Roestam Effendi (1903-1979)
Alangkah benciku mendengar tangis
kalau menangis karena sakit.
Alangkah marahku mendengar tangis,
kalau orang disinggung barit.
Amarah hatiku mendengar tangis,
kalau orang meratapi mayat.
Mendengar menangis jantungku pedis.
Bukan menangis kujadikan sifat.
Pabila mataku melihat orang
air matanya membasah pipi,
haramlah hatiku menaruh sayang
pada lelaki berhati puteri.
Menangis itu tandanya tak jantan,
atau anak yang di bawah umur.
Menangis itu beta pantangkan
biarpun bumi luluh dan hancur.
Mengapa beta sebengis ini?
Karena tak ada ‘kan jadi tangis;
Karena lah habis yang beta tangisi.
Ah, selama hidup, beta Menangis!
Sumber: Percikan Permenungan (selesai ditulis di Padang, Maret 1925; Diterbitkan kembali dalam Puitika Roestam Effendi dan Percikan Permenungan; Dunia Pustaka Jaya; Bandung; 2013)