Ahmad Faisal Imron (l. 1973)
Tasik dan Sebatang Pohon
bahkan di situ
di antara garis lengkung, bercak-bercak kelabu
orang-orang membandingkan warna tubuhnya
mungkin wangi gerimis
pada senja yang mulai merangkak
menjulur bagai selendang Balqis
berdua, pada hari ketika ufuk bara
berpihak ke kampungmu
seseorang dengan pontoh dan paras teraniaya
nama samaran yang lugu
sebuah ungkapan Cina dahulu
hilang ingatan saat menikmati sebuah alunan
warna asar pun bergegas
setiap kali
kuingat bayang-bayangmu
kuingat mawar yang dulu terbakar
tempurung kelapa dalam jala
sisa potongan rambutmu
benar-benar abadi di sini
dekat ilusimu sendiri
Dimar, barangkali ada kalanya pertemuan tiba
sementara biarlah ia mengilhami seluruh kata-kata
sebab cinta hanyalah secarik prosa kehidupan
yang tak terduga
setiap pagi mimpimu disentuh ratusan zohar
mungkin berbunga, mungkin luluh bersama bunga-bunga
tadi malam, setelah kuterima wejangan penuh pancaran
siapa yang kemudian memerahkan wajahmu itu?
senja biru yang mulai kekuning-kuningan
yang mulai digemari langit
dalam tubuh awan, melumuri kusam tubuhmu
memar di ujung alis mataku
ada burung malam di antara semilir angin
di situ kegelisahanmu nampak lebih telanjang
menjalar tak tergenang
gelap yang kembali meratap
dibiarkan berlalu, sehabis rasa pilu
sempurnalah anganmu
menyerap torso-torso yang meleleh
sisa pembakaran yang masih terasa
di bawah satu-satunya pohon
sementara waktu tak pernah bersifat remang
ia lebih lempang dari bentuk bayang-bayang
rasa benci yang seringkali ditakuti sebuah keimanan
barangkali, seperti itulah puisi
mengendap bagai kebenaran
nurani kaum sufi
maka seyogyanya, setelah perjalanan singkat ini
temukanlah pijaran kata-kataku
walau masih sebening
sajak-sajak Zamzam; sajak-sajak sorgawi
Tasik, selalu mengingatkan kita
pada gerbang bumi arah timur:
di mana orang-orang menggaruk tanah purbanya sendiri
dan kita, masih di antara riuh pesta
bercakap-cakap tentang kota yang gosong
atau tentang serdadu-serdadu yang keliru
saat ini, ketika layar hitam dan sebuah lentera ditiadakan
rasa lapar dan keheningan malam kembali kita hayati
kelak, apabila kau hendak membakar duniamu sendiri:
ribuan jalan berbatu, kristal airmata
lorong-lorong berduri, kegelapan yang ranum
atau sorga tanpa sentuhan bunga
mesti kauhadapi dengan ubun dan jidat mengerut
dengan vocal yang terlepas bagai di ujung maut
bukankah dulu bumi ini ditafsirkan dengan berbagai kehidupan
tapi lihatlah! kuburan yang kaucari telah terbuka di mana-mana
1998-2000
Sumber: Maliun Hawa, Sajak-sajak 1998 – 2006 (Komunitas Malaikat, Bandung; 2007)