Esai: La Galigo dan Sebuah Tepukan Kecil Faisal di Pundak Kita

Oleh Hasan Aspahani

KENAPA Faisal Oddang menulis puisi-puisi dalam “Manurung” (Gramedia, 2017) dalam bahasa Indonesia? Kenapa tidak dalam bahasa Bugis, bahasa yang tentu ia kuasai, dan merupakan bahasa teks “La Galigo”, epos yang menjadi sumber gagasan tulisannya? Tidak ada yang melarang dia untuk menulis dalam bahasa Bugis. Tidak juga ada orang yang mengharuskan dia menulis dalam bahasa Indonesia.

Kenyataan bahwa Faisal memilih menulis dalam bahasa Indonesia, juga untuk novel dan cerpennya, menegaskan satu hal: dia adalah sastrawan Indonesia, yaitu sastrawan yang menulis karya dalam bahasa Indonesia. Sastra Indonesia adalah sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Pernyataan sederhana ini, dulu bisa sangat merisaukan, sebab dianggap merendahkan, menomorduakan, bahkan meniadakan sastra daerah, padahal, sastra daerah itu lebih dahulu ada dan berkembang.

Hari ini, karya-karya para sastrawan Indonesia, tak lagi menyisakan keraguan bahwa Bahasa Indonesia memang mempunyai kemampuan untuk mengungkapkan segala ekspresi estetis. Sastrawan Indonesia modern memakai dan mengembangkan bahasa Indonesia, dan bahkan, seperti dikatakan Sapardi Djoko Damono, menciptakannya. Begitulah bahasa Indonesia dijunjung, tanpa kehendak untuk membunuh bahasa daerah, juga sastra daerah.

Ajip Rosidi dalam Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (Pustaka Jaya, 1969) mendudukkan sastra daerah itu sebagai Sastra Nusantara untuk membedakannya dengan Sastra Indonesia. Tapi kecemasan tentang tersisihnya sastra daerah tak pernah hilang. Selalu ada imbauan untuk menulis dalam bahasa daerah, sepertinya yang kita dengar dari sastrawan senior Iman Budi Santosa untuk sastra Jawa.

Sampul buku “Manurung”.

Apa yang dilakukan Faisal Oddang sesunguhnya adalah jawaban dari kecemasan itu. Sastra daerah tak akan pernah tersingkir, jika ia terus direproduksi, selalu dijadikan wacana perbincangan, dan yang lebih penting adalah dijadikan inspirasi untuk menghasilkan karya baru. Yang terakhir itulah saya kira yang peran dan tempat yang paling terhormat bagi sastra daerah di sisi sastra Indonesia. Dengan menempatkannya sebagai sumber inspirasi, maka posisinya sesungguhnya tinggi dan penting. Teks “La Galigo” bagi Faisal, seperti puisi-puisi Marsman bagi Chairil, balada-balada Lorca bagi Rendra. Faisal tidak akan pernah mau membunuh sumber inspirasi kreatifnya itu. Ia akan merawatnya, memasuki dunianya, menafsirkannya, dan dengan demikian berarti terus menghidupkannya.

Apa yang sesungguhnya dilakukan Faisal terhadap epos mitologis “La Galigo” dengan karyanya itu? Mula-mula, dia mengambil tempat sebagai pembaca yang kritis. Ia tidak sekadar menceritakan ulang, meskipun tentu saja ada yang harus terceritakan dengan caranya itu. Karena itu tercipta dunia rekaan baru yang sepenuhnya dalam kendali si penulis. Faisal menyatukan diri dengan orang-orang kecil yang dibungkam di luar istana para penguasa yang sesuka hatinya menentukan nasib dunia. Ya, namanya juga tuhan.

Suara orang kecil – yang disembelih, yang darahnya jadi bagian dari keabsahan penguasa, yang diperbudak, yang dihadiahkan seperti komoditas politik kekuasaan – itulah yang jadi modus teks puisi Faisal. Lewat suara mereka Faisal menggugat, merekonstruksi posisi-posisi, mempertanyakan keputusan-keputusan, dan tindakan-tindakan – ia memilih tiga nama – karakter dalam “La Galigo”, yaitu Datu Palinge, Sawerigading, dan La Galigo. Tiga generasi itu satu garis keturunan, karena itu ia memberi judul bukunya “Manurung”, pertalian darah yang turun ke bawah.

Tiga belas pertanyaan diajukan kepada tiga tokoh itu. Itu saja sudah cukup membangkitkan imaji, gagasan, dan emosi yang sedemikian kompleksnya. Faisal mengasah seluruh teks yang ia bangun untuk menajam ke arah satu pertanyaan: kenapa penguasa bisa menjadi sedemikian kejamnya membunuh pihak lain demi hasrat berkuasa dan kebahagiaannya? “Manurung” – seperti sumbernya – sesungguhnya adalah teks yang sangat politis dan relevan dengan situasi politik di negeri ini hari-hari ini.

“Apalah arti Tuhan bila tak ada manusia yang menyembah?” Inilah bait pertama pada pertanyaan (puisi) pertama, yang diajukan kepada Datu Palinge, istri Dato Patotoe, sang penguasa dunia atas. Segalanya ternyata berasal dari persoalan eksistensi itu. Seseorang telah ada. Tapi apakah benar dia ada jika tak ada orang lain yang mengakui keberadaan itu? Maka, dari teks Faisal saya tahu bahwa kemudian diutuslah (dikorbankanlah) Batara Guru, anak mereka sendiri untuk mengembangkan umat di bumi dan menjadi penyembah – mengakui keberadaan – sang pencipta mereka itu, yang sesungguhnya adalah datuk mereka sendiri.

Puaskah karenanya Datu Patotoe? Faisal menyodorkan dalam dunia rekaannya bahwa dunia yang terbina adalah dunia yang jauh dari damai. Para penyembah terpilih seakan berkembang dengan liar dan sibuk dengan selangkangan, terjerat dalam hubungan cinta yang rumit dan ganjil, bahkan harus membunuh dan berperang untuk kepentingan memenuhi hasrat seksual itu.

Di hadapan puisi Faisal saya membayangkan diri sebagai anak kecil yang penuh rasa ingin tahu yang mendengarkan dongeng menjelang tidur, seperti dia dulu mendengar dari ayahnya. Saya menikmatinya dan menunggu cerita lain, sebab tentu banyak sekali yang bisa diceritakan dalam dunia rekaan baru dari magnum opus 300.000 bait itu.

Jika sebagai pembaca yang kita buru adalah petikan-petikan aforismis, maka Faisal dengan baik menyediakan itu. Rasanya kalimat-kalimat berikut ini bisa dikutip dan terlepas dari konteknya untuk dikenakan pada konteks lain:

– Di hadapan kekuasaan, air mata hanya tepukan kecil pada pundak orang yang sedang berlari.
– Kesedihan tidak berwajah dan tak pernah diberi nama.
– Dia tak mengenali Kesedihan itu, tetapi Kesedihan menganalinya.
– Manusia harus menderita untuk belajar mengenali kehidupan.
– Rindu bisa mengubah batu menjadi ceruk airmata.
– Aku tidak pernah dicari karena aku tidak sembunyi. Aku tidak pernah hilang,maka tak ada yang menemukanku.
– Angin laut tak pernah menjadi milik satu layar saja.
– Cinta tak pernah mampu mengubah sebuah takdir.

Saya membayangkan, dengan cara yang telah dilakukan Faisal, peristiwa-peristiwa, tokoh-tokoh, dialog, ucapan-ucapan, dalam “La Galigo” kelak hadir menjadi rujukan, menjadi alusi, bahkan simbol-simbol, sebagai cara lain untuk memamahi dan mengoreksi kehidupan kita hari ini dan nanti, bukan hanya bagi mereka yang berbekal latar budaya Bugis, tapi juga bagi orang Indonesia dan dunia, seperti Mitologi Yunani itu.   Tetapi, jangan-jangan rangkaian pertanyaan Faisal dalam buku ini hanya menjadi tepukan kecil di pundak kita semua yang sibuk berlari entah mengejar apa? Apapun itu, Faisal sudah menepuk pundak kita, untuk menyadarkan kita dari apa-apa yang harus segera hadir kembali dalam ingatan kita.

Jakarta, Juni 2018

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *