase tambahan pada surat setelah surat itu dianggap selesai dan dibubuhi tandatangan. Penting tapi tak cukup penting sehingga terlupa dicantumkan hingga surat selesai. Tak penting tapi penting untuk ditambahkan dalam surat. Mungkin begitulah arti gerakan kesetaraan perempuan baginya.

Puisi itu bukanlah kredonya, bukan rumusan estetis karya-karyanya, karena dia sendiri dalam sajak-sajaknya tampak tak berpersoalan apa-apa dengan eufimisme itu. Sajaknya “Ballada Setengah Baya” (1980) ditulis dengan semangat setara itu, bahkan ia balikkan keadaan: lelaki yang pengecut, perempuan yang lebih berani bertindak.

Puisi itu seperti imbauan untuk penyair perempuan. Ia mungkin geram dengan kecenderungan menghalus-haluskan ekspresi yang justru membuat hal yang hendak disampaikan jadi tertutupi. Imbauan itu sepertinya disambut oleh banyak penyair perempuan yang menulis sajak kemudian.

Ia menyarankan sajak yang lugas dalam sikap, tegas dalam ungkapan tapi tetap mempertahankan keremangan, dan karena itu tetap estetis: yang sudah jelas / tulis sajak itu antara menyingkap dan sembunyi / antara munafik dan jatidiri.

Jakarta, 13 Juni 2021.

Lima puisi Toety Heraty pilihan Hari Puisi (klik judul untuk membaca):

1. Ballada Setengah Baya.
2. Jakarta.
3. Selesai.
4. Siklus.
5. Doa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *