Anekdot: Makan Tak Makan Asal Makan

Oleh Doddi Ahmad Fauji

NAH, kami semeja di Hotel Topaz Bandung, setelah mengikuti sebuah acara. Di situ ada pelukis Isa Perkasa juga.

“Ini wahabiyah, tapi tradisinya Nahdliyin!” kata Kang Acep kepada Isa Perkasa, sambil menunjuk ke arahku.

“Persis, murtad dia mah,” kata Isa Perkasa.

Saya ketawa-ketawa saja. Ini waktu untuk bercanda sambil membunuh waktu.

Tiba-tiba kami merasakan hal yang sama, yaitu lapar.

“Kita harus cari makan,” kata Kang Acep.

“Tenang, itu banyak makanan,” kataku, menunjuk ke sebuah acara seminar, dan para peserta sedang istirahat dan makan.

“Wah kacau,” kata Kang Acep.

Tapi saya sudah terbiasa sejak mahasiswa, karena ada gedung di kampus yang suka dijadikan acara resepsi pernikahan. Kami masuk saja ke acara itu, nyalami pengantin, lalu ikut makan. Lalu pulang. Juga ketika jadi wartawan, ikut makan di acara orang lain, sudah menjadi rahasia umum para wartawan.

Aku langsung masuk ke kerumunan para peserta seminar itu, ambil piring, ikut ngantri untuk ambil makan di perasmanan. Beres ambil lalu duduk. Dan kulirik Kang Acep dengan Kang Isa Perkasa. Tampak wajahnya kagum bercampur salut.

Kugupai dengan tangan. Rupanya aktris sinetron itu ikut jejakku. Ambil makanan, lalu duduk di meja bundar bersamaku.

“Kau lebih dari sekedar Wahabiah rupanya. Di saat kepepet, kau cerdas juga,” kata Kang Acep.

Tak lama kemudian, datang seseorang, kelihatannya panitia.

“Bapak dari mana?” tanya orang itu, menunjuk ke Kang Acep, karena Kang Acep yang paling senior di antara kami bertiga.

Sok kira-kira, Kang Acep menjawab seperti apa?

Doddi Ahmad Fauji, penyair menetap di Bandung.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *