Arwinto Syamsunu Ajie (1965 – 2019)
Menjahit Robekan Saku
Aku menjahit robekan saku dengan 10 jari
pulang mengembara. “Telah kujalin benang dari
serat-serat purnama, dari ribuan hutan kota.
Kini, teruslah terjaga, doa. Teruslah terjaga
bagi detik-detik berpeluh dan bunga mimpinya.”
Ada yang ingin kubayarkan lagi pada sunyi
di depan gerbang niat yang telah lebar membuka
diri. Yakni, ceceran-ceceran siul atau tawa
betapa pun tak semerbak menyeruakkan wangi
betapa pun bukan genderang benderang baka.
“Itukah benih pagi?” tanya tergagap-gagap dada.
Aku belum pasti. Aku masih terus menjahi robekan
saku. Dan telah sekian kali jarumku patah membentur batu
granit yang pulas dalam luka itu.
Entahlah, siapa dan kapan menaruhnya dengan hati-
hati sngat rahasia sejingga tiap mata jarum yang
lena mesti membayar sepadan kekalahannya.
“Teruslah terjaga, doa. Teruslah terjaga…”
adakah suaraku pun kin mirip desah udara?
Kebumen, 2004.
Sumber: Tubuh Penuh Catatan (2009)