Marhalim Zaini
suara itu terdengar seperti gaung jejak terompah kayu
pada tengah malam yang legam, seperti suara sebuah tongkat
yang menggigil demam, terseret-seret sunyi yang telanjang
dikaukah pawang
bertandang malam-malam
merompak kebaya bulan
dari bukit siguntang
atau kau lanun
si jantan berjanggut panjang
menyentak naik dari tiang
macam anak musang
memeluk batang pinang
diam-diam mengerang
dalam liang lengang
aku agaknya oleng
bau kemenyan kampung
mengasap dalam sarung
meresap ke jantung
hingga tak di mata
kujeling kau tiada
kalau tak di lupa
kupanggil kau cinta
ah, mengada-ada saja
selalu yang berlalu
jadi anak-anak hantu
belum lagi berjumpa
aku takut tersergam bala
cukupkah sebungkah bismillah
kutiup-tiup bacin ludah
ke segala penjuru rumah
cukupkah segelas air putih
membuat kita kembali pulih
dari rasa cemburu yang mendidih
(oi, tersedak emak
bapak menyepak-sibak semak
mencari letak lubang minyak
sehabis makan kerak anak beranak)
padahal tiap buih laut yang bersepai
di ujung lidah pantai-pantai
tahu ke mana hendak mengurai
silsilah negeri yang terburai
“yang namanya hikayat, tuan
tak sedap, ya disedap-sedapkan…”
syahdan
tepuk tepung tawar juga
yang kau renjis-renjiskan
kau tahu masa pengantin dulu
tak sesakral buka kelambu
yang saban tegak main santak
tak segan pada datuk moyang
telungkup telentang
di atas ranjang
(zaman makan tubuhnya sendiri
seperti api dapur makan kayu meranti
pun tak dapat cepat menanak nasi
padi ditampi malah jadi biji mimpi)
tapi encik
aku atau dikau yang ngigau
meracau tak tentu galau
bertandang malam-malam
macam tak tahu adat resam
jantan betina tak boleh bersampan
berdayung-dayung tak sampai tujuan
“apa kau tahu di mana tepian?”
konon bujang singapura
meminangmu pakai guna-guna
tersebab kau teramat jelita
dan mulutmu bau surga
“apa kau minum tuak istana?”
yang berjoget di atas dulang
yang pinggulnya menjulang
bau wangi bunga tanjung
dicium orang sekampung
aduhai, buah apa itu
bersusun gantung
di balik gaun
“jangan digentel sagu rendang, mak-oi!”
kita ini orang sakit
orang yang suka merindu
suka bersiul lagu pilu
entah di tangga rumah
entah di bawah rumah
kadang lupa ambil wudlu
langsung mencangkung
memainkan syair burung
kadang tak sampai hati
melepas pergiyang terlanjur dicintai
(anak bini
makan hati
belum lagi datang pagi
sudah bangkit menyembah hari
tapi jangan dikebat kaki laki
pada sepi jiwanya kembali)
kau paham makna sesat
atau garang angin selat
itu ayat-ayat bermula hikayat
bahwa di hulu ada pintu
menghadap ke batu tugu
penuh rajah nama-nama
anak cucu raja-raja
dibawa jong dari goa
dari segala penjuru dunia
dunia kata, dunia senja
di dalamnya kita mabuk
cuma jadi kain buruk
membaca traktat
mata kita pedih
karena sedih atau letih
kitab-kitab bau darah
hidung kita gatal
karena kesal atau sesal
lagi-lagi perang
kita diserang
bayang-bayang
yang kian rumpang
jangan cium aku, puan
asin ini temasik punya
yang kawin orang benua
kita cuma jadi hamba
nanti dosa masuk neraka
jangan peluk aku, tuan
tubuh ini melaka punya
yang kawin orang eropa
kita cuma jadi hamba
nanti terbuang dari surga
“ah, aku takut terpaut
kau tak takut laut?”
tengoklah selatan
tongkang-tongkang datang
orang-orang main kompang
alangkah senang jadi gelombang
dapat melenggang mengantar pulang
“duh, jangan panggil aku sayang
aku tak berani jadi hulubalang…”
ada eloknya kita ke surau
mengaji nahu lupakan perahu
rabiul-awal yang lampau
lebai angkat aku jadi tengku
kau ingat, itu tukang kayu
langsung bujuk aku jadi menantu
sakit pirai kau jadinya
kusut masai segala rencana
tapi orang kampung suka pesta
hujan di timur hujan di utara
tiada sesiapa peduli bencana
maka lekas-lekas kita ke kota
naik sampan atau sepeda
sama-sama mengayuh lupa
“peluk aku, peluk aku
macam lepat kau lekat”
di mana kita berlabuh
di lubuk-lubuk tubuh
di mana kau lipat lenguh
di ujung gaung azan subuh
makan sumpahlah kita
lari dari majelis orang tua
asalku asalmu dari durhaka
sejarah yang fitnah semata
tapi kita tak pernah jera
sebab kita pinang muda
masak belum, mentah pula
“kami kutuk jadi melayu, kalian!”
dan hanyutlah maki hamun
ke kundur dan karimun
jadi timah yang disamun
ohoi!
jadi pasir dimakan air
jadi gambir dicecah air
jadi minyak! jadi minyak!
dilantak habis tak berjejak
(memang pukimak!)
mau apa lagi, puan
kita ini orang sakit, bukan?
dan kain bugis itu
gerimis yang amis
saban hari kauciumi
sudah berapa pagi
tak pernah kaucuci
air mata mahal, katamu
siapa yang mau jual, kataku
ada tahi angin di rambutmu
dan bekas ruas sungai
yang mengering
kita memang kerap cuai
menandai yang asing
dari yang terbuang
siapa paling setia, katamu
antara kata dan waktu
siapa paling luka, kataku
antara kita dan masa lalu
dan anak-anak ini akan lahir di mana
di segala tanah yang belum berdarah
tapi mata langit memerah
ada asap jerebu tumpah
semacam sumpah seranah
yang melimpah-limpah
dan dari lubang atap rumah
terlempar segala amarah
terbakar tenggara
terbakar bendera
layar-layar terkapar
api lapar, api lapar
(duduk di sampingku, tuan
aku sudah merangkulmu, puan)
jadi siapakah dikau
macam mempelai kena sakau
malam-malam ke bunguran
merompak kebaya bulan
tapi tukang tunjuk jalan
andai dikau memang pawang
hijaukan aku seperti ketapang
ke johor, ke riau, atau ke pahang
tak peduli ke mana kaki memanjang
kelak jika membiak riak manikamku
maka dikau jadi rahim segala ibu
tangkap kepala ular liar di sarungku
kisahkan padanya tentang kitab waktu
usaplah peluh lekaslah bersimpuh
jangan tunggu langit tubuhku runtuh
“ohoi, jangan sebat kami dengan rotanmu!
jangan kutuk kami jadi melayu!”
Pekanbaru, 2007