Rivai Apin, Akhir Takdir, Sunyi Sang Penguak

Rivai Apin, Akhir Takdir, Sunyi Sang Penguak

Oleh Hasan Aspahani

nanti hari akan habis / dan kelam menyelubungi malam/ … ah, mati / kau masih juga mengejar aku – (“?” – Rivai Apin, 1946)

DIALAH orang yang meluruskan pemahaman orang banyak tentang Chairil Anwar, juga tentang puisinya, ketika sajak-sajak sahabatnya itu menjadi sedemikian populer, dikagumi, dan ditiru, dengan peniruan yang buruk, sebab berangkat dari kekurangpahaman.

Dialah orang yang mengingatkan soal kesatuan isi dan bentuk dalam sajak, bahwa Chairil menjadi sedemikian kuat karena ia menyair sebab berangkat dari isi, dorongan yang membuatnya menjadikan sajak, memberi bentuk pada dorongan tersebut.

Rivai Apin (1927-1995)

“Jadi sajak itu ada isinya, yang diberi bentuk oleh penyairnya. Isi ini yang menjadi sebab yang terutama hingga membuat sajak mempunya sifat dan di dalam sajak-sajak Chairil Anwar ini membuatnya menjadi punya sifat-sifat vitalistis dan revolusioner,” ujarnya dalam tulisannya di Siasat (1949) “Chairil Anwar dengan Maut”.

Kritik dan peringatan Rivai adalah: orang hanya meniru bentuk, tidak berangkat dari isi yang mendorong dari dalam diri sendiri, dan itu hanya akan hasilkan sajak-sajak peniruan yang buruk.

Dialah juga yang pada 1948, di majalah Pujangga Baru yang terbit kembali, kepada Chairil, sahabatnya itu, mempersembahkan puisi yang seakan mengadukan nasib: hidup akan jadi tak mudah baginya, dan dia menyerah saja pada kekinian dan keanakan, kekayaannya yang hanya itu, yaitu waktu dan kesempatan.

Tiap hari-hari mati membenamkan aku / Ke dalam benda-benda yang berlapukan dan berdebuan. Ia seakan meramal masa depannya sendiri: aku takut…, tulisnya … dari mulut yang meliang dengan bibir yang berat bergantungan / akan keluar penyesalan. Hari-hari baru hanya cemooh kelaluan.

DIALAH yang berkata, “semua ini bencana…”

Dialah Rivai Apin. Lahir di Padangpanjang, 30 Agustus 1927, anak ketiga dari lima bersaudara, abang tertuanya pelukis Mochtar Apin. Ia yang bergerak antara seni dan politik, menjadi redaktur sejumlah majalah kebudayaan penting, antara lain Gema Suasana, Siasat, Zenith, dan Zaman. Menjadi anggota KNIP, DPRD-GR DKI Jakarta, dan yang paling berdampak besar pada nasibnya, ia ada di jajaran Pimpinan Pusat Lekra (1959—1965).

Politik dan ideologi baginya, mungkin ia terjuni untuk mengisi perasaan yang hampa, kekosongan hidup yang hanya membuat hidup berlapukan dan berdebuan, kecenderungan yang ditangkap dalam sajak-sajaknya tahun 1940 hingga 1950-an, sebelum ia bergabung dengan Lekra dan menulis sajak yang sama sekali berbeda.

Pada 1961 ia menulis di Zaman Baru, dua sajak tentang Peking. Yang bergelora dengan frasa “Rakyat Pekerja membangun kebudayaan”, “ada saja orang bekerja ada saja orang menempa”, “kembang api pancaran pukulan si pandai besi”, dan “bintang-bintang di langit bintang-bintangnya pekerja”. Rivai pada kurunnya itu punya dorongan isi yang lain untuk diberi bentuk dalam puisinya.

Lalu kita melihat tiga sang penguak itu menempuhi takdir yang berbeda.

Chairil mati muda. Rivai ke kiri, dan Asrul Sani menempuh jalan kanan, ia ikut mendirikan Lesbumi, yang berinduk ke NU, yang melawan Lekra.

Setelah G 30 S/ PKI, Rivai ikut ditahan di Pulau Buru. Di mana ia menjadi tali jangkar putus, apa yang ia tulis alam sajak pada 1946, satu tali dalam bulatan itu putus / dan setiap satu putus bertambah ngeri / hati penumpang kapal / akhirnya putus jua semua. 

Rivai sesungguhnya kecewa dengan Lekra dan PKI. Ia bilang, kepada kedua institusi itu ia lebih banyak memberi, ketimbang menerima, apa yang ia butuhkan membangun seni rakyat.

Itu tersirat dalam sajaknya di Harian Rakyat, 9 Mei 1962, “Sebagian telah Didapat”, yang seakan menyindir penguasa dan terasa juga itu ditujukan kepada para pemimpin PKI.

Besar pengaruh tanda tanganmu sungguh.
Secarik surat kecil keajaiban yang terjadi
Pengapnya dada bukannya karena ini.  

Sebagian telah didapat
Dari darah kami ia dinyawai
Bukan iri cakapnya kau melayani
Sedari dulu telah diperjuangkan
Tapi jangan ia dihina kami yang terhina.

Tapi, “Semua ini bencana…” katanya kepada Rosihan Anwar yang tak mengira akan bertemu Rivai di Pulau Buru, di kawasan khusus untuk para tahanan yang tergolong garis keras, pada tahun 1973. Tak ada yang tahu siapa ditahan di mana. Rosihan mengira Rivai masih di penjara Gang Tengah Salemba.

Ini pertemuan dua teman main. Rivai dan Asrul duduk di sidang redaksi Gelanggang, pada 1950, halaman budaya Siasat yang diterbitkan Rosihan, sebelum Rivai pada 1954 menyeberang ke lingkungan Lekra. Dia ingin dekat kepada rakyat, dia ingin mengembangkan seni rakyat. Pilihan yang membawanya ke Pulau Buru, setelah tentara menjemput di rumahnya di Jalan Malabar.

“Si Pai tua tampaknya,” kata Rosihan dalam buku “Perkisahan Nusa” (Grafiti Pers, 186). Ia mendeskripsikan Si Pai dengan raut wajah berontolan sebagaimana dahulu, makin mendalam garis-garis di wajahnya, memutih rambutnya, dan pipinya cekung. Si Pai yang tampak afgetakeld alias berantakan, celananya diikat tali agar tak melorot, sandalnya beda sebelah.

Tapi saat itu dia justru melihat harapan di luar dirinya. “Masyarakat Indonesia akan berkembang ke arah yang baik, sebab setiap bencana akan berakhir pada kebaikan,” kata Rivai, seperti didengar dan dicatat Rosihan. Pada 1964, katanya pada Rosihan, Rivai sudah kecewa pada Lekra. Ia tahu komunis akan gagal.

Setelah 14 tahun di Pulau Buru, pada 1979 dia bebas, kembali ke Jakarta. Kita tak tahu apakah ia menulis puisi selama dan setelah penahanan itu. Ia tak pernah menyiarkan karyanya lagi. Ia mungkin telah mengucapkan lebih dahulu situasinya itu dalam sajak bertahun 1949: apa yang bisa kami rasakan tapi tak usah kami ucapkan / apa yang bisa kami pikirkan, tapi tak usah kami katakan. Namanya seakan tenggelam hingga maut yang mengejarnya menemuinya pada 1995.

Pada 1987, Linus Suryadi, editor “Tonggak” ingin benar memasukkan karya Rivai dalam salah satu dari empat jilid antologi yang ia susun itu. Tapi segel merah yang ditanggungnya, juga oleh beberapa penyair lain, membuat penerbit Gramedia berhati-hati dan memilih untuk mencabutnya dari daftar.

Sajak Rivai yang dikutip dari Harian Rakyat di awal  tulisan ini adalah satu-satunya sajak yang terhimpun dalam “Gugur Merah” (Merakesumba, 2008). Mungkin ada yang tercecer, tapi ia memang tak subur berkarya.

Sajak-sajaknya yang agak lengkap dikumpulkan dan diberi catatan oleh Harry Aveling dan terbit di Malaysia dengan judul “Dari Dua Dunia Belum Sudah” (Universiti Sains Malaysia, tanpa tahun).

Di tanah airnya sajak-sajaknya tak pernah terbit dalam satu buku, kecuali dalam “Tiga Menguak Takdir” (Balai Pustaka, 1950), yang terbit bersama teman karibnya, Chairil dan Asrul, yang menempuh takdir sendiri-sendiri, yang semula bersamanya ingin menggerakkan satu angkatan baru, pendobrak muda, dengan mendirikan Gelanggang Seninam Merdeka.

Di Pulau Buru, pada tahun 1973 itu, bersama Rosihan, Mochtar Lubis juga menemui Rivai. Ia ditanya tentang masa depan. Pada tahun itu dia bilang dia tak mengharapkan apa-apa lagi. Harinya telah habis sebelum benar-benar habis tak bersisa, mati yang terus mengejarnya tak bisa ia elakkan lagi.

Jakarta, 29 Juni 2021.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *