Esai: Pragmatik dan Secuil Teks di Twitter

Catatan Seorang Awam
Oleh Hasan Aspahani

Saya ingin langsung mulai esai ini dengan kutipan:

Karena bahasa selalu diungkapkan dalam konteks, ada unsur-unsur tertentu yang menyebabkan serasi tidaknya sistem bahasa di dalamnya. Unsur-unsur luar bahasa atau ekstrastruktural itu (yang sering batasnya dengan unsur bahasa atau unsur struktural tidak selalu jelas) disebut pragmatik.

Saya mengutip paragraf di atas dari buku “Pesona Bahasa – Langkah Awal Memahami Linguistik” (Kushartanti, Untung Yuwono, Multamia RMT Lauder, penyunting; Gramedia Pustaka Utama, 2005). Ini buku yang bagus sekali. Buku yang bagi saya adalah sepotong emas yang saya dapat dari pekerjaan dan perjalanan saya memulung teori di sana-sini sebagai orang awam ini.

Mundur sedikit, dari buku yang sama kita dapat penjelasan tentang apa itu bahasa. Bayangkan dua lingkaran besar. Lingkaran pertama adalah dunia semantik atau dunia makna. Lingkaran kedua adalah fonetik atau dunia bunyi.

Lalu bayangkan kedua lingkaran itu beririsan. Nah, pada irisan kedua dunia itulah bahasa berada. Bahasa adalah bunyi yang bermakna.

Jika bahasa adalah sistem maka pada irisan lingkaran sistem itulah berada tiga subsistem bahasa yaitu: subsistem leksikon mencakup perbendaharaan bahasa; gramatika yang terbagi atas morfologi (hal ihwal terkait kata, bagian-bagiannya, dan proses pembentukannya) dan sintaksis (yang memberi perhatian pada satuan yang lebih luas daripada kata, yaitu frasa, klausa, dan kalimat); serta fonologi (yang mengkaji segi-segi bunyi dalam bahasa).

Beres? Belum, karena ya itu tadi, ada hal-hal di luar sistem yang berperan menyerasikan berfungsinya sistem itu. Bahkan kadang efektivitas sistem itu sangat tergantung pada unsur ekstrastruktural tersebut, ya pragmatik itu. Pragmatik berada di luar irisan dua lingkaran besar tadi, dengan kata lain bahasa itu adalah dalam bentang ruang pragmatik.

Di Bab “Pragmatik” di buku yang sama, Kushartanti menyebutkan bahwa untuk memahami apa yang terjadi di dalam sebuah percakapan, misalnya, kita perlu mengetahui siapa saja yang terlibat di dalamnya, bagaimana hubungan dan jarak sosial di antara mereka, atau status relatif di antara mereka.

Mari kita pakai sedikit kaidah itu untuk mengutak-atik percakapan antara seorang penyair dan guru besar sastra dengan seorang pengikutnya di Twitter. Begini:

@fs_goro: Eyang, mau tanya aja, untuk menulis sajak atau puisi itu ada kaidah-kaidah dasarnya kah? Atau mengalir saja apa yang ada di pikiran saat itu? Terima kasih.

@SapardiDD: Nulis aja, sastra itu tanpa kaidah…

Apa yang kita harapkan dari percakapan di medsos? Apa yang diharapkan akun @fs_goro ketika dia bertanya kepada @SapardiDD? Sebuah utas penjelasan dengan panjang berjela-jela mengingat yang ia tanya adalah seorang profesor? Apa juga yang dibayangkan pemilik akun @SapardiDD ketika menjawab pertanyaan itu? Jangan-jangan akun itu tidak dikelola langsung oleh Sapardi Djoko Damono?

Tapi baiklah kita kembali melihat konteks saja, sebagaimana yang dibutuhkan untuk telaah pragmatik.

  1. Percakapan itu dilakukan di Twitter, media sosial, dengan kecenderungan sambil lalunya begitu besar. Sapardi memang punya akun Twitter tapi dia bukanlah orang yang sangat aktif bermedsos. Sekali lagi kita tak bisa mengharap dia membuat utas panjang untuk menjawab pertanyaan pengikutnya itu.
  2. Akun penanya bukanlah akun yang punya perhatian besar pada penulisan puisi. Tampaknya ia mengetwit random saja. Bisa disimpulkan dia memang tak berharap jawaban yang rinci. Pertanyaannya pun diajukan sebagai balasan atas komentar Sapardi atas sebuah twit yang menyebut nama akunnya.
  3. Dalam situasi itu maka besar kemungkinan jawaban Sapardi adalah jawaban sambil lalu, yang tak ia pikirkan benar apa yang dibutuhkan penanya. Jawabannya motivasional, jawaban yang memberi semangat: tulis saja! Pak Sapardi tidak sedang bicara di depan ruang kuliah, atau di forum seminar, atau diskusi peluncuran buku. Ketiga tempat itu memberi konteks pragmatis yang pasti berbeda-beda, juga berbeda dengan obrolan di media sosial.
  4. Dalam pragmatik ada yang disebut inferensi. Yaitu hal-hal tambahan yang dipakai oleh pembaca (kalau komunikasinya dalam bentuk teks) untuk memahami apa yang tidak diungkapkan secara eksplisit di dalam sebuah ujaran. Maka, bagi saya cuitan “…nulis saja, sastra itu tanpa kaidah.” Mengandung inferensi yang harus saya pakai untuk memaknainya dengan benar.
  5. Kok harus repot begitu? Karena ini cuma cuitan selewatan di Twitter, kok. Tapi salah satu peserta tuturnya adalah seorang sastrawan, penyair, profesor sastra, yang sejak 1969 sudah berceramah ilmiah yang bikin penyair pada masa itu tertampar dan harus tertunduk malu dan ceramah sastranya itu diberitakan dan jadi polemik pula di surat kabar umum. Artinya apa? Pasti ada hal-hal yang melatar belakangi tuturan sekilas itu yang menjadi inferensi jika kita ingin memahaminya dengan benar.
  6. Tapi apakah teks cuitan Sapardi tak bisa kalau kita maknai secara semantis saja? Mari kita coba, nanti saya ingin sampai bahwa langkah itu tak cukup. Abaikan pertanyaannya, kita fokus saja pada pernyataan: Nulis aja, sastra itu tanpa kaidah… Ini maksudnya apa? Apakah Pak Sapardi menyatakan:
  • Tidak ada kaidah dalam sastra.
  • Tidak ada kaidah dalam ilmu sastra.
  • Kaidah sastra itu ada tapi ketika menulis, menulis saja tanpa kaidah itu.
  • Tulis saja lebih dahulu tanpa memikirkan kaidah sastra.

Atau kita bisa langsung memaknai:

  • Gila ya, profesor sastra kok ngomong sastra itu tak ada kaidahnya? Profesor apa tuh?

Nah, penyimpulan terakhir ini pun sudah terbawa ke ruang pragmatik juga, bukan?

Bagi saya semua penyimpulan itu tak ada yang meyakinkan tanpa memberinya konteks. Dengan kata lain semantik saja tak cukup tanpa pragmatik. Berbahagialah mereka yang dengan yakin membuat kesimpulan dari sepotong teks yang tak memberi bahan cukup untuk dimaknai. Saya tidak, saya orang awam yang harus pontang-panting memungut teori di sana-sini dan belum tentu pula itu teori yang pas untuk mengatasi keawaman saya.

Karena itu saya mau tak mau harus kembali ke konteks. Harus memberinya konteks. Menempatkannya dalam bentang pragmatik. Si penanya ingin minta petunjuk praktis soal menulis puisi. Si penjawab sedang memberinya jawaban yang menyemangati. Penjelasan soal itu ada di esai saya “Mencoba Memahami Apa Itu Sastra – Catatan Permenungan Seorang Awam”.

Howgh!

Jakarta, 16 Mei 2020.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *