Esai: Yang Asyik Berlari di Pundak Para Gergasi

Oleh Hasan Aspahani

KALAU saya satukan Goenawan Mohamad dan Subagio Sastrowardoyo dalam satu kelompok yang sebutlah namanya penyair intelektualis dengan sajak yang liris-rasional, maka mudah sekali membedakan sajak-sajak keduanya dengan Sapardi Djoko Damono dan Abdul Hadi WM yang katakanlah kita kelompokkan dalam golongan penyair imajis dengan sajak yang liris-emosional.

Sampul “Misa Arwah”.

Dengan pembacaan yang intens dan lebih dalam, mudah juga menangkap apa yang khas pada Goenawan yang membuatnya berbeda dengan Subagio. Dengan cara yang sama kita juga bisa membedakan apa yang khas pada Sapardi yang berbeda dengan Abdul Hadi. Pengelompokan seperti itu berguna membantu pemetaaan kasar untuk pemahaman sementara, meskipun harus lekas disadari penyederhanaan itu bisa menyesatkan.

Dengan risiko itulah saya ingin menempatkan Dea Anugrah dengan buku puisinya “Misa Arwah & Puisi-Puisi Lainnya” (Indie Book Corner, 2015) pada kecenderungan untuk berada pada atau mengikuti garis penyair intelektualis dengan sajak yang liris-rasional. Dengan sajak-sajaknya Dea telah menyinambungkan, dan mengembangkan, tradisi puisi modern Indonesia, sambil menawarkan pembaharuan juga, dari apa yang telah disumbangkan oleh Goenawan, Subagio, dan Asrul Sani pada era yang lebih ke hulu. Dea dengan anggun dan amat sadar berlari riang di atas pundak-pundak para gergasi pendahulunya.

Puisi adalah produk dari penyair yang mengolah pikiran dan perasaan, rasio dan emosi. Bila hasilnya adalah puisi-puisi yang berbeda-beda, maka perbedaan itu bisa dibaca dari kadar rasio dan emosi yang dilibatkan. Kelompok sajak liris-rasional lebih banyak melibatkan rasio, dan sebaliknya. Rasio dan emosi sesungguhnya tak bisa dipisahkan dalam setiap ekspresi manusia dengan bahasa, termasuk puisi. Kenapa? Karena proses pemerolehan bahasa adalah bagian dari perkembangan kecerdasan (rasio) manusia. Emosi pun berkembang seiring dengan perkembangan kecerdasan itu juga. Maka, dengan demikian, puisi sesungguhnya adalah perayaan dari keberpaduan kerja rasio dan emosi.

Seperti kaki yang didesain pada manusia untuk bisa berjalan, maka kecerdasan manusia juga didesain untuk menjadikan manusia bisa berbahasa. Salah satu jalan penting untuk memperoleh dan mengembangkan kemampuan berbahasa adalah meniru. Begitu juga puisi, salah satu bentuk ekspresi dalam medium bahasa. Penyair pasti orang yang pernah membaca puisi, atau tahu ada bentuk ekspresi dalam bentuk itu. Apa yang diserap oleh seorang penyair membentuk apa yang disebut lingkaran keterpengaruhan, yang bersisi model-model awal dari sajak yang hendak ia bentuk menghasilkan hibrida baru.

Pada banyak sajak Dea Anugrah mula-mula ia mengusik pikiran kita, baru kemudian menyentuh perasaan. Ia menuntut sejumlah pengetahuan yang sama. Bait ini misalnya: kematian adalah luncur burung / melepas diri ke lengang / dan kita mestinya tak berduka // duka adalah gaung jatuhnya batu / tertelan ganih hamparan salju / dan kita mestinya tidak menangis // Ia mengajarkan satu cara menghadapi maut, apa yang seringan terbangnya burung itu. Maka, tak perlu berduka dan tak perlu menangis karenanya. Duka dan tangis, apa yang terkait dengan perasaan itu, dikelola dengan rasionalitas. Sajak ini menawarkan semacam kiat untuk menghadapinya. Apalagi kemudian, kita tahu sajak ini diberi judul “Subagio Sastrowardoyo”.

Nah! Tanpa pengetahuan apa-apa tentang Subagio dan sajak-sajaknya, maka langkah untuk memasuki sajak ini bisa jadi akan terhalang, meskipun tentu saja sajak itu terbuka untuk pemaknaan lain. Dengan pengetahuan tetang Subagio, kita bisa merasakan sebuah sajak dengan nada rendah, apa yang dikatakan Goenawan untuk sajak Subagio.

Ia menghadirkan Vivian Bullwinkel, Marx Groucho, epithumia, Yusuf, Mahdi, Zulaikha, Sancho, Ian Flowerbel, Arab Hitam, kepiting Cina, Setadewa. Atau memberi judul dengan frasa latin: In Articulo Mortis, dan At Ignatorium. Dengan kecenderungan ini, Dea anugerah memang jelas bagi kita ingin melibatkan lebih banyak rasio di dalam proses menyairnya. Wawasannya yang kaya itu ingin ia pakai untuk menampakkan atau mewujudkan “gerak jiwa”-nya, kegelisahannya, permenungannya. Atau dengan cara itu, ia ingin mengendalikan emosi jiwanya itu agar tak terlalu tampak. Mungkin, ia memang tak nyaman untuk terlalu membuka ruang dalam batinnya, tetapi ia perlu melakukan itu. Maka kompromi harus ia lakukan. Untungnya, karena ini sebuah kompromi, maka ia juga menahan diri untuk tak sekadar pamer pengetahuan.

Umumnya, Dea bisa arif untuk menghadirkan khazanah pengetahuannya dan wawasannya yang luas itu untuk menjadi metafora, simile, atau alusi, dalam puisi-puisinya. Ia bicara memakai hal-ihwal itu, bukan tentang hal ihwal itu. Maka sajaknya, bergerak dalam wilayah: kesepian, kesedihan, dan kecemasan.

Tetapi jelas, bukan kecengengan. Bukan sedu-sedan yang tak perlu itu. Ia mungkin sejenis hibrida baru dari binatang jalang yang bisa meredam diri untuk tidak meradang dan menerjang. Rasionalitas adalah tameng yang ia bentangkan untuk membendung luapan emosinya. Kecenderungan untuk meredam itu yang mungkin menyebabkan ia bukan penyair kita yang produktif. Tetapi, sajak-sajaknya yang sedikit di buku ini, adalah sajak-sajak yang penting dalam konteks perkembangan dan kelanjutan puisi modern kita.

Bukan kelantangan untuk melawan itu yang diperlukan hari-hari ini. Karena persoalan hidup kita bersama sekarang adalah bagaimana menghadapi perubahan yang deras dan bagaimana mempertahankan kekuatan untuk setia pada ikatan moral bersama. Kata Dea, tiap-tiap percakapan kita adalah sebuah dunia, / semesta lebam milik orang-orang mati / tempat luka bergelak bagai hantu / di dalam waktu, mengatasi waktu (Tentang Percakapan, hal. 12).

Berpegang dan berangkat dari watak dasarnya yang berat ke rasio, maka wacana yang dibawa Dea dalam sajaknya adalah wacana yang cerdas dan kritis: O, labirin dari labirin / aku tertidur di jantungmu / bagai pengetahuan berkubur dalam buku-buku (Ode untuk Tubuh Perempuan, hal. 16); alusinya bisa berlapis tebal untuk menemukan titik akhir pelacakan dan titik awal perujukan: setelah dua puluh puisi / menjadi demam atas tubuhku / sampailah kita pada baris-baris ini: / sebuah lagu penghabisan untukmu. (Lagu Penghabisan, hal. 19).

Saya kira lagu penghabisan itu adalah “una cancion desesperada” – lagu duka lara setelah dua puluh puisi, “viente poemas”, siapa lagi kalau bukan Neruda. Di sajaknya yang lain ia memperkenalkan: Lamia, perempuan telanjang berkaki ular (Lamia, hal. 32). Ia menghadirkan simile (juga alusi) dewa dari mitologi Yunani: alas tidurku / bidang sederhana seluas tubuh / tapi seperti Atlas yang tabah / kau pikul semesta rahasia. (Alas Tidur, hal. 34). Ia juga menunjukkan kecenderungan untuk menghadirkan imaji surealis: seperti sepasang bayang-bayang yang meninggalkan para pemiliknya (Seperti Bayang-Bayang, hal. 30).

Sementara itu ia juga bisa tetap santai dan sinis. Coba rasakan bait ini: “Pisau cukurmu / sudah tumpul dan kotor. / Baunya amis seperti stoking basah. Tolong ingat-ingat, ya, / nanti siang ke swalayan.” Dan si sajak yang sama ia menulis, “Kudengar lima orang rabi yang saleh / dan bersih mulutnya dari dosa / bertengkar soal bahaya Cina dan ketombe / di sebuah plasa. Buat saya simile, citraan, seperti ini baru dan segar yang lahir dari pengamatan dan penghayatan (juga kejengkelan) yang intens.

Sajak penutup di buku ini, mengingatkan saya pada sajak Rustam Effendi (1903-1909), Bukan Beta Bijak Berperi (Percikan Permenungan, 1926). Di sajak itu Rustam menyampaikan semacam kerendahhatian, bukan beta bijak berperi / pandai menggubah madahan syair. Hingga ditutup dengan bait: bukan beta berbuat baru / hanya mendengar bisikan alun.

Pada Dea, ia menulis: seperti ujung benang sehelai / mudah luput dari lubang jarum, / adakalanya sebuah puisi / tak bisa menggenggam jiwamu. Di bagian lain pada sajak itu: “Celakalah kedua tangan penyair / bila tak disampaikannya kebenaran! // Tapi apakah kebenaran, apakah puisi? Keraguan atau kerendahhatian semacam itu, saya kira sama perlunya dengan kekukuhan sikap pada kutub lain, semacam “ingin hidup seribu tahun lagi” atau “yang bukan penyair tidak ambil bagian”, agar apa-apa yang ingin dihantarkan bisa meraih perhatian dan tersampaikan dengan maksimal.

Hingga pada Dea Anugrah (lahir 1991) dan para penyair yang memulai, tumbuh dan berkembang sezaman dengannya, sesungguhnya sudah cukup banyak bahan dan alasan bagi kita untuk membicarakan apa yang telah dihasilkan dan dicapai sejauh ini dalam ikhtiar kita bersama mengembangkan puisi modern kita. Mungkin bisa kita mulai dengan pembicaraan ringan seperti apa yang terbentang dalam esai ringan ini.

 

Jakarta, Juni 2018.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *