Dari Kami: Puisi Gigantis dan Puisi Generik

APA yang generik adalah sesuatu yang tak bisa dibedakan satu sama lain. Ia adalah barang konsumsi yang tak perlu diberi merek. Ia adalah produk massal. Yang dikejar adalah kecukupan jumlah. Obat generik adalah obat yang formulanya standar, tidak ada spesifikasi, diproduksi pabrik obat manapun hasilnya sama, kemasannya sama, yang penting cespleng. Obat generik jelas bukan obat yang buruk. Ia bukan obat palsu, tapi sangat mudah dipalsukan.

Membaca banyak puisi Indonesia dalam rentang waktu penulisan yang panjang saya sampai pada satu kesimpulan yang mungkin sedikit cemas, yaitu merebaknya puisi generik.

Yang saya maksud puisi generik bukan puisi formal, yaitu puisi baku seperti kwatrin, soneta, pantun, syair, yang mengacu pada bentuk, atau puisi ode, himne, balada yang mengacu pada isi.

Puisi generik yang saya cemaskan adalah puisi bebas yang ditulis tidak dengan kesadaran untuk tidak memakai bentuk tetap itu, dan hasilnya pun berupa sajak yang tampak tak diupayakan untuk menjadi berbeda dengan puisi karya penyair lainnya.

Padahal puisi bukan produk massal. Tentu saja lebih banyak puisi yang ditulis adalah lebih baik. Lebih banyak buku puisi yang terbit adalah juga lebih baik. Asalkan jumlah sajak dan buku yang banyak itu berangkat dari kesadaran untuk memperkaya khazanah sajak kita, bukan karya asal setor dari seorang penyair yang kepepet.

Penyair besar kita Sutardji Calzoum Bachri pada 1979 sudah memperingatkan soal itu. “Menyair adalah pekerjaan serius,” ujarnya dalam Pengantar Kapak.

Keseriusan apa yang dituntuk dari pekerjaan menyair itu? Keseriusan itu, meminjam dan mengolah pendapat Ezra Pound, adalah bekerja dengan kesadaran bahwa sastra, dengan demikian juga puisi, harus dikerjakan untuk menghasilkan karya yang hebat, yaitu karya seni dengan medium bahasa, sesederhana apapun bentuknya, tetapi diberi tenaga makna hingga ke tingkat tertinggi yang paling mungkin dicapai.

Tapi, jangan kuatir, penyair tak harus menyair sampai mati, kata Sutardji. “Dia boleh meninggalkan kepenyairannya kapan saja!” Ya, tinggalkan saja puisi kalau tak bisa dan tak mampu serius mengerjakan puisi. Berhenti saja menyair jika hanya menghasilkan puisi generik. Secara tak langsung Sutardji sudah juga memperingatkan itu. Bila kau sedang menulis puisi, katanya, kau harus melakukan secara sungguh-sungguh, seintens mungkin, semaksimal mungkin. “Kau harus melakukan pencarian-pencarian, kau harus mencari dan menemukan bahasa,” ujarnya.

Ini yang mungkin bisa dipertemukan dengan apa yang disebut sebagai puisi gigantik oleh Asrul Sani. Dengan istilah itu Asrul ingin menghantam sajak-sajak penyair seangkatannya yang ia sebut “deadlock pada puisi emosi-semata”.

Menjadikan emosi sebagai pendorong bagi lahirnya puisi saja adalah sebuah kemajuan dan kebaruan. Para penyair Pujangga Baru memburu keindahan dengan segala bunga kata, royal dengan perbandingan. Bagi Asrul Sani yang dicapai oleh Pujangga Baru barulah sebuah kamar, sementara mereka – sembilan tahun berdebat – untuk mencari dan telah pula merasa menemukan sebuah rumah. Tapi jangan berhenti pada emosi itu. Puisi dan emosi, kata Asrul, tak bisa dipisahkan. Tapi emosi itu bukan ujud. Kilasan perasaan, lintasan pengamatan bukan atau belum menjadi substansi. Apalagi jika emosi itu justru ditempelkan pada ujud yang tidak lahir dari emosi itu.

Puisi gigantis adalah puisi seperti yang dirumuskan kemudian oleh Chairil dalam Pidato 1946. “Sebuah sajak yang menjadi adalah suatu dunia! Dunia yang dijadikan, diciptakan kembali oleh si penyair,” ujarnya di kalimat pertama naskah pidatonya itu.

Sementara puisi gigantis, menurut Asrul sendiri, adalah puisi yang menyeluruh sebagai imbangan dari robekan-robekan sepintas lalu yang diberikan emosi yang mempunyai sumber pada serba manusia, serba hidup yang tak terbatas pada dunia. Dalam puisi gitantis sepeti itu emosi hanya pendorong “perasan” yang dialami penyair untuk dirasakan oleh penikmat.

Puisi gigantis, bukan sajak generik yang kemudian diberi cap macam-macam, seolah-olah ia punya merek sendiri, lalu dikemas dengan genit, dan dipromosikan dengan cara-cara murahan.

Bagi saya sajak Chairil Anwar “1943”, dan sajak Sutardji “Berdarah”, sajak Sapardi Djoko Damono “Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari”, sajak Goenawan Mohamad “Andai Kita di Sarajevo”, juga sajak Rendra “Khotbah”, sekadar menyebut beberapa contoh, adalah sajak gigantis. Tak banyak, karena memang tak semua bisa sampai pada kesadaran untuk mencapai itu, dan juga tidak mudah.

Sajak gigantis, adalah sajak yang membawa penyairnya menemukan bahasa dan menjadikannya pantas disebut Penyair. Sajak gigantis bukan sajak generik sebagai hasil menggauli bahasa ala kadarnya, bukan pencarian yang intens dan maksimal. “Yang tak menemukan bahasa tak kan pernah disebut penyair,” ujar Sutardji.

Dengan sajak generik, penulisnya mengemis-ngemis minta disebut sebagai penyair, atau jika dia punya uang dia akan membeli pengakuan kemana-mana, seolah-olah ia bekerja untuk puisi, tapi sebenarnya yang ia lakukan adalah upaya untuk mendapatkan cap sebagai penyair. ***

 


Tulisan ini dimuat pertama kali di Mata Puisi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *