Oleh Arco Transept
BUKU kumpulan puisi Romansa Perjalanan karya Kirdjomuljo membuat saya membayangkan seorang penyair yang tidak berhenti pada sebuah pencarian. Dengan puisi-puisinya kita melihat dia mencari hakikat hidup lewat objek alam semesta yang tidak memiliki batasan. Alam selalu bisa digubah dalam bentuk karya seni.
Berbagai perenungan hidup dalam buku Romansa Perjalanan penyair Kirdjomuljo membuat saya menjadi pengembara yang ikut bermain di kecipak air di tepi pantai, memandang keindahan puncak-puncak gunung, menikmati lanskap sawah-sawah hijau, dan ikut merenungi berbagai perjalanan di dalam deru kereta dan kapal. Sejauh apa pun kita pergi, menderita dan bahagia, kelahiran dan kematian akan berakhir di dalam semesta.
Kirdjomuljo adalah seniman produktif yang selama 70 tahun banyak menghasilkan bermacam karya sastra dan seni rupa, terutama pada dasawarsa tahun 50-an. Kirdjomuljo lahir pada tahun 1930 dan meninggal pada 19 Januari tahun 2000 di Yogyakarta. Pada tahun 1950-an ia dikenal sangat produktif dalam menulis puisi, lakon, film, dan novel. Kirdjomuljo tercatat sebagai sastrawan angkatan 66 dalam buku Antologi Sastra Indonesia Angkatan 1966 karya H.B. Jassin.
Maman S Mahayana dalam Jalan Puisi mengatakan bahwa angkatan 66 ini diproklamirkan oleh H.B Jassin atas dasar semangat perlawanan dan protes-protes dalam penyair angkatan 66 seperti Taufik Ismail, Rendra dan Sapardi Djoko Damono yang tidak sekadar melakukan perlawanan dengan sajak-sajaknya, tapi mereka juga turut memotret situasi yang terjadi saat itu.
H.B. Jassin menyebut Kirdjomuljo adalah sosok penyair yang gemar menyatakan perasaannya dengan mempergunakan alam sebagai citraan jiwanya.
Sajak-sajak Kirdjomuljo kaya akan bunyi, demikian kayanya hingga kita seakan ditayang di atas lagunya yang mempesona, tanpa bertanya-tanya apa maknanya dan kemana kita mau dibawanya. Seperti halnya himne, lagu puja yang dinyanyikan, tanpa dimengerti isinya tapi punya daya magis yang mengayun dan menyeret.
Akan tetapi, kita di sini tidak berhadapan dengan lagu puja terhadap Tuhan atau dewa-dewa, tapi terhadap alam, terhadap hidup, dan terhadap ciptaan Yang Maha. Observasi Kirdjomuljo tidak hanya sampai sebatas pemantulan belaka, tapi senantiasa merangsang pemikiran yang terutama menggolakkan batin.
Baginya, kenyataan hidup adalah pertentangan adanya kehadiran, dan itulah kebenaran. Seperti yang ia sampaikan kepada H.B. Jassin lewat puisi yang terangkum dalam buku kumpulan puisi Romansa Perjalanan yang terbit tahun 1955 berjudul “Buat H.B. Jassin”.
Dalam kemenangan keselip kekalahan
siapa terlalu memilih
akan datang di tanah pasir
Dalam kekalahan keselip kemenangan
siapa terlalu memilih
akan datang di tanah batu
Kita lahir dan menerima sekali waktu
alam cinta, tangis dan harap
Kita hadir dan menerima sekali saat
kemenangan dan kekalahannya
Hanya dalam sadar dan yakin
dari keduanya, lahirlah mesra
Di halaman belakang buku Romansa Perjalanan tercatat bahwa nada puisi Kirdjomuljo yang melodius, menembangkan dan merenungi alam sebagai ujud ciptaan untuk menemukan inti hakikatnya.
Penyair ini suka berkelana ke berbagai daerah pedalaman, sikapnya sebagai pengembara ini senantiasa didesak keinginan menjelajah peristiwa demi peristiwa, daerah demi daerah, dan dalam hal ini adalah seorang pencari yang romantis.
Kirdjomuljo adalah manusia panteistis dalam tanggapan dunianya, epikuristis dalam sikap hidupnya. Dalam keluasan hati kepenyairannya ia merasa sekeluarga dengan manusia di luar tanah air dengan siapa siapa ia bercerita tentang alam dan kotanya, tentang manusia dan hidupnya. Demikian dalam “April”, kenangan buat Lorca penyair Spanyol yang mempengaruhi romantisme kepenyairannya.
Sementara Linus Suryadi AG mengatakan dalam buku Romansa Perjalanan yang terbit pada 2001 (cetakan ketiga), menilai bahwa Kirdjomuljo tidak mengidentifikasi dirinya dengan suatu kelompok golongan atau partai.
Dia pun tidak berpihak pada suatu rejim penguasa bangsanya. Dia memandang segala konflik dengan mata dan hati manusia yang berwarga Negara Indonesia. Dari titik itu dia pun mengarahkan pandangan dunia kepenyairannya kepada alam semesta.
Cita-cita pandangan kepenyairannya yang mendunia ini tercatat dalam puisinya yang berjudul “Tidak Ada Jalan Lain”:
Bila akhirnya harus terjadi ajalku yang terhina
Ujung tikaman sampai ke ujung usiaku
Tidak aku memilih jalan lain. Datang yang hendak datang
Mati lewat seribu jalan
Tapi jalan kemurnian kemerdekaan?
Jalan menuju kemurnian kebangasaan?
Hanya satu
Dan aku yakin cahaya itu memancar dari berjuta jiwa
Di tanah airku dan di dalam jiwa di dunia
1967