Puisi: Hamzah Fansuri, Sebutir Bintang yang Mengirim Cahaya – Taufiq Ismail

Taufiq Ismail
Hamzah Fansuri, Sebutir Bintang yang Mengirim Cahaya

1

Dari atas tebing memandang lautan sejarah yang terbentang, melampaui
empat abad kita menyeberang menumpang di atas gelombang,

Empat abad adalah seujung kuku dalam tarikh semesta dan sejumlah
putaran benda angkasa dari bermilyar galaksi raya di atas sana,

Di antara gugusan itu, disaput kabut dan sendiri sunyi, berkelip-kelip
antara ada dan tiada, Hamzah jauh melayang bagai sebutir bintang,

2

Layar armada berkibar-kibar dihembus badai, lalu lintas ramai
di perairan Pasifika, Atlantika dan Samudera Hindia, mereka bukan
bertamasya bersenang-senang tapi berdagang dan menjarah negeri orang,

Orang-orang itu membelah Lautan Teduh, menyusur pantai benua-benua
baru, mempertautkan titik-titik di pesisir Eropa, Afrika,
Amerika, Australia dan Asia, melingkari khatulistiwa dan memasuki Nusantara,

Ketika Portugis, Sepanyol, Turki, Persia, Belanda dan Inggeris
berinteraksi dengan untaian zamrud gugusan tropika ini, sebuah
peradaban bertumbuhlah di sana,

Pada abad itu fajar memecah di kakilangit pesisir Aceh. Lahirlah
pusat ilmu pengetahuan, pengajaran dan pemikiran keagamaan, di
tengah maraknya perdagangan antara bangsa-bangsa, yang akhirnya,
dicengkeram oleh kuku imperialisma, dan dijawab dengan peperangan
berkepanjangan, di daratan dan di lautan.

Di layar tarikh membayang sosok para pendekar ilmu dan rohani
bangsa, para Syaikh yang sangat terkemuka, sebut Nuruddin
Ar-Raniri, Abdurrauf Singkil, Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Pasai namanya,

Mereka bukan tokoh yang terbit dari dongeng dan mitologi, mereka
tidak muncul dari tambo kuno atau hikayat rakyat, tapi lahir di
lingkungan pembibitan ilmu dan persemaian rohani bangsa. Mereka
mencetak jejakberupa abjad berjuta, baris puisi beribu, di atas
hamparan halaman kitabd emi kitab,

Di dalam hidup, perjalanan mereka tidak selalu seiring dan searah.
Dinamika sejarah, tukikan pemikiran dan politik kerajaan
mengantarkan nmereka ke dalam lalu lintas pendapat yang bersilang

bahkan sampai bertabrakan, sehingga api berkobaran di pekarangan
Masjid Raya.

3

Kini aku menengadah lagi ke arah galaksi raya, menelisik anyaman
cahaya di atas sana, di mana itu gerangan benda angkasa,
berkedip-kedip antara ada dan tiada, lalu kutemukan lagi yang
selama ini hilang, empat abad jarak memanjang, Hamzah yang jauh
melayang dilangit-langit langit bagai sebutir bintang,

Jika adalah pengembara badan, dialah pengembara badan yang berjalan
ke berbagai makaan; jika adalah pengembara fikiran, dialah
pengembara fikiran tetapi stasiun ushuluddin mustahak sebagai
ranah permukiman; jika adalah pengembara perasaan, dialah
pengembara perasaan karena maqam tasawwufnya begitu luhur menjulang-julang,

Aku berdiri di sini, angka posisi basis dan ordinatku di atas setitik
debu bernama bumi cuma dua belum lagi tiga, apalagi enam dalam
dimensi, kucoba menggapai apa yang kau wariskan dulu yakni seperti
puisi sufi yang demikian memabukkan dalam cengkeram aroma wewangi,

Ya Syaikh Barus, ya Syaikh Singkil, demikian dalam makna hayat yang
kau guratkan. Kalam apa gerangan tangkai penamu, pimping
buluhkah tulang bulu-angsakah, dawat apa gerangan warna alfabetmu,
hitam tinta Hindiakah merah gambir pesisirkah, perkamen apa
gerangan yang jadi halaman kitab syair tajalli-mu, yang mencatat
cahaya berlian ma’rifatmu,

Wahai cendekiawan banyak-bahasa, sufi penyelam dua-samudera, penyair
peletak pertama fondasi batu-sudut rumah puisi Nusantara,
pujangga penggurat alfabet awal di baris pertama sastra kawasan
ini khatulistiwa, dari balikabad 17 itu tampakkah kiranya kami
melambaikan rasa rindu kami pada tuan di sana?

4

Aroma kuasa kerajaan bagi tuan tiada jadi jebakan. Hedonisme istana
yang mengutip barakah nafkah melimpah dari pelabuhan perdagangan
dunia, tercatat di senarai kecaman tuan. Mendekat-dekat tiada,
melibat-libat apa pula, demikianlah jarak terjaga di seberang sempadan umara,

Keraton demikian tak merasa nyaman dan nama tuan tak dinukilkan
dalam catatan tarikh kerajaan. Payah kami menyiasati baris-baris
sejarah, dimana serta bila gerangan maulid dan wafatnya Hamzah.
Tapi gemerlap itu puisi sufi, masih menyampaikan kemilau bertelau
ke mata kami.

5

Kuikuti kembaramu sebagai anak dagang kota pelabuhan, tempat kapal-
kapal layar benua jauh turun jangkar, mengarungi bentangan
lautan memasuki samudera terbuka, menggapai-gapai apa itu ketidak-
berhinggaan,

Dalam pelayaran kau tungokkan aku di tepi buritan, tercebur aku ke
air lautan, kau suruh aku menyelam mencari ikan tongkol bernama fadil,
yang berdiam di dasar bahrain sangatlah dalam,

Basah kuyupku dari ubun-ubun sampai telapak kakiku, nafasku
tersengal menyelam berjam-jam, kau hela aku ke atas lalu kau humbankan aku
melayangi awan yang membelit leher pegunungan penuh hutan rimba
hijau-biru warna dedaunannya, mencari unggas pingai, dan burung
fakir, namanya,

Silau mataku menatap unggas pingai, yang bisai, kuning keemasan berkilau
corak bulunya, luar biasa indah parasnya, lambang diri
hakiki yang dicari setiap pengembara lebuh rohani,

Wahai Syaikh Barus, ya Syaikh Singkil, bagai seekor anak ayam kampung
berumur tujuh hari aku mengais-ngais syairmu, kupatuk-patuk butir-
butir jagung di kandang unggasmu. Anak ayam ini tiba-tiba
terkejut melihat butir-butir jagung itu jadi berlian yang
berkilau-kilau cahayanya,

Anak ayam kampung itu menengadah ke langit biru, ke gugusan
galaksi yang taram-temaram, meneropong sebutir bintang di atas
sana yang terus mengirim cahaya.

Jakarta-Medan-Aceh Singkil, 14 Januari 2002.

Sumber: Puisi Tak Pernah Pergi (Penerbit Buku Kompas, 2003)

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *