Innezdhe Ayang Marhaeni
Di Perantara
Di jendela yang merangkap kaca itu, mataku terkubur
Tidak dalam, hanya seperlunya
Sebab aku tak lihat matahari dan angin-angin yang memakannya
Tapi aku tahu cerita langit yang pulang seperti sudah-sudah
Jalanannya berisi konstelasi, dan tanggulnya lepak berpuisi. Airnya mengalir-ngalir, seperti mengais himbauan mimpi yang kusut dan gemerlap di saat yang bersamaan
Kata ibu, suatu ketika bulan pulang karena jarinya terluka
Lewat ombak-ombaknya yang ditariknya, ia mengadu dan mengadu
Tetapi langit selalu bijak mengadu cerita
Diputarnya awan dan bulan beristirahat
Dari rahim kerang yang paling dalam, langit menarik keluar matahari beserta gelak-gelak pijarnya
“Nah, engkau. Sudah saatnya berpunya adik.”
Sejak saat itu
Abangku yang ingin main layang-layang, harus pulang dipanggil bulan
Ibu bilang, tak patut merayakan kesedihan
Tapi aku tidak percaya
Jadi aku tidak kembali
Aku bersikeras, bahwa senyap hanya hilang bila ditemani
Ayahku yang keras kepala berkata, “mari merayakannya di dalam selimut”
Kemudian aku belajar luka
Sembab setelahnya
Darah di ujungnya
Dan belajar setiap pekannya
Aku menemui bulan dan matahari, membaur menjadi gemintang. Tidak dalam, hanya seperlunya
Sumber: Tulis.me, 15 September 2017.