Oleh Hasan Aspahani
Sebelum tintamu menjadi darah, kata-kata
akan tetap sebagai bunyi; kebisingan lain
di tengah hingar-bingar dunia: Deru mobil
guntur meriam dan gunjing murah koran got(Saini KM “Kepada Penyair Muda”, bagian I, bait pertama, dalam buku Nyanyian Tanah Air; hal. 114, Grasindo, 2000)
ADA puisi yang bagus. Dan tentu saja ada puisi yang buruk. Lalu apa bedanya? Jangan bayangkan ada garis pemisah yang tegas yang tebal dan lurus. Bagus dan buruk berada di antara dua titik ekstrim.
Tiap puisi ada di sebuah titik di ruang antara dua titik itu. Letaknya bisa bergeser-geser tapi bisa jelas dia lebih dekat ke titik mana, ke arah puisi bagus atau puisi buruk.
Maka pertanyaan yang lebih berguna adalah bagaimana mengenali situasi di sekitar masing-masing titik itu.
Dan tugas penyair adalah mendidik dirinya agar terus berkembang hingga sampai pada kemampuan mengenalinya dan tentu menerapkannya ketika menulis puisi.
Apa bahan belajarnya? Sejarah dan tradisi puisi. Apa itu? Semua puisi yang telah ada yang mendahului kita, beserta ulasan, kajian, dan pembahasannya. Di situlah pentingnya kritik puisi.
Penyair juga perlu mengenali perangkat kerjanya. Perangkat puitikanya. Apa itu? Ibaratnya seperti tukang kayu dengan alat-alat kerjanya. Gergaji untuk memotong, ketam untuk memperhalus permukaan kayu, pahat untuk membuat lubang dengan rapi, dll.
Mengenali perangkat itu artinya mempermahir penggunaannya. Mahir artinya sampai pada satu situasi si tukang tak lagi bertanya, kalau mau memaku pakai apa ya? Palu atau kapak? Tentu saja palu, tapi kapak bisa juga dipakai, karena bagian atasnya itu juga seperti palu.
Jadi apakah boleh memaku pakai kapak? Boleh, tapi tukang yang mahir tahu benar bahwa kapak bukan itu manfaat sejatinya.
Menimbang-nimbang seperti itulah yang dilakukan oleh penyair ketika menulis puisi. Pekerjaannya tidak selalu lancar karena dia harus membereskan atau menyelaraskan dua hal serentak. Pertama bagaimana tema atau topik puisi harus ia masuki atau dekati, kedua perangkat pertukangan apa yang tepat untuk itu.
Kepengrajinan – dalam arti mahir menggunakan perangkat kerjanya – hanya satu sisi dari seorang penyair.
Penyair tentu saja tidak bekerja seperti seorang tukang dalam arti dia bukan orang yang hanya membuat sesuatu dengan meniru dan mengulang yang itu-itu saja.
Kata-katanya menjadi bunyi yang berbeda di antara kebisingan lain di dunia, menjadi hidup, menghidupkan puisinya, menjadi darah, mengalir di sekujur tubuh teks, menggerakkan jantung makna, seperti disebutkan dalam puisi Saini KM yang dikutip di awal tulisan ini. Apalagi kalau sampai pada sebuah konsep mendasar yang menyeluruh yang benar-benar baru.
Sementara kukatakan, itulah puisi yang bagus. Puisi yang tidak hanya menambah kebisingan lain pada riuh-rendahnya suara lain yang sudah ada, suara dari teks iklan, suara baliho di sepanjang jalan, suara pengkhotbah di mimbar, suara pembawa acara gosip dan acara kuis jenaka di televisi, suara konten viral di media sosial….
Penyair bergelut dengan potensi estetis bahasa. Ia percaya wilayah kemungkinan kreatif itu tak berbatas. Selalu ada celah untuk membuka jalan baru. Membawa puisi memasuki daerah baru, dari segi bagaimana sebuah persoalan didekati (tematik) dan atau bagaimana cara menggarapnya (estetik).
Hanya dengan demikian dia memperluas wilayah perpuisian, memperkaya tradisi dan sejarahnya, dan menyumbangkan hal yang berharga pada bahasanya.[]