Tugas Seorang Penyair
Oleh Hasan Aspahani
Dunia rindu arti
ingin ditangkap dalam kata
puisi
hidup yang nyata
(Sitor Situmorang, “Wajah Ch. A”, 1975-1979)
SIAPAKAH penyair? Jawabannya bisa dirujukkan kepada perannya sebagai manusia di antara manusia lain, kesadarannya bahwa puisi adalah takdir bahasa, dan sumbangannya pada bahasa, medium seninya itu. Pesu Aftarudin (l. 1941), seorang penyair dan guru di Bandung, menjelaskan bahwa manusia penyair adalah dia yang menyadari eksistensi kehadirannya di dunia, sebagai seorang pribadi yang mengalami kehidupan jasmani dan rohani, dan mempunyai sikap moral yang membedakannya dengan makhluk lain.
Bagi saya penjelasan dari buku “Pengantar Apresiasi Puisi” (Penerbit Angkasa; Bandung, 1990), sudah melingkupi setengah dari pengertian dan peran atau laku seorang penyair. Selain mengalami dan menyadari apa yang dia alami itu, seorang penyair menuntaskan kerja kepenyairannya dengan menghayati (apa yang dia alami dan muncul dari kesadarannya itu), dan terakhir memaknai (penghayatannya itu dengan menuliskannya sebagai puisi).
Ada satu sajak Subagio Sastrowardoyo yang bisa menggambarkan proses pergulatan penyair menjalankan tugasnya melahirkan sajak tersebut.
Tugasku hanya menterjemah
gerak daun yang bergantung
di ranting yang letih. Rahasia
membutuhkan kata yang terucap
di puncak sepi. Ketika daun
jatuh tak ada titik darah. Tapi
di ruang kelam ada yang merasa
kehilangan dan mengaduh pedih(“Nada Awal”, 1989)
Ada situasi yang genting dari daun yang tergantung di ranting yang letih dan bergerak hingga jatuh dan tak berdarah tentu saja, tak ada yang sadar apalagi peduli. Peristiwa yng terlalu biasa itu tak ada yang menyaksiknnya, tak ada yang terlibat mengalaminya, karena itu tak ada kata yang dikerahkan untuk peristiwa yang hanya akan menjadi rahasia di puncak sepi itu. Ada terlalu banyak peristiwa yang terjadi dan berlalu begitu saja luput dari kesaksian dan kesadaran siapa pun.
Penyair, dengan penghayatannya atas kehidupan, dia yang terlepas sudah dari keterkaitannya hanya dengan dirinya sendiri, bisa merasakan itu, ia sadar bahwa ada yang kehilangan dan mendengar ada yang menjerit sakit. Memang tak selalu ada titik darah dari luka-luka kehidupan tapi bukan berarti segalanya beres dan tak ada yang kesakitan. Dengan jalan pengucapan lain hal ini juga dikatakan Rendra, bahwa ketika ada keseimbangan terusik maka orang-orang harus dibangunkan, untuk memberikan kesaksian.
Itulah tugas penyair, yaitu menterjemah (huruf “t” pada awal kata saya kira sengaja tidak diluluhkan Subagio sebagai penegasan makna kata “terjemah”) apa yang tak terucap, mengungkap rahasia hidup dengan memberdayakan kata, menggerakkan fungsi bahasa, agar kehidupan bisa terjaga (Rendra, 1974).
Rumusan atau rangkuman lain terkait hal ini diucapkan oleh Sitor Situmorang dalam sajak yang saya kutip di awal tulisan. Dunia, di mana manusia – si animal symbolicum dan homo mensura itu – tinggal sebagai bagian darinya, menuntut, meminta, dan merindukan untuk diberi maka, ditetapkan apa arti kehadirannya.
Bagi manusia penyair, hanya ada satu cara untuk itu yaitu dengan mengucapkannya, menangkapnya dengan bahasa dan dalam kata-kata. Maka puisi dengan demikian adalah perwujudan dari dunia itu dari hidup yang nyata. Demikianlah juga Chairil Anwar dalam sebuah esainya telah mengatakan pula jauh waktu sebelumnya bahwa sebuah sajak yang menjadi adalah sebuah dunia. Dunia yang mengucapkan dunia, dunia yang kata Chairil, dijadikan, diciptakan kembali oleh si penyair (Pidato Radio 1946).
Apabila makna denotatif bahasa belum cukup, penyair akan bersiasat mengerahkan makna konotatifnya. Dengan menakjubkan, kerja penyair yang demikian itu seakan-akan mengembalikan apa-apa yang mustahil, seperti membangkitkan kematian para penyihir, lalu dengan mantra kata-kata, menjelmakan kehidupan manusia (“Penyair”, Ajip Rosidi, 1954); atau seperti yang dirumuskan Saini KM menabur kata dari kandungan kalbu: Benih-benih pengalaman berkecambah dalam gelap, di seberang fajar, wilayah belum berkabar. (“Sang Penyair”, 1987-1989).
Puisi, dengan demikian, menjalankan sekaligus dua peran kata dalam bahasa. Memasuki akal pikiran pembaca dengan makna denotatifnya, lalu menurun ke dalam jiwa pembaca lewat bahasa konotatif (Aftarudin, 1990). Perangkat puitika dipilih, dipakai, dikerahkan untuk menjalankan dua peran itu, menunaikan tugas kepenyairan itu.
Akan tetapi, menulis puisi, upaya memanfaatkan potensi estetis bahasa, pergumulan yang intens dan terus-menerus dengan bahasa, pada akhirnya membawa penyair pada kesadaran tentang betapa luasnya kesadaran dan kompleknya dunia yang rindu arti itu, dan kemampuan bahasa ternyata ada batasnya. Penyair mudah berada pada situasi di mana dia tak menemukan kata-kata, atau dia menyadari ketakcukupan kata untuk mengucapkan apa yang hendak ia puisikan.
Dalam khazanah puisi kita, kesadaran itu terucapkan dalam beberapa puisi karya penyair kita. Seperti aku, di mana kata tak cukup untuk berkata, kata Toto Sudarto Bachtiar (“Keterangan”, 1953). Secara amat metaforis, Sapardi Djoko Damono menyajakkan situasi ketakmampuan atau kesia-siaan itu dalam sajak “Cermin, 1” dan “Cermin, 2”. Apabila sajak adalah cermin di mana manusia menyengaja datang padanya lalu berhadap-hadapan dengan dunia dan dengan bayangannya sendiri, yang meniru seluruh geraknya sendiri, dalam imaji yang apa pun jadi terbalik di dalamnya, maka hanya itu yang bisa diberikan puisi.
Cermin yang tak bisa memantulkan suara itu hanya bisa bertanya: mengapa kau seperti kehabisan suara? (Cermin, 1) dan manusia dalam ketegangan itu mendadak mengabut dalam kamar, mencari-cari dalam cermin; dan cermin menangkapmu sia-sia (Cermin, 2). Dengan cara itu, Sapardi sadar menyadarkan tentang adanya batas kemampuan puisi dan bahasa. Tapi tak ada pilihan, Sapardi juga yang meyakinkan kita bahwa kata-kata adalah segala-)galanya dalam puisi. Kerja penyair sepenuhnya mengandalkan kemampuannya mengolah potensi itu dan kegigihannya menguji batas-batas kemampuan bahasa.
Puisi adalah sumbangan, nafkah atau balas jasa manu sia penyair kepada bahasa. Sumbangan itu seperti dikatakan Gaston Bachelard (1884-1962 adalah membuka jalan ke masa depan bahasa-bahasa. Katanya, saya kutip dari “The Poetic of Reverie” (1969), puisi adalah salah satu takdir dari bahasa. Dengan mencoba meningkatkan kesadaran akan bahasa di tingkat puisi, kita mendapatkan kesan bahwa kita menyentuh manusia yang ucapannya baru, karena tidak terbatas pada mengekspresikan ide atau sensasi, tetapi juga berusaha untuk mempunyai masa depan. Seseorang bisa mengatakan bahwa citraan puitis, dalam kebaruannya, membuka masa depan bagi bahasa-bahasa.
Puisi adalah takdirnya bahasa. Takdir yang tak terelakkan. Penyair adalah manusia yang dengan sukarela mengemban takdir itu. Menulis puisi berarti menggunakankan bahasa dengan kesadaran yang lebih, menaikkan pemakaian bahasa ke tingkat yang lebih tinggi, ke tingkat puisi. Dengan citraan, salah satu perangkat puitika, di mana kata-kata dengan intens diolah, dengan memadukannya atau karena pemakaiannya bisa menghadirkan perangkat lain, memungkinkan penyair menciptakan kebaruan-kebaruan dalam bahasa. Terus-menerus, sampai pada batas, yang itupun berusaha ia lampaui. Penyair Sitor Situmorang (1923-2014) menggambarkan situasi itu dengan puisinya ini:
Apa yang tak dapat kauhancurkan
dengan tangan,
Hancurkanlah dengan sajak,
dengan demikian kau
membangun lagi
dindingnya waktu.(“Dinding Waktu”, 1976)
Menulis puisi adalah ikhtiar mendobrak, melampaui, meruntuhkan batas-batas, kurungan, jeratan atau kungkungan dalam kehidupan, apa yang tak bisa dilakukan dengan ikhtiar lain. Untuk kemudian menyadari bahwa upaya itu pun akhirnya membangun kekangan lain, dinding yang hanya akan bisa ditembus lagi nanti seiring waktu. Begitulah memang, ada semacam absurditas takdir Sisifus juga di sini.
Barangkali inilah ketegangan lain – selain ketegangan antara konvensi dan inovasi, tarik ulur membangun keutuhan dan kerumitan, antara batas prismatis dan transparan, dll. – dalam pergumulan penyair dengan bahasa demi mewujudkan puisi-puisinya. Ketika mencari keluar dirinya, kepada bahasa, satu-satunya jalan bagi puisinya, ia menemukan “… bahasa menyembunyikan kata, dan menidurkannya pada rumpun ilalang” (“Bahasa”, Aftarudin, 1983). Sementara ketika ia mengorek ke dalam dirinya sendiri pun ia menemukan “…titik terapung di antara gelombang rahasia yang sulit kuterjemahkan dengan bahasa”.
Toh, para penyair kita menikmati ketegangan itu. Ia gigih bertahan, menjalani misi kepenyairannya, seperti menjalankan peran seorang nabi – satu sisi dari sekeping mata uang seorang sosok penyair – selain peran kontras lainnya yaitu bermain atau mempermainkan bahasa seperti seorang anak-anak. …bukankah penyair adalah dia yang terpaksa memilih kata pada saat perangkat lain sudah hilang daya? (Saini KM, “Kepada Penyair Muda, 6” 1983-1987).
Jakarta, 24 Desember 2023