May Moon Nasution
– Bagi pendendang di Singkuang
bagaimana kami hendak mendikirkan dendang ini,
dengan doa-doa yang telah dikuduskan kaum-kaum kami
demi menjaga kesahihan kidung dan kitab,
dengan segenap dekap dan bunyi rebab
potlot pun sudah dikawinkan dengan buku,
malam bercincin di buku-buku jemarimu
sekolah-sekolah di Tanobato mengagungkan namamu,
sedang pedang Mandailing belum kami sarungkan
dan pedang-pedang dalam dongeng orang dulu,
perlu kami tafsir, simbol pada ulu yang berkhat
bagai suhuf-suhuf di pustaha raja yang berkat,
seperti huruf-huruf dan ayat-ayat pada traktat
bergemerincing kata-kata di suping kami,
bagai penyair yang mengigal kata demi kata
dari Singkuang-Natal, kami seperti melihat,
babiat ompong mengaum di dada penguasa
babak demi babak telah rapi mereka ramu,
berjoged dengan kibod juga pesta dansa
serupa auman harimau dari Muarosipongi,
dan di Singkuang kami terbuang, jauh ke kampung orang
kami mendengar dongeng gergasi dari kelasi jung,
di Jambi, di Pekanbaru kami belajar bahasa ibu
misteri-misteri cindaku yang didongengkan ibu,
kita dari tepian yang sama keruhnya, kami dengar bisikmu
nauli kau kata, tempat begu-begu berkuasa,
tempat segala mantera-mantera disucikan
darah kami terlanjur dihisap datu berjanggut pasi,
maka kami pahitkan lidah kami, kami asinkan sakit kami
biar terberkati segala yang patut diberkahi,
dan hidup memang harus terus berdegub
begitu kata Angku kami, Si Gadang Sugi,
lalu kami sugi juga detak hidup di rantau ini
bukankah kita pernah mengaji di madrasah,
menafsir sharaf mengaji nahwu, dan berbagai sirah
para mufasir yang pandai merapal-menyahihkan,
dan bait-bait mantera dalam rongga dada kami
belum bisa kami susun ejaannya, bunyi ke huruf,
kata ke kalimat, kalimat ke paragraf
di kampung orang, kami kerap dikata yang entah melayu,
jelata, sedang kidal kami, juga bibir kami pandai merayu
kata-kata kami, bisa menjatuhkan jantung Pajatu,
aku sendiri Si Jambak yang kelak menjambak rambutmu
membasahkan alek gadang ketika pesta disahkan,
bahkan kami kenangan yang selalu dibasahkan
tentang mitos-mitos dan identitas kita yang menyatu,
bahasa daun-daun, yang orang-orang eropa kata
cuma sebiji di bumi ini, adat yang bersandi syarak,
syarak bersandi Kitabullah, juga petuah-petitih bijak
yang masih tersimpan dalam, di lemari suluk yang lapuk,
dan kepadamu kami bertanya, dan minta petunjuk
berilah kami cara, perkara bagaimana menjaga adat,
dengan pedang lurus, yang selalu saja bergemerincing
di dada kami, semenjak tanah ini disinggahi petualang,
pedagang dari Cina, dari Belanda yang kerap mengatai kami
ambtenar bermata kuning, inlander bermata kepeng,
klerek-klerek ulung yang suka mencuri di afdeling
yang mereka bangun, pabrik-pabrik gata yang kumal,
juga buruh-buruh yang dibawa dan dibunuh di Natal
biar padam bara dendam, biar hilang itu ideologi rancu,
agar kami mahir mengeja kata, api jadi air, hantu jadi begu
seperti moyang kami dahulu, menjaga rimba dengan kata,
merawat adat dengan tongkat, bukan dengan kepeng portugis
centeng-centeng yang kau sewa, merebut tanah juga gadis-gadis,
dan semoga kelak, anak-anak kami tak diusir, dari ini pesisir
tentang kabar yang kabur, dari keyakinan yang nyinyir.
Pekanbaru-Singkuang, 2015-2016
Sumber: Sumut Pos, 17 April 2016.