Puisi: Burung-burung Bersarang di dalam Sajakku – Ahmad Nurullah (l. 1964)

Ahmad Nurullah (l. 1964)
Burung-burung Bersarang di dalam Sajakku

Itulah peristiwa paling penting yang amat menentukan
jalan hidupku. Mengekalkan takdirku. Yakni:
Pada suatu sore, ketika kugubah sepotong sajak,
dan kupacak sederet citraan pohon di sepanjang
tepi sungai, dari luar jendela burung-burung berhambur
dan membangun sarang di situ. Di dalam sajakku.

Seketika kehidupan di tepi sungai itu ramai
Pepohonan bergegas tumbuh. Juga rerumput, semak,
belukar. Sepanjang hari burung-burung itu nyaring
berkicau. Menyuapi anak-anak mereka yang
bercericit riang: menagih ulat dan biji-bijian.

Waktu bergerak. Kehidupan di dalam sajakku mekar
Sungai itu deras mengalir. Airnya yang bening
bergericik ramai. Berdentang, bagai musik orkestral –
merayakan kemurnian hidup dan keasrian hutan

Dari sebuah titik di cakrawala, sungai itu tampak
melengkung – menipis di kejauhan,
lalu mematahkan ekornya di batas kertas
Di jeramnya ikan-ikan bertelur, berbiak –
mengasuh anak-anak mereka yang berenang-renang
di rongga-rongga batu cadas

Sunyi. Seperti di pagi-pagi kemarin
matahari menyembul di ujung lanskap
Semburat cahayanya yang merah
melumuri pinggang gunung, ladang, persawahan –
menguak perbukitan.

Jauh di kaki cakrawala,
rombongan satwa berbaris:
jerapah, pelanduk, zebra
Gadis-gadis kecil berlari-lari riang
Mereka anak-anak petani, agaknya –
penduduk asli yang tinggal di ujung desa.

Muak hidup berkerubung kabut di negeriku,
aku pun pergi – mengungsi ke dalam sajakku:
kawin, dan berbiak,
dan aku malas pulang
Sampai sekarang.

Jakarta, 2005

 

Sumber: Setelah Hari Keenam (Cakra Books, Jakarta; 2011)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.