Etsa, Puisi yang Mengukir Hati – Esai Ari Nurtanio

Etsa, Puisi yang Mengukir Hati

Esai Ari Nurtanio

GORESAN hitam yang lentur di antara sapuan merah tidak rata itu, terkesan kuat, apalagi dengan latar belakang putih. Kokoh, sederhana dan enak dilihat. Meskipun yang paling menarik perhatian saya adalah judul buku itu: ETSA. Karena etsa adalah salah satu proses yang kami lakukan di laboratorium untuk melihat struktur bagian dalam logam (metalographi), untuk menentukan kekuatan logam itu.

Etsa, secara umum, adalah proses pengukiran logam dengan menggunakan larutan asam, yang sudah sangat dikenal oleh para pengolah logam (goldsmith) sejak jaman dulu (abad pertengahan).

Semakin penasaran, ada TOTO SUDARTO BACHTIAR, nama penulis puisi yang ada di buku Pelajaran Bahasa Indonesia, di SMP (Sekolah Menengah Pertama), judul puisinya Pahlawan Tak Dikenal. Kelas 3 SMP, saya membaca puisi itu di depan kelas, dan teman-teman bertepuk-tangan riuh sekali. Ibu Sunarti juga menepuk-nepuk pundak saya. Jadilah saya pun memberanikan diri ikut lomba membaca puisi. Tapi entah kenapa, saya tidak pilih puisi itu, tapi memilih puisi karya Chairil Anwar, yang lebih mengebu-gebu, dan hasilnya: saya kalah.

Di SMA (Sekolah Menengah Atas), nama dan puisi itu muncul lagi, bersama dengan puisi Chairil Anwar (dengan judul Cerita buat Dien Tamaela) dan Sapardi Djoko Damono (dengan judul Berjalan Ke Barat di Waktu Pagi Hari). Tapi sayang puisi-puisi itu tak pernah disentuh, padahal kami punya dua guru Bahasa Indonesia, untuk Tata Bahasa dan untuk Sastra. Ada kami diberi tugas menulis puisi – tapi hampir tanpa penjelasan, selebihnya kami hanya menghafal nama-nama sastrawan dan karyanya. Mungkin, hal itu dilakukan karena kami ada dikelas Jurusan IPA.

Nama Toto Sudarto Bachtiar kembali saya dapati, bersama potongan puisi, ketika saya membaca novel Hati yang Damai, yang ditulis oleh NH Dini. Bahkan, potongan puisinya saya masih hafal, begini:

Terkadang sebelum masuk rumah
Aku melihat ke atap dan bertanya-tanya
Adakah dia di dalam, masihkah dia cinta
Alangkah besarnya rasa hidup, bila hati tidak gelisah

Romantis sekali. Saya baca berkali-kali, pas untuk situasi cerita di novel itu, tentang seorang pilot yang harus banyak bepergian dan jauh dari istrinya. Tetapi, terasa sekali pada saya, yang waktu itu sedang belajar jatuh cinta pada seorang perempuan.

Dengan sebat, saya ambil buku itu. Setelah saya buka-buka, saya agak heran, tidak ada keterangan : kumpulan puisi? Setelah membolak-balik dan membaca biodata yang ada dilembar belakang, saya faham kenapa Popo Iskandar, pelukis kucing yang terkenal itu, yang merancang dan membuat sampul buku itu tidak mencantumkan : kumpulan puisi.

Karena, pada saat buku itu terbit, 1957, Toto Sudarto Bachtiar adalah penyair besar, yang meraih hadiah sastra dari BMKN (Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional) untuk ‘Suara’, yang terbit setahun sebelumnya (1956). Di dalam buku kumpulan puisi ‘Suara’ itulah kita mendapati ‘Pahlawan Tak Dikenal’, yang ada di buku pelajaran Bahasa Indonesia di SMP dan SMA. Ada juga ‘Ibukota Senja’ yang dianggap sebagai ikon kota Jakarta. Dan, ‘Gadis Peminta-minta’, yang sering dianggap sebagai ikon Toto Sudarto Bachtiar.

Secara umum, setidaknya dari tiga puisi diatas, Toto Sudarto Bachtiar, dikenal sebagai penyair yang menyuarakan orang miskin, orang kecil, atau orang tersisih. Tetapi setelah membaca ‘Etsa’, saya mendapati bahwa pernyataan diatas hanyalah sebagaian dari karakter Toto Sudarto Bachtiar, yang pada dasarnya adalah seorang humanis.

Pusat

Serasa apa hidup yang terbaring mati
Memandang musim yang mengandung luka
Serasa apa kisah sebuah dunia terhenti
Padaku, tanpa bicara

Diri mengeras dalam kehidupan
Kehidupan mengeras dalam diri
Dataran pandang meluaskan padang senja
Hidupku dalam tiupan usia

Tinggal seluruh hidup tersekat
Dalam tangan dan kari-jari ini
Kata-kata yang bersayap bisa menari
Kata-kata yang pejuang tak mau mati

Dengan gaya bahasa yang lugas dan denotatif, puisi ini – juga puisi-puisi yang lainnya, adalah puisi yang cenderung mudah untuk dimengerti dan dipahami. Tapi, di sinilah kehebatan Toto Sudarto Bachtiar, meskipun bahasa yang digunakan sangat umum, tetapi dirajut dalam struktur yang kokoh, sehingga tajam mengiris hati dan pikiran kita.

Setiap bait adalah sebuah peristiwa puitis dengan kadar dramatis yang tertentu, sebuah episode. Susunan episode itulah yang kemudian menentukan kadar dari sebuah puisi secara keseluruhan. Dari ‘Serasa apa hidup yang terbaring mati’ sampai ke ‘Kata-kata yang pejuang tak mau mati’.

Tetapi, jika kita perhatikan bait ke 1, ‘Jendela’, yang isinya seperti berikut:

Dulu kutengok lagi dari sana, mungkin kau datang
Kebetulan tirai tersingkap angin pagi yang lantang
Mengantar pipimu yang merah tersipu
Alangkah beratnya rindu

Di sinilah kekuatan sebenarnya Toto Sudarto Bachtiar: majas dan diksi yang kaya pada situasi “romantis”.

“Saya dan Hariyadi maju tanpa HB Jassin”, begitu kata Toto Sudarto Bachtiar, yang menyapa diri di hadapan kami, dengan Oom, pada suatu sore, sambil menyeruput teh hangat dan pisang goreng. Haryadi yang dimaksud tentu Harjadi S Hartowardojo, temannya sesama penyair ‘Kisah’, sebagaimana disebutkan oleh Subagyo Sastrowardoyo.

Memang, dari kumpulan ‘Suara’, ada sebuah puisi berjudul ‘Pernyataan’, yang bait pertamanya seperti ini:

H.B. Jassin. Dimana berachirnja mata seorang penjair?
Kau sudah lama sekali tahu, kuburan dia
Hanjalah nisan kata-katanja selama ini
Tentang mimpi, tentang dunia sebelum kau tidur

Penyair yang dimaksud pada sajak ini, tentulah Chairil Anwar, yang dikenal sangat dikagumi oleh HB Jassin. Dikagumi, dan tidak tergantikan, Puisi diatas, ditulis Toto Sudarto Bachtiar tahun 1955, enam (6) tahun sejak meninggalnya Chairil Anwar (1949).

Chairil Anwar dan Toto Sudarto Bachtiar adalah penyair yang berdiri di dua tempat yang berbeda. Chairil berada di wilayah eksistensialis Nietzsche, yang memimpikan keabadian dan menganggap kematian sebagai kekalahan.

Pada ‘Nisan’ (1942), Chairil terheran-heran terhadap sikap neneknya yang begitu pasrah menghadapi kematian. ‘Bukan kematian benar yang menusuk kalbu/Keridlaanmu menerima segala’. Setahun kemudian, Chairil pun berteriak : “Aku ingin hidup seribu tahun lagi” (‘Aku’ ). Tetapi, saat dekat diakhir hayatnya, tahun 1949, pada ‘Derai-Derai Cemara’, pada bait akhir, Chairil menulis: ‘Hidup hanya menunda kekalahan/tambah terasing dari cinta sekolah rendah/dan tahu, ada yang tetap tak bisa diucapkan/sebelum akhirnya kita menyerah’.

Toto Sudarto Bachtiar, sebenarnya juga pada wilayah eksistensialis, karena pada tahun-tahun itu pemikiran filsafat eksistensialis sedang menguasai dunia. Toto Sudarto Bachtiar menterjemahkan ‘Last Farewel to Arm’, karya Hemingway, menjadi ‘Pertempuran Penghabisan’ dan ‘La putain resectueuse’, drama karya Satre, menjadi ‘Pelacur’. Nah, Toto Sudarto Bachtiar sejalan dengan karya-karya itu, masih eksistensialis, tetapi dengan titik berat pada humanisme.

Ah, dalam situasi pandemi virus corona ini, saya jadi teringat novel ‘La Peste’, karya Albert Camus, yang diterjemahkan dengan sangat bagus oleh NH Dhini, menjadi ‘Sampar’. Rasa-rasanya novel ini, juga karya Camus yang lain, punya detak nafas yang seperti-seperti karya-karya Toto Sudarto Bachtiar.

Karya yang menurut saya bernafaskan eksistensialis yang humanis itu adalah :

Tentang Kemerdekaan

Kemerdekaan ialah tanah air dan laut semua suara
Djanganlah takut kepadanja

Kemerdekaan ialah tanah air penjair dan pengembara
Djanganlah takut kepadanja

Kemerdekaan ialah tjinta salih jang mesra
Bawalah daku kepadanja

Pada waktu teman-teman STB (Studiklub Teater Bandung) mementaskan ‘Don Carlos”, kisah perjuangan seorang republikan, yang merdeka, membebaskan Flanders dari cengkeran keji Raja Philip dari Ingrris, naskah karya Friedrich Schiller. Puisi ‘Tentang Kemerdekaan’ dengan tulisan tangan Toto Sudarto Bachtiar menjadi bagian dari booklet. Kemudian, puisi dalam tulisan tangan itu juga menjadi bagian banner Rendra Baca Puisi di Toko You. Saya sendiri juga memanfaatkannya mengisi edisi Agustus Majalah Internal Perusahaan tempat saya kerja.

“Saya juga menggunakan puisi Etsa itu di-‘Gita Cinta dari SMA'”, kata Eddy D Iskandar dalam satu obrolan sore di Sekretariat FFB (Forum Film Bandung), Rabu (11/3) minggu lalu.

Etsa

Suara kasih dalam hati malam
Kian lincah, tapi kemudian membeku
Tanpa bulan, karena bulan beradu
Dan hatiku sendiri kian terbenam

Puisi-puisi Toto Sudarto Bachtiar, memang meng-etsa hati kita.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *