Ahmad Yulden Erwin
Di sini, seseorang telah mencipta puisi dari serbuk getah poppy. Ia mengira dirinya penyair terkutuk yang mangkir pada detik terakhir, dan terbatuk.
Di sini, seseorang mengukir dingin pada batu cincin berkilat bagai sebiji mata kucing lilin; kenangan ini menggigil dalam angin. Di sini, kepedihan tanpa kata
membangun kuil, tak lain bekas kafe yang sepi di Omaha: kota dari butiran salju. Penyair itu menyapaku sebelum gugup mengutip selarik puisi
meluncur dari sela giginya yang patah, meski cuaca nyaris tidak sedang bergairah, “Di sini, jelas tak ada revolusi, tak ada lagi,” katanya, “hanya sebait dharma
mematuk lidah Jack Kerouac.” Lalu di tepi jalan sepi ia ingat kisah seorang bapak membajak ladang jagung dengan mesin beroda; juga seorang pemuda (sendiri)
terkantuk di pokok oak, bermimpi asap selinting ganja memeluk patung ular—di Leningrad yang terbakar. “Kami membenci darah, tapi bukan sejarah,” katanya.
Lalu ia menambahkan: “Begini kami sebut slam poetry.” Di panggung mataku, seorang penyair membaca puisi, begitu lirih, memendam selaung anarki di ufuk matanya
yang sedih: “Di sini kami, tak lain, sebutir salju yang letih.”
Sumber: Koran Tempo, 23 Februari 2014