Puisi: Sate Tek Yu – Febrie Hastiyanto (l. 1984)

Febrie Hastiyanto (l. 1984)
Sate Tek Yu

Aku selalu tak dapat menahan rindu. Pada sepiring sate padang hangat. Dua tusuk bersiram saus kuning-kecoklatan. Tanda cinta seharga Rp. 300. Kepada kami yang mengular petang itu di beranda.

Kami belum mengenal kwetiau, batagor, martabak telor atau chicken steak. Hanya pada semangkuk miso Lek Sukir, seporsi bakso Lek Antoro dan semangkuk Mie Ayam Lek Lan kami menanti cemas. Berebut suapan dengan adik, dan tatapan ibu yang mendelik. Bertahun-tahun tak kami kenal diversifikasi jajanan seperti hari ini engkau merengek pada segelas soda susu dan burger berselip daun selada dan daging panggang.

Tek Yu mengomel karena kami tak tertib. Bagaimana kami harus tertib bila pukul 19.30 nanti sate habis? Sebentar lagi adzan maghrib dan kami harus mengaji. Pada sepiring sate padang hangatlah kami menutup hari ini.

Sore itu aku bergegas mandi. Takut tak mendapat tempat antri. Beranda itu lebih rapi kini. Kuah sate meruap dari dandang di atas bara. Seorang bujang tanggung sigap meracik lontong. Sepiring sate padang hadir bergegas. Tek Yu telah lama pensiun berniaga. Kota kami kini tak lagi memiliki tanda.

31 Desember 2009

Sumber: Lampung Post, Minggu, 10 Januari 2010.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *