Puisi: Menonton Ludruk dari Balik… – Dadang Ari Murtono (l. 1988)

Dadang Ari Murtono (l. 1988)
menonton ludruk dari balik jendela sewaktu gerimis

(untuk binhad nurrohmat)

hari ketika aku mati, gus,
adalah hari di mana bahasa menemukan letak jantungku
dan menjadikannya sarung belati

bertahun aku bertahan mengejar bahasa indonesia
dan tenggelam dalam kemurungannya
aku hendak pulang
tapi kampung tak lagi mengenalku

aku menyakiti bahasa
dan bahasa memeramnya sebagai dendam tak sudah

kubaca riwayatmu, penyair tanpa bahasa
kandung, dan karenanya, tak ada kutuk yang
kautanggung di atas punggungmu
tak ada goda kampung halaman, tak ada kemungkinan
ibu mengubahmu jadi batu

kupaksa bermuka-muka dengan ludruk, bagian
semesta bunda budayaku
dan kau berkata bahwa aku tak pernah benar-benar
bersua dengannya
“kau menulis kakawin, sedang ludruk hanya diuntuki
parikan, kidungan”

“tapi aku berbicara perihal sarip, caluring,
sogol, dan segala yang hanya ada dalam ludruk,
dalam cerminan hidup para abangan pinggiran”

sekian paragrap kemudian
dalam kelirisan yang tak ada, tak pernah ada
di atas panggung teroban atau tobongan,
aku mengerti apa yang dulu kau katakan
: menonton ludruk dari balik jendela sewaktu gerimis
kulitku tak menyerap dingin arena tanggapan,
mataku tak melihat lakon dihidupkan,
telingaku tuli pada voor, pada bahasa
yang menjaga mereka berjalan
dan kalimatku gagap menangkap tawa,
memerangkap banyolan trubus atau supali
aku berada pada jarak yang gagal, senantiasa
gagal ditempuhi

adakah penyair sedurhaka aku,
adakah hakku untuk berkelit saat bahasa
hendak melunasi segala kesakitan yang
kutimpakan kepadanya?

 

Sumber: Ludruk Kedua (Basabasi, Yogyakarta, 2017)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *