Penyair Besar dengan Puisi Besar

Oleh Hasan Aspahani

SUATU malam di Taman Ismail Marzuki. Abdul Hadi WM dan Sutardji Calzoum Bachri berangkulan. Kesadaran keduanya sedang meninggi. Abdul Hadi tiba-tiba berseru, “Dji, malam ini kau kuangkat jadi presiden penyair. Dan aku wakilmu!”

Keesokan harinya, sebuah surat kabar memuat peristiwa itu dan sejak saat itu gelar “Presiden Penyair” bagi Sutardji tak pernah lepas.  Di Musyawarah Sastrawan Indonesia 2017 di sela makan malam, Abdul Hadi membenarkan kejadian itu. “Itu main-main saja sebenarnya. Bercanda sesama penyair,” katanya.

Tapi Sutardji rasanya memang pantas mendapat sebutan itu. Penyair kelahiran Rengat, Riau, 24 Juni 1941,  itu datang ke persada kepenyairan Indonesia membawa angin segar. Sajak-sajaknya mendobrak kebekuan. Ia menawarkan kebaruan. Banyak pembaca menjadi lumpuh, tak berdaya di hadapan sajak-sajaknya. Karena itu ia kemudian menulis “Kredo Sajak” (1973), esai pendek yang menjadi semacam pintu masuk untuk memahami sajak-sajaknya. Kedudukan Sutardji yang kokoh dalam peta sastra Indonesia disebabkan perombakannya tidak hanya dalam hal penulisan tapi juga pembacaan puisi.

Gelar yang juga melekat pada Sutardji adalah “Penyair Mantera”, sebab apa yang ia nyatakan pada kredo sajaknya yang ingin membebaskan kata dari tiga hal: tradisi lapuk yang membelenggu, beban moral kata, dan penjajahan gramatika.  “Menulis puisi adalah membebaskan kata-kata, mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah Kata. Dan kata pertama adalah mantera,” ujarnya.

Maka, menulis puisi, baginya, adalah mengembalikan kata kepada mantera. Kepenyairan Sutardji tentu saja tak berhenti atau terhenti karena kredo itu. Ia terus mencari dan mencapai puncak-puncak lain. Juga puncak dalam jenis karangan lain: cerita pendek yang segar dan esai-esai yang cemerlang.

Ia juga mengejutkan dengan pernyataan orisinalnya: Sumpah Pemuda itu adalah Puisi Besar. “Karena para pemuda itu menyebut Indonesia ketika Indonesia itu sendiri belum ada, dan kemudian Puisi Besar itu menyemangati perjuangan bangsa ini.”

Kiprahnya dimulai ketika tamat SMA Sutardji kuliah di Fakultas Sosial Politik Jurusan Administrasi Negara, Universitas Padjadjaran, Bandung. Pada era itulah, sekitar pertengahan tahun 1960-an, ia mulai menulis dalam surat kabar dan mingguan di Bandung. Dia menjadi redaktur di Indonesia Ekspress dan Duta Masyarakat. Kemudian sajak-sajaknya dimuat dalam majalah Horison dan Budaya Jaya serta ruang kebudayaan Sinar Harapan dan Berita Buana.

Pada 1974, Sutardji mengikuti Poetry Reading International di Rotterdam. Kemudian ia mengikuti program International Writing Program di Iowa City, Amerika Serikat dari Oktober 1974 sampai April 1975. Beberapa perhelatan puisi internasioal lain juga pernah ia hadiri, seperti International Poetry Reading Kuala Lumpur, International Poetry Reading Medellin, Colombia (1997), 8th Poetry Africa Festival, Durban, South Africa (2004), dan Tradewinds Literature International Festival, Capetown, South Africa (2004).

Beberapa sajaknya diterjemahkan Harry Aveling ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan dalam antologi Arjuna in Meditation (Calcutta, India), Writing from the World (Amerika Serikat), Westerly Review (Australia) dan dalam dua antologi berbahasa Belanda.

Pada tahun 1979, Sutardji mendapat anugerah South East Asia Writer Awards dari kerajaan Thailand. Ia juga mendapatkan Anugerah Seni Pemerintah Republik Indonesia dari Menter Kebudayaan dan Pendidikan, Anugerah Sastra Chairil Anwar dari Dewan Kesenian Jakarta (1998), Anugerah Sastra Dewan Kesenian Riau (2000), Anugerah Sastra Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) dari Bandar Seri Begawan, Bruneri, 2006), dan Anugerah Seni Akademi Jakarta (2008).  Pada tahun 2008 Presiden Yudhoyono di Istana Negara mengalungkan Bintang Bintang Jasa Budaya Parama Daya kepada Sutardji.

Sajak-sajaknya terkumpul dalam tiga buku yang kemudian digabung menjadi satu O Amuk Kapak (Sinar Harapan, Jakarta, 1981); lalu Atau Ngit Cari Agar (Yayasan Panggung Melayu, 2008); Hujan Menulis Ayam (Kumulan Cerpen, Indonesia Tera, 2001), dan kumpulan esai Isyarat (Indonesia Tera, 2007).

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *