Gilang Perdana (l. 1987)
Sri: Empat Babak Dongengan Sentimental
aku masih dan akan selalu jadi milikmu
tangan keperakan – sepuh cahaya bulan
haha-hihi di ingatan masa kecilmu
pelukan yang semoga tak tergantikan
1.
melintasi rel tua berbantal aspal, jaladara mengepulkan
kelam masa silam. sepasang meriam menembakkan
salvo ke arah ingatan perempuan tukang jahit yang suaminya
tak pernah pulang, semenjak kota ini dibakar huru-hara.
sebutir ara jatuh tepat di kepala penjual balon, melontarkan
aku sekian puluh tahun dari warna-warni ledakan di mata
seorang bocah yang merengek digendongan pamannya
— menyedot usiaku; membuktikan kalisnya waktu.
2.
wayang-wayang keluar dari kotak hitam, menjelma lakon
dari serangkaian kisah cinta yang paripurna, lengkap
dengan atribut kebijaksanaan, dengki juga dendam
yang memasung pertanyaanku kelak — seperti sepasang
patung di selasar halamanmu, yang selalu kukira mereka
adalah arjuna dan srikandi, atau rama dan sinta, sampai
kukenali itu antakusuma, setelah ribuan putar jinontro
melebatkan cambang dan kumisku, persis seperti milik ayah.
3.
"walaupun apa yang kan terjadi…" aku ingin kau, selalu
jadi milikku, Sri. Yok dan Yon, biarkanlah mereka pulang
ke ibukota yang riuh. kita telah memastikan masih ada
goyangan sebagai obat mujarab bagi hati yang patah, jauh
sebelum senyum Via Vallen dan pinggul Nella Kharisma
merontokkan hati banyak lelaki. dan kau masih tetap Sri
: Panggung dari segala panggung.
4.
masa muda berlari. kabisat terkali. usiamu semakin sungai
— membelah aliran lagu Gesang hingga berbelok itu muara
mengikuti wajah keriput kami. tapi kota ini jauh dari lautan
— jauh dari mereka yang menyebut siul dengan siut. jauh
dari waktu, ketika kapal-kapal besar memamerkan rajamala
yang sekarang menghantui radya pustaka. semua yang hidup
pasti mati, Sri dan telah kau ajarkan kami cara menyimpan
air mata untuk sebuah haru yang keluar dari buku cerita.
2017