Oleh Hasan Aspahani
DI dalam kepala seorang penyair, kenangan barangkali bisa juga berada dalam situasi yang senantiasa surealistis. Menyair bagi penyair itu adalah upaya untuk mengembalikan kenangan yang surealistis itu kepada yang realistis. Tentu saja upaya itu tak pernah sepenuhnya berhasil. Bahasa puisi yang hendak kembali pada imaji yang nyata di dalam puisi ternyata kerap menjadi peluru yang kesasar.
Penyair itu bernama Al-Fian Dippahatang (kelahiran Bulukumba, 1994). Dia gondrong dan gempal. Ketika menerbitkan buku puisinya yang pertama “Semangkok Lidah” (Ghina Pustaka, 2016), yang jadi bahan pembicaraan dalam esai ini, ia masih memakai jaket mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin, Makassar.
Bahan untuk mendakwa motif Al-Fian sebagai penyair sebagaimana disebutkan di alinea pertama adalah sajaknya yang kedua di bukunya itu. Ia menafsir lukisan Salvador Dali yang sangat terkenal “The Persistence of Memory”. Kekeraskepalaan atau kegigihan kenangan. Ia juga membuat satu sajak lain yang terinspirasi lukisan lain, yaitu “The Kiss” karya figuratif Gustav Klimt yang juga sangat populer.
Pada sajak “Persistence…” yang oleh Al-Fian ia sebutkan sebagai interpretasi atas Dali, sesungguhnya yang terjadi adalah sebuah tafsir yang sangat bebas dan lepas. Lukisan itu seakan hanya diambil sebagai latar. Dari sana Al-Fian menangkap kesunyian yang sebangun dengan kesunyian yang ia rasakan yang ingin ia beri wujud, juga ingatan-ingatan yang kecewa, masa lalu yang mudah terhapus, tangan yang menolak dilingkarkan gelang atau arloji, atau jarum jam berkarat yang mengakhiri putarannya. Dari sajak “The Kiss” (hal. 4) Al-Fian juga bicara tentang masa lalu, dengan kata lain adalah kenangan juga.
Frasa-frasa tersebut mudah sekali mengembalikan kita ke hadapan bentangan lukisan Dali. Tetapi di dalam sajak Al-Fian kita tak lagi menerima lukisan itu secara utuh. Keduanya adalah dunia yang bisa dihubungkan (sebagaimana diiinginkan penyair kita ini) tapi keduanya utuh juga sebagai dunia yang berdiri sendiri. Kenangan yang surealistis dan lukisan yang surealistis, bertemu, atau dipertemukan, menghasilkan sebuah dunia dalam sebuah sajak yang ingin lebih realistis, tapi gagal, dan kegagalan itulah yang membuat sajak Al-Fian berhasil!
Benarkah Al-Fian membina kenangan dalam dunia surealistis? Sajak “Mengigat Sundal” (hal. 5) mungkin bisa jadi bukti yang menguatkan premis itu. Sajak itu dimulai dengan ikhtiar menemukan sebuah kata yang bisa mengingat masa lalunya. Yang ia temukan adalah kata: sundal! Usaha untuk menemukan kata itu sedemikian cepat, hanya satu hari, katanya. Di mana ia menemukan kata itu? Di dalam tubuhnya! Sundal itu adalah nama seunggun iblis. Dari dalam diri, kompleksitas lantas diperluas ke kota, di mana sundal iblis itu bertebaran, hingga kemudian ke semangkuk coto tanpa jeruk nipis, dan sajak kemudian masuk ke warung coto dan ada sundal juga di sana.
Menelusuri lembar demi lembar halaman buku puisi ini selanjutnya, akan membawa kita ke suasana sebuah warung coto makassar yang ramai, juga padang rumput penggembalaan sapi yang sepi.
Ya, ini sebuah kejelian, seperti Joko Pinurbo menemukan cara bagaimana menggarap kamar mandi, mandi, celana dan ranjang. Saya kira, pasti ada penyair yang telah lebih dahulu yang menghadirkan coto yang khas dan terkenal itu dalam sajaknya. Tetapi Al-Fian telah menemukan dan menciptakan bagaimana cara mengolah imaji coto dan sapi (juga kuku jari yang panjang) untuk membangun dunia dengan pemaknaan dalam sajak-sajaknya. Ketiga hal itu hadir berulang-ulang, masing-masing dengan cara yang khas dalam sajak-sajak Al-Fian.
Sapi dan coto, oleh Al-Fian tak sekadar hadir sebagai hewan yang dagingnya menjadi bahan utama masakan Makassar itu. Ia membawa apa-apa saja yang terkait dengan keduanya, isu sosial, persoalan ekonomi, bahkan politik dan geliat pariwisata. Ia menghadirkan semuanya dengan lancar tapi tak jatuh menjadi narasi yang bening belaka, sebab ia punya bahan kenangan yang berlimpah untuk itu. Maka kita melihat sapi sebagai hewan ternak bernilai ekonomi yang dengan kakinya si aku dalam sajak berangkat ke sekolah. Coto, kemampuan memasak coto yang nikmat, bisa menjadi isu kedewasaan seorang lelaki. Coto juga menjadi pengakuan cinta kepada ibunya yang pandai memasak coto.
Al-Fian dengan lincah membuktikan bahwa banyak hal bisa ia potret dari balik semangkok coto. Dan itulah puisi, yang menjanjikan bahwa dengannya bahasa bisa dipakai untuk mengucapkan apa saja dengan cara yang penuh kemungkinan. Mau bilang rindu? Al-Fian menggubah bait ini: Di rumah ini, coto buatan ibu / yang membawaku pulang / dengan harum rindu yang tak / kuperoleh di tanah rantau. (Coto Membawaku Pulang, hal. 11); atau mengenang masa kanak: Engkau meluangkan waktu menemaniku hari ini / memotong daging berbentuk dadu. / Agar, masa kanak kita selalu terkenang / akan permainan ular tangga yang mungkin sudah terlupakan. / Kita beli dari Mas Jawa yang menjual aneka mainan / dengan mengendarai motor keluaran 90-an.
Dengan pilihan pada coto, maka sajak-sajak Al-Fian sangat kuat menghadirkan imaji gustatif (pengecapan) dan imaji olfaktif (penciuman), apa yang rasanya agak jarang digarap dengan sadar oleh penyair Indonesia, yang umumnya lebih banyak memaikan imaji visual. Ketika bicara tentang kuah, taoco, serai yang dimemarkan, ketumbar yang digerus, atau kayu manis, bait-bait sajak di buku ini menerbitkan air liur. Kita seakan berada – tidak hanya di depan semangkok coto – tapi di hadapan panci besar yang menguarkan uap kuah ketika tutupnya dibuka.
Coto dalam sajak Al-Fian, bagi saya, terasa tebal rasanya, selain karena rempah-rempah puitika yang berlimpah, juga karena ia kerap kali secara bersamaan, menghadirkan sapi. Sapinya Al-Fian sangat berbeda dengan sapi di sajak-sajak penyair senior kita yang kuat Zawawi Imron, misalnya. Sapi pada sajak penyair Madura digarap dan hadir sebagai metafora kejantanan, kehormatan, atau kehidupan keras, sementara dalam sajak Al-Fian, sapi menjadi semacam lambang cinta yang dirawat tapi kelak pada saatnya harus direlakan hilang, dan dengan ringan dilupakan untuk dinikmati – dengan kecintaan lain pada hal lain – di meja makan. Sapi masa lalu itu, seperti kenangan yang gigih, yang bertahan, yang tak terbantahkan, yang tak terlupakan, yang hadir pada coto kehidupan hari ini. Situasi yang bagi saya seakan menciptakan ketegangan yang asyik antara yang surealistis dan yang realistis. Yang khaotis dan yang kosmis.
Dengan demikian, Al-Fian Dippahatang telah mendapatkan posisi start yang bagus dengan buku puisinya “Semangkok Lidah” (Ghina Pustaka, 2016). Selanjutnya dia bisa melaju dengan tenang di lintasan balapan perpuisian dan kepenyairan Indonesia. Ia membuktikan itu. Setahun kemudian, dia menerbitkan “Dapur Ajaib” (Basabasi, 2017) buku puisinya yang kedua. Kita boleh berharap di arena balapan itu, dia – dengan rambut yang tetap gondrong tapi tak lagi memakai jaket mahasiswa karena dia sekarang sudah jadi sarjana sastra – akan mampu menempuh rute yang amat panjang, dengan kemampuan menaklukkan tanjakan, kelokan, bahkan menciptakan lintasannya sendiri, hal-hal apa yang akan mengejutkan kita.
Jakarta, Juni 2018