Peristiwa Metafora (2): Tenaga Metafora dalam Pepatah Kita
Oleh Hasan Aspahani
KETIKA kita membaca sebuah pepatah, misalnya: kalau pandai mencencang akar, mati lalu ke pucuknya, tentu saja kita tidak sedang membaca teks tentang cara mematikan pohon.
Benar bahwa untuk mematikan pohon orang bisa melakukannya dengan memotong akar-akar utamanya, lalu tak lama seluruh bagian dari pohon itu hingga pucuk daunnya layu dan mati.
Pepatah tersebut disusun dengan menggunakan fenomena yang lazim dalam kehidupan masyarat dengan kultur agraris untuk menjelaskan hal lain, yaitu satu atau lebih sisi dalam kehidupan manusia.
Maka jelaslah bahwa peristitwa metafora terjadi dalam pepatah ini, sebagai mana banyak terjadi dalam pepatah kita yang lain.
Pepatah tersebut saya ambil dari buku “Peribahasa” (Balai Pustaka, 1978). Ada 500 pepatah terhimpun di sana, dan menurut penyusunnya (Aman Dt. Majoindo) buku itu adalah versi tipis dari himpunan pepatah berjudul sama yang diterbitkan juga oleh Balai Pustaka pada 1959, yang lebih tebal dengan 3.000 pepatah.
Dalam metafora – sebagai mana bahasa kias lain – ada sasaran/tujuan (tenor) dan wahana/sarana (vehicle). Yang pertama adalah apa yang hendak dijelaskan yang kedua apa yang dipakai untuk menjelaskan itu.
Apakah sasaran dan sarana dalam pepatah di atas? Kehidupan dan pohon. Hidup adalah pohon, yang hidup dan matinya tergantung pada akar, hal-hal pokok, soal-soal yang mendasar. Kalau akar itu putus atau rusak, maka pohon akan mati sampai ke pucuknya.
Di buku “Peribahasa”, maksud pepatah itu dijelaskan begini: ibaratnya, kalau pandai mengalahkan atau menjatuhkan musuh yang banyak, sekali pukul saja tunduk semuanya; misalnya ditangkap yang jadi kepalanya, maka pengikut-pengikutnya tak berdaya lagi, semuanya akan menyerah.
Intinya adalah pepatah tadi membuktikan bahwa sesuatu hal bisa dijelaskan lewat perihal lain, yang keduanya punya makna yang jauh sekali berbeda.
Saya ingin mengatakan bahwa bahasa Melayu, apa yang kemudian kita kembangkan dan kita sebut sebagai bahasa Indonesia, sejak semula telah menjadi bahasa yang bertenaga, antara lain dengan kemampuannya mentransfer makna dari satu terma ke terma lain lewat apa yang kita pahami sebagai peristiwa metafora itu.
Saya pilih beberapa pepatah yang menarik dari buku yang disebut diatas, yang didalamnya termuat peristiwa metafora:
Jika tidak angin bertiup, takkan pokok bergoyang.
Tersisih antah dari beras.
Kalau pandai menggulai, badar menjadi tengiri.
Membangkitkan batang terendam.
Lempar batu sembunyi tangan.
Tiada biduk karam sebelah.
Kalau pandai meniti buih, selamat badan sampai ke seberang.
Seorang makan cempedak, semua kena getahnya.
Biar dahi berluluk, asal tanduk mengena.
Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui.
Bukannya diam penggali berkarat, melainkan diam ubi berisi.
Baru dapat gading nan bertuah, terbuang tanduk kerbau mati.
Masuk tak genap, keluar tak ganjil.
Belum bergigi sudah hendak menggigit.
Mengendap di balik hilalang sehelai.
Bahasa kita membuktikan bahwa sejak semula kita telah mengembangkan dan berkembang menjadi bangsa yang metaforis.
Aman dalam pengantar edisi ringkas “Peribahasa” itu mengatakan bahwa pepatah atau peribahasa boleh diumpamakan suatu hiasan atau bunga dalam kata-kata. Ia menegaskan fungsi “indah” (dulce) satu sisi dari fungsi yang kerap dituntut dari sastra selain “faedah” (utile), sebagaimana ditengarai oleh Horatius.
“Kata-kata yang disusun dengan indah, kalimat-kalimat yang diatur dengan rapi akan makin bertambah indahnya, bila disisipkan sebuah pepatah dalamnya,” ujarnya.
Akan tetapi tentu bukan keindahan itu benar yang jadi harga sebuah pepatah yang ditenagai oleh metafora.
Kemampuannya untuk meningkatkan efisiensi dan tenaga atau daya ungkap bahasa itulah yang membuatnya hidup dan menghidupkan bahasa. Dengan sebuah pepatah atau peribahasa, suatu pesan dapat digambarkan dengan tepat sekali.
“Barangkali jika dipakai perkataan biasa, akan berpanjang-panjang uraiannya, baru sampai kepada yang dimaksud itu,” kata Aman.(bersambung)