Esai: Mario dan Motif Keagamaan dalam Sajak-sajaknya

Oleh Hasan Aspahani

SUMBER dan bahan pengucapan puisi-puisi Mario F. Lawi (lahir 1991) dalam buku “Lelaki Bukan Malaikat” (Gramedia, 2015) adalah apa yang dekat dengannya, yaitu khazanah bibel dan kehidupan budaya dan sosial lokal Kupang, Timor, tanah kelahirannya. Kenapa? Karena, itulah hal yang sangat ia kuasai dan ia pelajari bahkan sebelum ia belajar menalar. Dengan pilihan itu, katanya, ia yang merasa sedang belajar menulis puisi terhindar spekulasi yang tidak ia kenal. Pengakuan itu ia sampaikan di buku sebelumnya, “Ekaristi” (Plotpoint, 2014), yang saya rasa masih sangat relevan untuk dikenakan ke buku ini.

Pilihan itu, dan tentu juga karena bakatnya yang besar, membuat dia lekas melesat di jagad kepenyairan Indonesia. Melesat di sini, bukan hanya perkara waktu meraih reputasi itu, tapi juga peneguhan identitas estetisnya. Sama-sama berlatar pendidikan di sekolah menengah atas seminari Katolik, Mario jelas berbeda dengan penyair senior kita Joko Pinurbo. Pada Joko Pinurbo, latar belakang dan nilai-nilai religius dari apa yang ia imani seringkali hadir secara sublim dan menyaran lembut. Sementara Mario menghadirkan saja apa yang ia pahami itu, menjadi ungkapan yang ramai, dan kadang terasa jenuh.

Ini bukan soal bagus atau buruk, ini soal perbedaan jalur yang ditempuh. Karena itu, tidak seperti sajak Joko Pinurbo yang bisa dianggap lepas atau berada dalam ikatan yang longgar dengan suasana keagamaan, sajak-sajak Mario justru akan menarik bila dibandingkan dengan sajak-sajak yang pekat dengan ungkapan ketuhanan yang ditulis misalnya oleh dua penyair terdahulu, J.E. Tatengkeng (1907-1968) dan Fridolin Ukur (1930-2003).

Sampul “Lelaki bukan Malaikat”

Di Horison edisi perdana, Juli 1966, Goenawan Mohamad menulis esai tinjauan (Posisi Sastra Keagamaan Kita Dewasa Ini) yang mencoba menyelidiki gejala maraknya sastra keagamaan pada masa itu. Agama dalam sastra bisa menjadi latarbelakang pengungkapan karya, atau lebih jauh bisa juga dipakai sebagai nilai-nilai utama yang menjadi sumber pemecah segala persoalan. Pertanyaan Goenawan apakah telah lahir sebuah genre baru yang kukuh atau hanya gejala reaktif yang sementara? Dan apa motif para sastrawan menggarap tema keagamaan? Ada dua motif yang diuji Goenawan: Pertama, pencarian identitas (motif di dalam kesusastraan). Kedua, tanggapan atas rivalitas kelompok yang meningkat ketegangannya (motif di luar kesusasteraan).

Jika identitas yang jadi motif, maka pertanyaannya ketika si penyair tak lagi menulis dengan tema-tema keagamaan apakah ia kemudian menjadi kehilangan identitasnya sebagai penyair? Lagi pula, bukankah identitas itu terutama tak mengandalkan semata pilihan tema? Tetapi lebih banyak bagaimana tema itu diucapkan dalam pergulatan estetika puitikanya?

Jika motif kedua yang mendorong penyair, maka akhirnya hanya akan melahirkan kehidupan rohani yang penuh tekanan. Sastra hanya menjadi alat dan pada gilirannya, bersama agama, akan tersingkir oleh apa yang paling bisa dipakai untuk melahirkan tekanan (bahkan serangan) kepada lawan yaitu kekuasan politik.

Mario jelas tidak berada pada situasi pada dekade 60-an itu. Ia juga bisa lepas dari ujian dua motif yang diajukan Goenawan. Mario, seperti dia akui, memilih tema yang dekat dan yang paling ia kuasai. Ia mungkin saat itu tidak mempertimbangkan bahwa karena pilihannya itu maka ia menjadi berbeda. Pilihan temanya menjadi identitasnya. Dan memang itu yang terjadi. Ia melesat menjadi penyair yang khas dengan pilihan temanya itu. Apalagi di luar dirinya, membanjir sajak dengan pengulangan tema-tema lama. Pengakuan-pengakuan atas pencapaian Mario itu antara lain datang dari berbagai penghargaan yang ia terima.

Mario juga sama sekali tak punya motif kedua. Ia berdiri sebagai penyair bebas. Kita ingat, buku puisinya “Ekaristi” bahkan disunting oleh M Aan Mansyur. Jadi, tak ada urusan dengan identitas (agama) dalam kerja sama kreatif mereka berdua.

Apakah pilihan tema bagi Mario membuat sajaknya lancar dan wajar? Umumnya, ya. Tapi pada banyak sajak tampak ia terlalu patuh pada khazanah bibel dan tak kritis pada kekayaan budaya lokal yang ia sajakkan. Ada memang terbaca pertanyaan-pertanyaan kecil tapi itu hanya untuk mengingatkan diri agar kembali pada ketaatan. Memang, sastra tidak selalu berarti pembertontakan atau perlawanan.

Tetapi, seringkali sajak yang ditulis dengan membawa pertanyaan-pertanyaan kritis akan membuka banyak ruang pemaknaan baru yang segar dan kadang juga mengejutkan. Atau mungkin memang keberimanan dan ketaatan Mario lurus belaka, dan dalam hidupnya tak ada konflik misalnya antara budaya dan gereja? Maka, karena itu sajak-sajaknya adalah ajakan untuk menempuh jalan ke penghayatan dan pemahaman yang lebih dalam?

Mungkin karena itu sajak-sajak Mario terasa berat dengan pesan-pesan dalam wujud narasi yang lancar, dalam wujud bahasa yang diafan. Dan hal itu, bagi pembaca seperti saya yang datang sebagai turis asing ke wilayah puisinya untuk menikmati semacam tamasya teks, agak mengurangi keriangan saya. Saya jarang bertemu dengan ungkapan-ungkapan puitik yang membuat saya harus berhenti sejenak, membaca ulang lagi, untuk mereguk nikmat sebanyak-banyaknya.

Keriangan dan kenikmatan demikian itu misalnya saya temukan pada sajak ini, misalnya:

/1/
Ia menyentuh yang telah ditaburkan di atas benang sambil merasakan kematian yang berjalan mendekat. Kedua ujung pedang kayu telah ia pegang untuk merekatkan helai-helai kenang.

Angin mencium kelopaknya sebelum terjerumus ke dalam kesunyian.

Bait pertama dari sajak berjudul “Penenun” (hal. 39) ini mengejutkan. Menenun, menciptakan selembar kain dari helaian benang ditautkan pada sesuatu yang secara metaforis jauh atau bertentangan yaitu dengan kematian. Perangkat tenun disebut sebagai pedang kayu, yang bukan untuk memenggal, tapi merekatkan helai-helai kenangan. Lalu cerita soal tenunan itu hilang di akhir bait itu. Ia memang tidak sedang ingin bercerita tentang itu, ternyata, tapi tentang si penenun itu. Dari teks lain, kita temukan, bahwa ibunda Mario adalah seorang dari keluarga penenun.

Riwayat itulah yang kemudian disampaikan sampai bait ke-4 sajak itu. Diksi yang terkait dengan tradisi menenun – benang, gunting, celup, jarum, akar pewarna – bermunculan untuk menjelaskan riwayat sang penenun itu. Kompleksitas terbangun karena riwayat itu berkelindan dengan perantau bugis dengan imaji laut, perahu, layar, angin dan sebagainya. Lantas hadirlah keyakinan pada mitologi lokal yang yang menegaskan kehadiran konflik yang tak terselesaikan.

Saya ingin mengutip lagi Goenawan dari esainya yang lain (“Puisi Kitab Suci” dalam buku “Potret Seorang Penyair Sebagai Si Malin Kundang“; Pustaka Jaya, 1979) yang mungkin bisa dipakai untuk memberi harga pada tema religiositas yang digarap oleh Mario . Dia menulis: Seandainya kitab-kitab suci hanyalah buku-buku hukum yang tanpa puisi, manusia sudah lama akan hidup dengan rohani yang kering….. Di tengah-tengah pengalaman masa kita kini, salah satu kebutuhan kita adalah menghidupkan kembali puisi yang terdapat di dalamnya.

Untuk itu, Mario berhasil. Ia menghadirkan kembali puisi dari kitab suci dalam bentuk yang berhasil sebagai puisi. Tetapi, Mario jelas bukan Chairil Anwar yang berada di luar rumah Tuhan, berusaha melawan dan menjadi remuk serta hilang bentuk, tetapi ke pintu rumah itu jua ia kembali mengetuk dan tidak bisa berpaling. Mario ada di dalam rumah Tuhan itu dan di sana ia menulis dengan khusyuk.

Jakarta, Juni 2018

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *