Esai: Menunggu Pengukuhan Hari Puisi Indonesia

Oleh Taufik Ikram Jamil


RENTETAN kegiatan yang dinamakan Hari Puisi Indonesia (HPI) seperti ditutup di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Sabtu (29/12/18) malam. Berlangsung sejak Juli lalu pada lebih dari 60 tempat di Tanah Air secara mandiri pada masing-masing pelaksana  dan tidak pula memiliki semacam pusat komando sejak enam tahun terakhir, HPI sekurang-kurangnya patut dicatat secara tersendiri.

Salah satu kegiatan yang ditunggu pada HPI adalah penilaian buku puisi yang tahun ini diikuti  hampir 300  penyair/ buku. Untuik tahun 2018 ini, buku puisi utama HPI adalah Bunatin, Romantisme Mantra Puisi  Talang Mamak  karya Dheni Kurnia. Ditetapkan pula lima buku terbaik dan 14 buku dengan pujian oleh juri yang dipimpin Prof Dr Abdul Hadi WM dengan anggotanya Sutardji Calzoum Bachri dan Maman S. Mahayana. Total hadiah yang disediakan adalah Rp 100 juta.

Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa  mengamati pelaksanaan HPI di berbagai daerah maupun di Jakarta itu secara mandiri–tidak tergantung pada dana pemerintah, bahkan mengeruk kantung sastrawan–kegiatan ini wujud dari suatu jiwa yang lengkap. Puisi atau sajak bukan saja keperluan terkini, tapi juga masa lalu, bahkan fondasi bagi keindonesiaan yang seharusnya dipupuk untuk harga hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tak salah lagi, puisi sejak lama menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan. Puisi setidak-tidaknya menjadi alat untuk sosio-politik, ekonomi, bahkan spritual. Dalam kaca mata komunikasi politik misalnya, puisi dinilai sebagai pengantar kepentingan politik tradisional sejak berabad-abad. 

Dalam kaitan hal di atas, sebenarnya tidak aneh kalau kemudian dalam berbagai kesempatan, presiden penyair Sutardji Calzoum Bachri menyebutkan bahwa teks Sumpah Pemuda 1928 sebagai sebuah puisi besar. Tidak saja dalam teks itu menggambarkan sesuatu yang belum ada (imajinasi), tetapi pola gaya bahasanya terpaut pada repetisi yakni pengulangan-pengulangan untuk menampilkan efek tertentu yakni magis. Misalnya, kalimat “kami putera-puteri Indonesia”, diulang-ulang yang disambut dengan sebutan “Indonesia” secara berulang-ulang pula. 

Nasib puisi

Cuma di sisi lain patut pula diakui bahwa sejak lama puisi tidak mendapat tempat dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Puisi terbiarkan yang dapat dilihat dari sistem pengajaran sastra di sekolah yang sampai sekarang menjadikannya sebagai subpelajaran bahasa. Padahal puisi dan juga bentuk sastra lainnya bukan sekedar bahasa, tetapi juga berkaitan erat dengan berbagai ekspresi dan tatanan kehidupan manusia sebagaimana disebutkan di atas.

Akibatnya yang patut diduga–karena belum ada penelitian mengenainya secara konkrit–adalah bagaimana daya ucap masyarakat makin lama makin mengering. Ujaran kebencian dan sejenisnya yang begitu subur sekarang  ini dapat dijadikan cermin bagaimana penggunaan bahasa tidak lagi berpatokan pada nilai rasa yang dilatih melalui sastra khususnya puisi.  Akibat-akibat lain tentu banyak seperti terbatasnya ransangan kreativitas, tetapi memadailah disebut ihwal nilai rasa bahasa yang kini begitu jelas terlihat dalam situasi politik kekinian–bandingkan posisi puisi dalam komunikasi politik tradisional yang juga sudah disebutkan. 

Pertanyaan berikutnya adalah apakah kita memang mau melihat kondisi kebahasaan dan kreativitas seperti sekarang masih terjadi pada generasi mendatang? Jawabnya tentu tidak. Tapi untuk itulah kehidupan sastra perlu dibenahi sedemikian rupa oleh pemerintah dengan memfasilitasi gerakan masyarakat seperti HPI. Dicetuskan di Pekanbaru, Riau, tahun 2012, HPI memilih tanggal kelahiran penyair Chairil Anwar, 26 Juni 1922. Sebuah yayasan yakni Yayasan HPI dibentuk untuk menjaga agar pelaksanaan HPI secara nasional tetap terlaksana.

Di atas hal itu, alasan paling kuat mengukuhkan HPI adalah bahwa puisi milik bagsa ini yang bahkan sudah memberi sumbangan besar bagi peradaban bangsa, misalnya melalui peranannya dalam berbagai sendi kehidupan dan Sumpah Pemuda 1928 sebagaimana disebutkan di atas. Puisi menjadi sesuatu yang sediakala ada (given) dan berperan aktif pada masa lampau, kini, dan masa mendatang.  Jadi menetapkan HPI pada hakikatnya adalah pemuliaan terhadap bangsa ini sendiri, bukan yang lain.

Suasana puisi

Agar HPI tetap mengedepankan gerakan masyarakat, cukup arif kalau pemerintah mengukuhkan HPI yang dicanangkan puluhan sastrawan yang dipimpin Sutardji Calzoum Bachri itu dalam suatu keputusan pemerintah. Hal ini tentu akan berdampingan dengan hari-hari lainnya seperti hari musik, tari, dan wayang yang telah dikumandangkan sejak lama.

Hal di atas telah berkali-kali disampaikan kepada pemerintah melalui berbagai jaringan. Terbaru, meskipun dalam kapasitas pribadi, ihwal serupa disampaikan oleh penyair Hasan Aspahani langsung kepada Presiden Joko Widodo dalam suatu pertemuan di Istana Negara (11/12/18). Kepala negara mencatat permintaan itu sebagai sesuatu yang penting.

Dari sinilah, setelah HPI dikukuhkan pemerintah,   suasana puisi dikembangkan di tengah khalayak baik formal maupun nonformal. Formal adalah bagaimana puisi dihidupkan dalam dunia pendidikan, sedangkan nonformal adalah memotivasi perkembangan puisi di tengah masyarakat. Teknisnya bisa saja mengikuti pola yang sudah terjadi selama ini, tinggal pemerintah memfasilitasinya secara terencana dan terukur.

Tentu kita sadari bahwa hasil yang diperoleh tidak dapat seperti bimsalalabin belaka, langsung jadi. Diperlukan waktu untuk memosisikan puisi kembali ke jantung masyarakat. Cuma sebuah proses telah dilaksanakan sesuai dengan keperluan dan potensi bangsa terhadap puisi itu sendiri. Salam puisi sepenuh hati.

(Taufik Ikram Jamil, sastrawan)

Sumber: Kompas, Sabtu, 5 Januari 2019.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *