Raudal Tanjung Banua
I
selunak insang ikan gabus, setipis daging ikan lasi
sulur-sulur dan akaran bening tumbuh tembus pandang
ke lumpur hitam. teratai dan kiambang mengambang
bagai gaun hijau terawang, sampan birahi bagi pasangan kodok
bergoyangan, buahi telur-telur lendir seperti peta
atau jala kusut anak-nak masa depan,
di gubuk-gubuk rongsok para nelayan
setajam sirip ikan-ikan pepuyu, seruncing patil ikan patin
tunggul-tunggul kayu muncul ke permukaan dari genangan
serupa tangan-tangan gaib memikat kawanan capung
dan belalang
hinggap dengan sayap terbakar, amsal sejati bagi petani
dan peladang yang kehilangan huma dan hutan
II
ini taman rawa, keajaiban alam raya dalam pengembaraan kita
semua kita pandang dari sisi perahu: siput, lumut
kadal dan ular. tanagn ingin menyentuh lumpur pekat
namun tubuhmu yang kudapat
taman ini lunak, tiada tempat berpijak
jika aku meludah karena aroma masam
aku takut kau tak paham: kita disini bersampan
jauh dari daratan, terlalu muak
kita tinggalkan segala yang diangan
telah kita muntahkan serapah di jalan-jalan
dan taman liar ini kita minta sulur langit
mengetok kepala kita
menjadi sepasang kodok
yang jinak waktu bercinta
membuahi telur-telur lendir di atas air, musuh abadi
bagi larva nyamuk belang kaki
yang berdenging pedih di telinga nelayan dan petani
tanpa asap dan api
III
di dalam rawa mengeras fosil gajah purba
ikan-ikan tua ribuan tahun
mengerak pula bebatuan dan batang pohon terendam
tapi bukan itu yang kucari dan hendak kubangkitkan
aku menginginkan dayung patah para nelayan
beserta cangkul majal para petani
buat kusambung dengan likat lumpur
ruas tulang dada sendiri
IV
di air coklat kuning
seekor ikan merah mengecipuk memecah hening
mencipta lingkaran-lingkaran tahun
di kulit air. waktu engkau kukerling,
kecipuk waktu itu berasal dari lubuk matamu
yang perlahan mengembang jadi rawa-rawa
membentang lengang ke arah senja
secercah bunga bakung mekar di antara gelagah
dan semak-semak rendah, secercah senandung kanak pecah
di bibir yang meronta: kita tak bisa kembali
– jangan kembali!
selamanya di sini menjadi bagian taman raya
di rawa-rawa pembuangan lunak-kekal ini
berbahagia dan menderita bersama nelayan dan petani
membangun sebuah tempat berpijak
di lumpur dan air bumi.
/Kalteng-Yogyakarta, 2010-2011
Sumber: Api Bawah Tanah (Akar Indonesia, Yogyakarta, 2013)