Puisi: Tentang Maut – Dadang Ari Murtono

Dadang Ari Murtono

seperti bayangan yang memanjang
maut mendatangi mereka sebelum
malam surut: rancangkapti yang menangis,
mangunarsa yang terdiam, dan tambangraras
yang tak tahu lagi

*

tapi, sesungguhnya, tidak sesepele itu
dan centini tahu
sebab sebelumnya, telah ia pinjam lidah izrail
ketika tambangraras menggali lahat dengan kuku-kukunya
dan bunga kamboja gugur serupa hujan
“aku tak akan membawamu, belum akan membawamu”

“kenapa?” demikianlah tambangraras meratap
“bukankah kau semestinya datang dan menyatukan
sepasang kekasih yang telanjur kau pisahkan?”

dan saruan kematian itu pergi

*

tapi tidak sesepele itu
dan centini, kali ini, tak tahu

*

sebelumnya, kisah centini,
kukira maut akan tiba lebih cepat
ketika kami tersesat di kampung rampok
dan candrageni menelanjangi kami
tapi semar telah meminjamkan kentutnya
yang membuyarkan pergubukan iblis itu
sewaktu mereka tunggingkan pantatku
dan dengan batang membara, hendak mereka
koyak liang itu

demikianlah, demikianlah
kami meneruskan bait suluk

*

pada parak pagi yang berwarna perak
centini menangisi kisah yang belum ia
tahu ujungnya, “seharusnya tak perlu
ada yang menceritakan bagaimana utusan
sultan agung menenggelamkan amongraga
di samudra padma merah”

tapi tambangraras telah menceritakannya
sebelum bait pertama puisi ini

montel menyeka airmatanya
dan anggunrimang memetik bunga-bunga
dan centini kemudian merangkainya
dan montel menggali tiga lubang di samping masjid

“maut,” seseorang bergumam, “barangkali hanya
kerepotan-kerepotan bagi yang ditinggalkan”

tapi di wanataka, sebuah negeri yang hanya ada
dalam suluk, tak ada yang sesederhana itu,
dan maut, barangkali, tak lebih permainan
yang gampang diakhiri, dicurangi, atau dibatalkan

*

syahdan
di samudra yang jauh
amongraga yang tak lagi beraga
mendaras wanataka seperti
penyair membaca sajak-sajak
dan sedetik kemudian
ia telah berada di hadapan tiga jasad
yang belum sempat dimandikan

“bangkitlah,” katanya
dengan nada yang sama dengan nada yang
digunakan untuk menciptakan semesta

dan inilah yang kemudian terjadi
: rangkaian bunga itu layu percuma
dan tiga liang hanya terisi kekosongan yang seakan baka

Sumber: Koran Tempo, 22 – 23 Juli 2017

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *