Shinta Febriany
lima pucuk suratmu kubaca semua, membangunkanku
dinihari merasakan napasmu di wajahku. bayangan
dedaunan jatuh ke tirai jendela. seekor burung
bersenandung murung, dan kenangan demi kenangan
bersemi lagi.
bau getah dedaunan di luar mengembalikan renyah
tawamu yang selalu sukar kulupakan. begitu pula rindu
yang telah usang, meruah seketika. kau adalah cahaya
penggoda, yang samar-samar – tanpa rasa bersalah –
menjelma menjadi debar di jantungku.
tapi siapa yang bisa mengira datangnya kenangan?
rasanya seperti jika kita berkereta api tanpa arah, turun
di stasiun mana saja.
lima pucuk suratmu yang kubaca kembali, membuatku
khawatir (mungkin diam-diam berharap) lao tse tetap di
sini.
makassar, desember 1999
Sumber: aku bukan masa depan (Bentang Budaya, Yogyakarta, 2003)