Esai: Suara dari Awal Abad XVII: Penulis Harus Membaca

Kenapa Kita Menulis Puisi? (3)

Suara dari Awal Abad XVII: Penulis Harus Membaca

Oleh Hasan Aspahani

DALAM “Tajussalatin” (1603) – sebuah kitab berbahasa Melayu yang bagus yang beredar dan berpengaruh luas di Nusantara – dijelaskan satu pasal khusus tentang pekerjaan penulis yang bukan sekadar juru tulis. Atau dalam buku itu disebut penyurat, yaitu orang yang di dalam struktur kerajaan bertugas untuk menyuratkan, yaitu merumuskan dan menuliskan perintah, aturan, atau pesan seorang raja.

Posisi seorang penyurat digambarkan sedemikian pentingnya. Bukhari Aljauhari, penulis buku itu, memulai “Pasal yang Kesebelas pada Menyatakan Peri Pekerjaan Segala Penyurat Itu” dengan sejumlah dalil dari Alquran.

Salah satunya surah Al-Alaq ayat 4-5: (terjemahan dikutip dari “Tajussalatin”) bahwasanya mengajarkan dengan kalam itu mengajarkan mansusia barang yang ia tiada tahu. Ia juga mengutip hadits: pertama yang dijadikan Allah itu kalam.

Begitulah diyakinkan dengan retorika yang tak terbantah bahwa kata itu penting, bahkan sakral. Allah dan manusia terhubungkan dengan kalam, dengan kata. Karena itu posisi seorang penyurat atau kalau sekarang kita sebut saja secara umum sebaga penulis sedemikian pentingnya.

“…segala orang yang berilmu mengatakan dari pada sekalian yang dijadikan Allah Taala itu tiada yang terbesar dari pada kalam, karena sekalian ilmu dari pada pertama datang kepada kesudahan itu tiada dapat diketahui melainkan dengan kalam juga,” demikian ujar Bukhari Aljauhari sebagai mana tertulis di bukunya.

Seperti pada bab lain, pada bab ini pun Bukhari mengutip rujukan ke banyak sumber kitab lain. Terkait urusan diplomasi (pena) dan perang (pedang) ia menyebut rujukan “Kitabulinsan”, tanpa menyebut nama pengarangnya.

Ia percaya pada keutamaan dan kekuatan pena, kata, tulisan, diplomasi untuk menyelesaikan urusan kerajaan. Empat hal bisa diringkas dari penjelasan tersebut: 1. Semua pekerjaan dunia ini terdiri dari dua hal: pedang dan pena; 2. Semua urusan kerajaan lebih banyak pekerjaan pena; 3. Semua urusan pedang dapat diselesaikan dengan pena; 4. Semua urusan pena tak dapat diselesaikan dengan pedang.

Saya teringat satu kutipan terkenal dari kitab “Bustanul Katibin” Raja Ali Haji: Beberapa ribu dan laksa pedang yang sudah terhunus, maka dengan segores kalam jadi tersarung. Konon kutipan itu berasal dari Parsi. Saya menangkap ada nada yang sama pada kutipan ini, mungkinkah itu berasal dari “Kitabulinsan” kitab yang sama yang dirujuk Bukhari?

Masih merujuk kitab yang sama disebutkan pentingnya seorang penyurat yang ‘suka mengetahui segala perintah alam’ agar banyak membaca, kitab dan surat. Tanpa membaca penyurat tak akan punya banyak pengetahuan. Terlalu banyak yang harus diketahui, dan kalau itu harus dialami langsung, maka mengingat usia manusia yang pendek maka pasti ia tak akan mendapatkan semuanya. Mengalami pun jika tak mencatat dan membaca tak akan banyak juga yang diingat.

Bukhari menuliskan: … tiada dapat diingat, melainkan dengan kalam dan kitab dan surat juga, dan begitu saja bertambah-tambah pengetahuan segala manusia itu. (bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *