Sebelum Hanya Lampu Tidur yang Tersisa Menyala di Kamar Kita*
Oleh Hasan Aspahani
PENYAIR adalah seorang penimbun di ranah sastra: pengumpul fakta, ingatan pada tanggal, potongan kutipan, berita utama surat kabar, sobekan tiket, hingga surat cinta, atau buku harian yang ditinjau tiap malam, sebelum hanya lampu tidur yang tersisa menyala di kamar kita.
Saya membaca – dan sedikit menambah-nambahi – pernyataan Ruby Brunton itu di Lithub.
Kata penimbun di sini bisa kurang tepat sebab memberi kesan sebuah kerja yang mudah jadi sia-sia.
Kata kerja menimbun, berarti mengumpulkan sesuatu, terutama bahan makanan pokok melebihi kecukupan, bahkan melebihi persediaan yang wajar.
Dalam hal ini penimpun bisa kita lihat sebagai seorang yang was-was, seorang yang cemas. Atau serakah, mau ambil untung dan amannya sendiri.
Penyair saya kira bukan penimbun yang seperti itu.
Ia adalah seorang yang menghargai hal-hal kecil, menyimpannya agar tak jadi sia-sia dan hal yang demikian banyak dalam hidup manusia. Maka alih-alih membuangnya, ia menyimpannya.
Saya adalah seorang penimbun yang seperti itu. Puisi-puisi saya nyaris selalu lahir dari persediaan dalam khanazah timbunan masa lalu. Kadang tak sengaja saya menyimpannya. Kadang saya telah melupakannya. Selalu ada momentum ketika saya menemukan kembali, kalimat, potongan peritiwa, puisi yng dulu saya baca, yang kini tampak berbeda.
Hopla! Dari kejauhan dan kesamaran jarak waktu, Rilke pun tersenyum. Ketika yang terlupakan itu datang sebagai kenangan, itulah saatnya menuliskannya menjadi puisi, bukan?
Menulis puisi adalah juga berarti memungut beberapa hal dari timbunan dan merangkainya dengan asyik menjadi sesuatu yang berharga, yang dengan girang kita bawa keluar dari gudang penyimpan kenangan.
Jakarta, Juni 2021
*Artikel untuk buletin Lampu Tidur.