Cyprian Bitin Berek
Jam Terakhir di Eden
Ular tampan yang lingkari pohon itu telah menanti.
Sendirian perempuan hadapi ular. Sedang
Lelaki—bukan tak hadir—berpura tak tahu.
Menabur perangkap maharacun,
dilepas tanya, “Niscaya Tuhan melarang
semua buahan kau makan, bukan?”
Maka perempuan tergagap, “Tidak. Semua boleh,
kecuali di tengah taman kaulingkari elok tubuhmu.
Tentang itu diraba pun jangan.”
Alangkah licik lidah bercabang.
Memancing dalih lidah betinamu.
Lelaki coba ingat muasal perintah ‘diraba pun jangan’.
Tak kautemukan. Selain mengerti tipuan sahaja
gadis mengkal mengelak jebakan, sia-sia.
“Justru takut Allah ‘kan kausamai,
tahu segala baik dan jahat.
Mati tak lagi tapi kekal hidupmu”
Aduhai, fatamorgana paling sesat!
Mengapa pohon Kautempatkan
kalau untuk dilarang hanya?
Mengapa Kaujebak kami dengan godaan?
Mengapa perlu, bila tahu bisa dilanggar?
Mengapa?
Berkelindan teka-teki paling kabur,
Lelaki menunggu kesudahan. Karena
pada perempuan segala salah
‘kan dia timpakan.
“Alangkah lebih nikmatnya, pula
membuatku kian mengerti.”
Barangkali sengaja ia agar lelaki mendengarnya.
Berpura tak dengar
agar dosa itu terbebas, lelaki melengos.
Dipetik lagi sebuah. Ranum dan harum.
Diberikan padanya, manis di lidah
sebelum tercekat di tenggorokan.
Dosa itu! Pemberontakan itu! Wahai!
“Nah, jujur aku padamu, bukan?
Kalian pun paham makna baik dan jahat.
Pula mautmu!”
Mereka terhenyak dan temukan diri, telanjang.
Sumber: Pertarungan di Pniel (Perkumpulan Komunitas Sastra Dusun Flobamora, Kupang, NTT; 2019)