Puisi: Daerah Perbatasan – Subagio Sastrowardoyo (1924-1995)

Subagio Sastrowardoyo (1924-1995)

I
Kita selalu
berada di daerah perbatasan
antara menang dan mati. Tak boleh lagi
ada kebimbangan memilih keputusan :
Adakah kita mau merdeka atau dijajah lagi.
Kemerdekaan berarti keselamatan dan bahagia,
Juga kehormatan bagi manusia
dan keturunan. Atau kita menyerah saja
kepada kehinaan dan hidup tak berarti.
Lebih baik mati. Mati lebih mulia
dan kekal daripada seribu tahun
terbelenggu dalam penyesalan.
Karena itu kita tetap di pos penjagaan
atau menyusup di lorong-lorong kota pedalaman
dengan pestol di pinggang dan bedil di tangan.
(Sepagi tadi sudah jatuh korban). Hidup
menuntut pertaruhan, dan kematian hanya
menjamin kita menang. Tetapkan hati.
tak boleh lagi ada kebimbangan
di tengah kelaliman terus mengancam.
Taruhannya hanya mati.

II
Kita telah banyak kehilangan :
waktu dan harta, kenangan dan teman setia
selama perjuangan ini. Apa yang kita capai :
Kemerdekaan buat bangsa, harga diri dan
hilangnya ketakutan pada kesulitan.
Kita telah tahu apa artinya menderita
di tengah kelaparan dan putus asa. Kematian
hanya tantangan terakhir yang setia kita hadapi
demi kemenangan ini. Percayalah :
Buat kebahagiaan bersama
tak ada korban yang cukup berharga. Tapi
dalam kebebasan ini masih tinggal keresahan
yang tak kunjung berhenti : apa yang menanti
di hari esok : kedamaian atau pembunuhan
lagi. Begitu banyak kita mengalami kegagalan
dalam membangun hari depan : pendidikan
tak selesai, cita-cita pribadi hancur
dalam kekacauan bertempur, cinta yang putus
hanya oleh hilangnya pertalian. Tak ada yang terus
bisa berlangsung. Tak ada kepastian yang bertahan
Kita telah kehilangan kepercayan kepada keabadian
Semua hanya sementara: cinta kita, kesetiaan kita.
Kita hidup di tengah kesementaraan segala. Di luar
rumah terus menunggu seekor srigala.

III
Waktu peluru pertama meledak
Tak ada lagi hari minggu atau malam istirahat
Tangan penuh kerja dan mata terjaga
mengawasi pantai dan langit yang hamil oleh khianat
Mulut dan bumi berdiam diri. satunya suara
hanya teriak nyawa yang lepas dari tubuh luka,
atau jerit hati
mendendam mau membalas
kematian.
Harap berjaga. Kita memasuki daerah perang.
Kalau peluru pertama meledak
Kita harus paling dulu menyerang
dan mati atau menang
Mintalah pamit kepada anak dan keluarga
dan bilang : Tak ada lagi waktu buat cinta
dan bersenang. Kita simpan kesenian dan
budaya di hari tua. Kita mengangkat senjata
selagi muda
dan mati atau menang.

Budaja Djaja – 23 April 1970

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *