Peristiwa Metafora (1): Bagaimana Kita Menghindar dari Metafora?
Oleh Hasan Aspahani
MISALNYA kita mengucapkan kalimat ini, “tak usah kau kembali, aku telah menutup hatiku untukmu”, maka ada sebuah metafora tersembunyi di situ yaitu: hatiku adalah pintu. Arti kata pintu – dan hubungan meronominya dengan rumah – dipakai untuk menjelaskan perasaan kita.
Diri kita atau hidup kita, dengan metafora itu, dibayangkan sebagai rumah dan hati adalah pintunya. Menutup pintu berarti tak lagi mau menerima kau, kepada siapa kita mengatakan kalimat itu, untuk bersama kita atau masuk ke kembali ke dalam hidup kita.
Begitulah metafora bekerja. Metafora – sebagai sebuah gaya bahasa – dengan begitu telah membantu kita menjelaskan atau mengekspresikan perasaan kita dengan baik, dalam arti mudah dipahami oleh mitra bicara kita.
Barangkali kita bahkan tak bisa menghindar dari metafora. Metafora adalah peristiwa dalam bahasa, yaitu ketika kita memakai sifat-sifat, pengertian, atau makna suatu hal (tentu saja itu terangkum dalam sebah kata) untuk menjelaskan hal lain (yang juga terhimpun dalam kata lain), yang keduanya secara maknawi berjarak. Seperti rumah dan hati tadi.
Inti dari peristiwa metafora itu adalah proses transfer makna, semacam peminjaman, atau lebih tepatnya pemindahan, sebab seluruh makna yang terkandung dalam kata yang dipinjam itu, seluruhnya terbawa kepada kata yang hendak diberi penjelasan baru.
Dalam puisi metafora – bukan sekadar gaya bahasa – merupakan perangkat puitika penting.
Penyair yang baik adalah dia yang jeli mengamati hubungan-hubungan kata.
Ia memahami benar makna denotatif setiap kata. Ia cermat melihat kemungkinan-kemungkinan pemindahan makna-makna itu untuk menciptakan pengucapan yang khas, menciptakan makna-makna konotatif baru, dan menciptakan metafora yang segar dalam puisinya.(bersambung)