Esai: Apa yang Dibaca Chairil?

Oleh Hasan Aspahani

 

Kaum kesusasteraan yang merasa dirinya tertinggal dan tidak lagi mempunyai pandangan yang up-to-date dalam kesusateraan luar negeri bersicepat mencari buku-buku baru. – Asrul Sani dalam esai “Soal Bacaan”, (Siasat, 10 Juni 1951)

 

KENAPA dan bagaimana Chairil menjadi Chairil seperti yang kita kenal? Sebab ia seorang penyair, yang tak mungkin berkarya tanpa memperkaya diri dengan bacaan, maka cara untuk menjawab pertanyaan ini adalah dengan mengetahui apa yang dia baca.  Ketika mendapat tawaran untuk membicarakan persoalan ini saya menerima dengan lekas karena membayangkan pekerjaan ini akan mudah. Ternyata saya salah. Apa yang kita ketahui tentang apa yang dibaca oleh Chairil tidak cukup, sebab ternyata kita juga harus mengetahui apa yang dibaca oleh siapa dan apa yang hendak dilawan (bisa juga dibaca: dikoreksi, dilanjutkan, atau dilengkapkan) oleh Chairil, yaitu para penyair Pujangga Baru itu. Dan ketika bicara tentang Pujangga Baru persoalan menjadi tidak sederhana. Pujangga Baru adalah gerakan penting dan besar. Pujangga Baru adalah gerakan kebudayaan – dengan sastra sebagai dinamo pendorongnya – dengan wawasan nasionalisme pertama, atau bisa juga dikatakan sebaliknya: gerakan nasionalisme dengan sastra sebagai kendaraannya.

 

Mesti Ada yang Memulai, Bukan?

Boleh kita simpulkan, bahwa Pujangga Baru adalah batu tuju, titik tumpu, sasaran tembak bagi serangan-serangan Chairil Anwar.  Kenapa? Karena kelompok itulah yang mendominasi wacana intelektualitas saat itu, dan dalam banyak hal Chairil tidak sependapat dengan mereka.  Dengan bekal pengetahuan, kecerdasan penalarannya, dan kepercayaan dirinya, Chairil menyerang.  Ia tak seberani itu jika ia tak menguasai lebih dari apa yang dikuasai oleh eksponen Pujangga Baru. Artinya apa-apa yang dibaca oleh mereka juga dibaca oleh Chairil.

Ada kartu pos bertanggal 11 Maret 1944, sore, dikirim Chairil dari Paron (dalam perjalanan ke Jawa Timur)  kepada Jassin yang menggambarkan perkembangan diri dan pemikirannya.

Terasa kesanggupanku untuk menulis studi-studi tentang kesusasteraan.

            Meski ada yang memulai, bukan.

            Takdir apalah yang sudah dituliskannya tentang kesusasteraan, orang “pujangga baru” kebanyakan epigones ’80…, epigones yang tak tentu tuju pula lagi.

 

Ini adalah salah satu bukti bagaimana Chairil memang punya agenda membuat perhitungan, tegak merentak, diri-sekeliling kita bentak, tajam mengasah pena, bikin  perhitungan habis-habisan dengan begitu banyak di sekelilingku.

 

Pada tahun 1945, Chairil menulis Hoppla! (Pembangunan, No. 1/ Thn. 1, Desember 1945). Tulisan itu, mungkin bisa kita nilai sebagai caradia “membantai” Takdir dan Pujangga Baru.  Chairil menulis:

 

Jika kita memaling ke belakang, kita dapati “Pujangga Baru” terlahir 1933 bersama dengan terebutnya oleh Hitler kekuasaan di Jerman, tetapi majalah ini selama hidupnya hanya memuat satu artikel dangkal tentang fascisme! Di samping itu melengganglah “Pujangga Baru” dengan nomor-nomor pertamanya berisi esei yang tidak berdasarkan pengetahuan (dalam arti seluasnya) kesusasteraan, meneriakkan “pembaharuan”. Tetapi oleh karena memang ada intensitas dalam golakan mulanya, tersembur jugalah beberapa ikatan sajak…..

 

Jadi: “Pujangga Baru” selama 9 tahun tidak memperlihatkan corak, tidak seorang pun dari majalah tersebut sampai kepada suatu “perhitungan”. Maka datanglah “Kultutkammer” Jepang dengan nama “Pusat Kebudayaan” yang memberi kesempatan tumbuhnya “kesenian” dengan garis-garis Asia Raya… Dan terjelma pulalah pasukan seniman muda yang dengan patuhnya tinggal dalam garis-garis tersebut, tidak sedikitpun berdaya meninggalkannya!!! 

 

Tidak mereka tahu bahwa beratus seniman-seniman di Eropah (Jerman, Italia) di Jepang sendiri, menentang dengan pertaruhan jiwa, yang meninggalkan negeri yang dicintainya karena aliran kebudayaan paksaan ini. Yang berpendirian: lebih baik tidak menulis dari pada memperkosa kebenaran, kemajuan.

 

 

Dua petikan di atas rasanya cukup untuk melihat dengan jelas di mana posisi Chairil berdiri pada masanya berkiprah.  Pujangga Baru adalah nama majalah kesusasteraan dan budaya yang terbit antara Juli 1933 s/d Februari 1942.  Cikal bakalnya telah ada sejak Panji Pustaka, sebuah majalah berbahasa Melayu selain majalah lain yang berbahasa Jawa dan Sunda, yang diterbitkan oleh Balai Pustaka.

 

Yang disebut cikal-bakal adalah pemuatan satu karya syair di halaman pertama, Panji Pustaka Th. X, No. 28, Maret 1932, dalam ruangan yang diberi nama, sekaligus menjadi semboyannya: Untuk Memajukan Kesusasteraan.  Kiriman membanjir memang, tetapi…

 

…nyatalah kepada tuan, bahwa di antara berpuluh-puluh sajak yang kami terima tiap minggu amat banyak terdapat syair model kuno, penuh dengan gemeen plaatsen dan perkataan yang tak berarti. Sebab itu senantiasa kami suka menerima buah tangan pujangga yang muda-muda, yang jauh di dasar jiwanya terasa akan panggilan zaman.

 

Itu yang mendorong Sutan Takdir, Armijn Pane, Amir Hamzah, secara sendiri-sendiri, dan kemudian bersama-sama menerbitkan Pujangga Baru.  Arti  penting majalah dan gerakan yang dibawa oleh Pujangga Baru selain keinginan untuk memperbaharui persajakan (lewat serangkaian tulisan didaktis Takdir, Amir, Tatengkeng, juga sajak-sajak yang mereka tuli atau yang mereka terjemahkan yang berpretensi menjadi contoh bagaimana sajak harus dituliskan)  adalah majalah ini juga merupakan wujud dari gerakan intelektual nasionalis pertama yang mandiri, sadar, dan terencana, terkonsep dan berani.

Sementara rubrik syair di Panji Pustaka tetap ada, hingga 2,5 tahun kemudian, Pujangga Baru (mulai terbit Juli 1933), pelan-pelan mengambil pengaruh, hingga kemudian semua penulis kala itu tak lagi mengirim ke Panji Pustaka (terakhir memuat syair 1934).  Padahal Takdir, Armijn, Jassin, Amir, adalah orang-orang yang bekerja di Panji Pustaka juga. Dalam empat tahun pertama majalah ini berganti semboyan saban tahun. Tapi selalu menampakkan pilihan antara mempeluas diri di sastra saja, ataukah juga kebudayaan secara umum. Semboyan terakhirnya sangat panjang: Majalah Bulanan Pembimbing Semangat Baru yang Dinamis untuk Membentuk Kebudayaan Baru, Kebudayaan Persatuan Indonesia.

Dr. Keith Foulcher dalam Pujangga Baru – Kesusasteraan dan Nasionalisme di Indonesia (1933-1942) menutup telaahnya dengan kesimpulan bahwa Pujangga Baru adalah petunjuk pertama mengenai suatu peralihan kebudayaan yang amat besar, yang mendampingi dan menjadi bagian peralihan Indonesia dari Hindia Belanda ke negara-bangsa Indonesia. Kesimpulan ini terasa santun, mengingat banyak uraian di sepanjang buku yang menunjukkan bahwa sastrawan Pujangga Baru justru gagal meninggalkan sastra lama dan tanggung pula meraih khazanah barat.  Pekerjaan itu, sepenuhnya dituntaskan oleh Chairil Anwar, nyaris seorang diri.

Sepintas penelurusan di atas belum menunjukkan seluruh bacaan Chairil. Fakta lain yang bisa dilacak adalah buku-buku apa yang dimiliki oleh Sutan Sjahrir, pamannya, di mana Chairil sempat menumpang tinggal dan mendapatkan banyak arahan. Bukan hanya tentang buku yang harus ia baca tapi juga siapa yang harus ia temui di Batavia. Salah satu nama yang disebut Sjahrir adalah Sutan Takdir.  Nama-nama yang bisa kita lacak dari koleksi buku Sjahrir adalah James Joyce, Franz Kafka, D.H. Lawrence, Ernest Hemingway, dan Aldous Huxley. Sjahrir menyebut nama-nama itu dalam tulisannya yang terbit di Pujangga Baru, ketika dia masih dalam pembuangan di Banda.

 

Pujangga Baru dan Gerakan 80-an  

Dalam esainya yang ambisius Kesoesasteraan Baroe (Pujangga Baru, 1, 1933), Armjn Pane dengan jelas menyebut nama Willem Kloos (1858-1938) dan Jaques Perk (1859-1881) sebagai rujukan. Ia mengutip pengantar Kloos untuk kumpulan soneta Perk. Soneta itulah bentuk baru, vorm baru yang hendak digalakkan di tanah air menggantikan pantun, syair, seloka, dan bentuk-bentuk sastra lama. Armijn mewakili sikap Pujangga Baru, percaya bahwa sastra lama, bentuk-bentuk lama itu, sampai pada situasi yang jumud, beku, kaku, tak lagi cukup sebagai bahan dan rujukan.

Kloos dan Perk adalah eksponen penting dari Angkatan 80-an, atau Gerakan 80-an, atau De Tachtiger, sebuah gerakan penting di Belanda.  Gerakan ini berhasil mengakhiri sastra lama dan membawa kesusasteraan Belanda ke era modern.  Semangat pembaharuan itulah yang diambil oleh Pujangga Baru. Lengkap dengan meniru alat pergerakan berupa majalah  De Nieuwe Gids (Pandu Baru) yang terbit pertama kali pada 1885.  Gerakan itu sendiri dianggap dimulai pada 1982, tatkala Perk menerbitkan kumpulan sonetanya, dan di situ Kloos memberi pengantar sekalian pernyataan “program dasar” gerakan mereka.

Majalah De Nieuwe Gids selain diawaki oleh Kloos, juga diperkuat oleh Albert Verwey (1865-1937), Frederick van Eeden (1860-1932), Willem Paap (1856-1923) dan Frank der Goes (1858-1939). Mereka adalah anak-anak muda usia 20-an yang tak dapat tempat dalam arus utama sastra kala itu dan terkumpul di kedai kopi di Amsterdam. Nama-nama lain yang rutin menyumbang tulisan antara lain Lodewijk van Deyssel  (1864 – 1952). Tetapi sosok yang dianggap paling jenial di antara mereka adalah Herman Gorter (1864 – 1927) yang karyanya Verzen (1890), yang menyuarakan individualisme yang ekstrim, dianggap sebagai puncak dan penutup dari gerakan tersebut.

“…kekuatan Gerakan Delapanpuluh, yakni bahwa ia berhasil membuat penyelesaian dengan yang konvensional, dengan retorik, dengan klise,” ujar Gerard Termorshuizen dalam “Kian Kemari” (1973).

Bertahan delapan tahun, lalu bubar, De Tachtiger bergerak dalam rentng usia yang lebih pendek daripada Pujangga Baru. Yang membubarkan mereka adalah perbedaan sikap bagaimana menempatkan seni di dalam masyarakat. Kloos tetap percaya dan ingin terus  menegakkan prinsip seni untuk seni, kawan-kawannya berbeda pendapat.

Hasrat dan ambisi pada kebaruan memang menjadi api utama yang membakar para eksponen Pujangga baru. Seni baru. Puisi baru. Kebudayaan baru. Sastra baru. Frasa-frasa yang selalu muncul dalam tulisan para penggeraknya. Beberapa kali, seluruh isi majalah itu hanya diisi oleh satu tulisan Takdir,  misalnya ketika membahas soal Bahasa Indonesia baru. Terhadap Balai Pustaka, penerbit pemerintah kolonial itu, Pujangga Baru bersikap kritis. Armijn misalnya, pernah menyerang penerjemahan Don Quixote karya Cervantes apa yang disebutnya kuno dan karena itu tak relevan bagi pembaca Indonesia.

 

Jassin dan Tiga Buku Loak

Kerja menjawab pertanyaan di awal tulisan tadi juga bertambah menarik karena ternyata kita juga harus mencari jawaban tentang apa yang dibaca oleh H.B. Jassin. Kita tahu Jassin adalah orang yang bisa menangkap dan memahami kekuatan, keunggulan, dan pencapaian Chairil, ketika pihak-pihak lain pada masa itu umumnya belum bisa memahaminya. Buku apa yang dibaca Jassin saat itu sehingga dia punya dasar teori untuk masuk ke semesta estetika sajak-sajak Chairil yang belum ada presedennya itu?

Jassin memang selalu penting dan relevan untuk disebut ketika bicara tentang Chairil dan perkembangan puisi kita. Apa banyak alasan. Mula-mula, dia terlibat di semua periode yang ia bakukan itu. Ia mula-mula datang ke Batavia untuk bekerja di Balai Pustaka, pada 1940, selepas HBS di Medan.  Di situ ia bertemu Sutan Takdir Alisjahbana. Kedua tokoh ini sejak pertemuan pertama itu sudah saling mengagumi, terutama Jassin kepada Takdir. Takdir sendiri melihat Jassin dengan minat dan renjana pada sastra yang ia tunjukkan sebagai orang yang sangat ia butuhkan terutama sebagai administratur yang berwawasan.

Menurut Jassin, di Balai Pustaka itulah dia mendapat kesempatan membaca karya sastra dari Belanda yang lebih aktual. Di HBS dan AMS sastra yang diajarkan berhenti pada karya-karya angkatan 80-an, De Tachtigers. Maka, bisa kita duga bahwa Chairil Anwar pun hingga menamatkan HBS di Medan, lalu melanjutkan ke MULO di Medan lalu ke Batavia, wawasan bacaannya juga tak lebih dari itu.

Ketika Jepang masuk, Jassin panen buku milik orang Belanda yang meninggalkan Batavia dan dijual loakan di Pasar Senen. Saat itulah ia menemukan tiga buku berbahasa Jerman, Naturalismus (Walter Linden, 1936), yang mengulas soal naturalisme; Im Banne des Expresionismus (Albert Soergel, 1926), yang mengulas soal ekspresionisme; dan Neue Sachlichkheit. Saya kesulitan menemukan informasi buku yang dimaksud Jassin yang terakhir itu. Tapi ini kira-kira adalah buku tentang gerakan objektivitas baru (dalam bahasa Jerman: neue sachlichkheit) di Jerman, terutama di seni rupa pada tahun 1920-an sebagai reaksi menentang  ekpresionisme.

Tiga buku itu,  bagi Jassin adalah modal untuk mulai membuat peta dasar dari perkembangan sastra yang ia amati dengan jeli dan ia catat perkembangan-perkembangannya.  Bekal itu pula yang sudah ia punya ketika Chairil datang kepadanya membawa 20 sajak awalnya, termasuk Nisan (1942). Karena itu dia bisa menanggap hal baru yang ditawarkan Chairil dalam sajaknya itu.

Jassin yang saat itu bekerja di majalah Panji Pustaka mengusulkan agar sajak-sajak itu diterbitkan tapi Armijn Pane, pemimpin redaksinya menolak.  Dengan caranya sendiri Jassin kemudian menyebarkan sajak-sajak itu. Bisa kita bayangkan, sejarah Chairil mungkin akan berbeda, jika Jassin, juga seperti orang lain saat itu, tidak memahami atau menerima pembaharuan yang dijajal Chairil. Mungkin Chairil akan putus asa dan membuat percobaan lain, atau mungkin juga dia tak peduli karena sedemikian kuatnya rasa percaya dirinya, dan dia akan terus merangsek maju. Saya ingin menduga bahwa Chairil juga membaca buku-buku yang dibaca Jassin itu.

 

Marsman, Holst dan Huizinga

Kita sama tahu bahwa Chairil membaca banyak sekali sajak Eropa dan terutama Hendrik Marsman (1899-1940).  Jassin dalam buku “Chairil Anwar – Pelopor Angkatan 45” melacak dan mencatat bagus sekali apa saja dan siapa saja yang dibaca oleh Chairil, hingga ke sajak apa yang mempengaruhi apa yang ditulis Chairil, hingga kadar keterpengaruhannya. Maka berlintasannya nama-nama T.S. Eliot (1888-1965), W.H. Auden (1907-1973), Conrad Aiken (1889-1973), R.M. Rilke (1875-1926), F.G. Lorca (1898-1936), J.J. Slauerhoff (1989-1936), Ezra Pound (1885-1972),  dan lain-lain, seperti Edy Du Perron (1899-1940) dan Menno Ter Braak (1902-1940), tapi terutama Marsman. Pada Marsman, Chairil tidak hanya menemukan kecocokan tema-tema, nada, dan cara ungkap saja (ekspresionis), tapi juga kesesuaian kepribadian (vitalitas yang dirundung maut).  Marsman menerbitkan Verzen (1923), Paradise Regained (1927), dan Porta Nigra (1934) – Chairil terutama membaca sajak-sajak Marsman pada buku ini, dan terakhir Tempel en Kruis (1940).

Chairil kerap – mungkin selalu datang ke rumah Jassin – dan meminjam buku.  Ada satu suratnya yang menegaskan itu.  Surat bertanggal 15 Maret 1943 ia tinggalkan di rumah Jassin, ketika dia berkunjung dan tak menemukan orang. Rumah Jassin kosong dan dia membawa empat judul buku: 1) H.R. Holst, De nieuwe Gestroste, 2. H.R. Holst, Keur uit de Gedichten, 3. Huizinga, In de schadouw van Morgen, 4. Huizinga, Cultuurhistoriche Verkenningen.

Henriette Rolland (H.R.) Holst (1896-1952) adalah penyair perempuan Belanda yang pernah masuk nominasi untuk mendapatkan Hadiah Nobel Sastra. Dia juga aktivis politik yang bergabung dengan Sociaal Demokratische Arbeiderspartij (SDAP), hingga kemudian bergaul dekat dengan Rosa Luxemberg, dan Leon Trotsky.

Saya tidak menemukan judul kedua buku Holst yang disebut dalam surat Chairil. Yang ada: De Nieuwe Geboort (1903), sebuah buku esai yang  perjuangan yang   penyair muda yang bimbang antara kebahagiaan pribadi, individu dan penyerahan diri kepada komunitas, dua hal yang belum bisa disatukan.

Buku kedua juga mungkin salah sebut judul. Tak ada juga buku Holst yang berjudul itu. Yang ada adalah buku S.A. Baelde  yang tepatnya berjudul Keur uit de gedichten van Henriette Roland Holst-Van der Schalk (1928), yang jusru membahas sajak-sajak penyair perempuan itu.

Jika pelacakan ini akurat, maka apa yang kita bisa simpulkan dari bacaan Chairil adalah: sejak awal dia sudah bertarung dengan ideologi dan tahu benar bagaimana sebuah sajak ditimbang dalam ulasan dan kritik. Dia tidak hanya bergulat dengan hal ihwal estetika puisi belaka.  Itu yang sepertinya membuat dia keras dan kejam terhadap sajak-sajaknya sendiri.  Sedangkan kecendrungannya pada kepada sosialisme, bisa kita mengerti juga lewat sosok Sjahrir, pamannya yang sejak di Belanda sudah aktif di kelompok diskusi yang dibentuk oleh SDAP,

Adapun Johan Huizinga (1872-1945) adalah sejarawan dan teoritikus budaya Belanda. Bukunya In de schadouw van Morgen (1935) adalah buklet kritis yang membuatnya terkenal di Eropa. Buku itu terbit ketika tiga penguasa fasis berkuasa di Eropa. Dengan tegas ia menulis  tradisi unggul dalam peradaban terancam oleh situasi itu. Bukunya yang kedua , Cultuurhistoriche Verkenningen (1929), Huizinga memformulasikan kembali konsep sejarah yang kemudian menjadi sangat diterima di Belanda. Ia merumuskan sejarah sebagai bentuk spiritual di mana suatu budaya memperhitungkan masa lalunya.

Dari dua buku Huizinga itu kita bisa faham kenapa Chairil amat membenci penguasa fasis Jepang. Kebencian itu yang membuat Chairil menolak bergabung dengan Pusat Kebudayaan Jepang. Ia tegas dan tak mau tunduk pada kekuasaan Jepang dan mengkompromikan karyanya, apa yang justru oleh para pegiatnya sedang dicarikan jalannya. Kita ingat, di pertemuan bulanan Pusat Kebudayaan itulah ia pertama kali membacakan sajak “Aku” (1943) setelah menyerobot masuk sebagai peserta diskusi yang tak diundang.  Jassin ada di lembaga situ. Chairil kerap datang dan mengolok-olok mereka dengan kasar sebagai “anjing Jepang”. Ungkapan yang sama yang nanti dipakai oleh Sjahrir dalam pamfletnya “Perdjoangan Kita” (1945).

Chairil punya bekal teori dan memahami ancaman karakter penguasa yang demikian lewat buku Huizinga. Sedangkan pengetahuannya tentang sejarah kemungkinan mengarahkannya kelak membuat sajak-sajak dengan analisa sejarah seperti Diponegoro (1943), Merdeka (1943), Kita Guyah Lemah (1943), 1943 (1943), Kepada Kawan (1946), hingga Persetujuan dengan Bung Karno (1948). Ketika menyinggung sejarah atau situasi sosial politik sezaman, wawasan Chairil apa yang ia peroleh dari buku-buku yang ia baca mengisi sajaknya sehingga tidak menjadi retorika yang kosong.

Dari sebuah anekdot terkenal tentang aksi pencurian yang gagal dengan Asrul Sani, di toko Van Dorf, kita tahu, saat itu Chairil juga membaca Nietzsche, Also sprach Zarathustra: Ein Buch für Alle und Keinen (1883-1891), sebuah novel filosofis, yang mengisahkan perjalanan fiktif dan pidato-pidato Zarathustra, pendiri Zoroasterianisme.  Jika buku ini membawa perubahan moralitas tradisional dalam diri Nietzsche, maka bagi Chairil, sepertinya gugatan-gugatan soal moral dan dan krisis religiositas dalam dirinya yang terbaca dalam beberapa sajaknya, berasal dari buku ini. Kelak Jassin juga menerjemahkan buku ini, apa yang menandakan bahwa buku ini memang menjadi bahan diskusi di antara mereka sehingga mereka sampai pada kesimpulan bahwa di kalangan mereka seluas-luasnya perlu membacanya.

Akhinya, kita bisa melihat bagaimana Chairil Anwar mempersiapkan dirinya dengan buku-buku yang ia baca. Ia tidak hanya memantaskan dirinya untuk menjadi penyair tapi juga penelaah, kritikus, dengan wawasan kesusasteraan yang kaya dan luas, juga dengan bekal teori kritik, filsafat, dan analisa sosial yang  lengkap.  Ia sadar sastra Indonesia membutuhkan cara pandang baru, semangat baru, jalan ke arah yang baru dan ia dengan sadar ingin memulai itu.

Chairil meninggalkan beberapa jejak catatan, juga beberapa sajak yang ia sobek dari buku atau majalah, sebelum ia meninggal. Dari situ kita bisa menerka dia sedang mempersiapkan sebuah peralihan gaya dan tema baru. Dari Marsman-Perron-Slauerhoff di sajak-sajak awalnya ke Auden-Conrford-Rilke di sajak-sajaknya akhirnya.  Ia sudah coba pada beberapa sajak akhirnya yang relatif panjang dan bernada tenang, seperti “Slama Bulan Menyinari Dadanya”, “Aku Berkisar Antara Mereka”, “Aku Berada Kembali”,  dll. Di antara sajak yang sedang ia terjemahkan, ada  sajak T.S. Eliot “The Love Song of J. Alfred Prufrock” yang baru empat baris ia terjemahkan, dan “Gerontion” yang juga tak selesai berhenti di larik ke-7.  Pembacaan, penelaahan, dan perjemahan atas Eliot itu, juga Yeats, Auden, dan Rilke, di bulan-bulan terakhir hidupnya, mempertegas jejak rencana Chairil yang sedang ingin memasuki tahap baru dalam kepenyairannya.

Apakah Asrul Sani, Rivai Apin, dan Chairil saling berbagi bacaan? Menurut Ajib Rosidi dalam pengantar kumpulan esai Asrul Sani, “Surat-surat Kepercayaan Gelanggang” (1997), Asrul menerjemahkan sajak Eliot dan Marsman pada 1950-an, apa yang juga dilakukan oleh Chairil.  Saya kira di luar sajak-sajak dua penyair itu, Asrul, Chairi, dan Rivai Apin, sang penguak takdir  adalah pembaca yang lahap, dan saling berbagi bacaan juga.  Apalagi mereka sempat bersama menyiapkan dan sebentar mengelola Gema Suasana, sebelum Chairil keluar di setelah edisi kedua.  Kemudian bekerja sama lagi Dalam sebuah esainya “Soal Bacaan”, Asrul menulis:

Pada tahun 47 misalnya, jika Saudara di Jakarta pagi-pagu masuk ke dalam sebuah toko buku dan Saudara temui di sana buku yang Saudara ingin miliki, maka haruslah Saudara membelinya pada saat itu juga. Karena jika Saudara berfikir “ah, nanti sejam lagi saya kembali”, maka Saudara akan kecewa. Buku yang saudara kehendaki itu telah didahului orang.  Kaum kesusasteraan yang merasa dirinya tertinggal dan tidak lagi mempunyai pandangan yang up-to-date dalam kesusateraan luar negeri bersicepat mencari buku-buku baru.

 

Ketika Amerika membuka layanan perpustakaan USIS di Kedubesnya di Jakarta, segera saja itu menjadi persinggahan rutin favorit Chairil. Ke sanalah sastrawan kala itu datang jika ingin menekui buku-buku sastra dari luar negeri, sebagaimana disarankan kepada Sitor Situmorang oleh seorang kawan. Di situ juga Sitor bertemu Chairil yang tampaknya sudah biasa berkunjung dan sangat akrab dengan penjaganya. Di sanalah ia membaca, dan mencuri Auden, Ezra Pound, Eliot, dan karya-karya penyair lain. Ia bahkan mengajari Sitor bagaimana cara mencuri buku di situ.

 

 

Saya ingin menutup uraian ini dengan kutipan dari Hoppla!:

Sekarang: Hoppla! Lompatan yang sejauhnya, penuh kedararemajaan bagi Negara remaja ini. Sesudah masa mendurhaka pada Kata kita lupa bahwa Kata adalah yang menjalar, hidup, dari masa ke masa, terisi padu dengan penghargaan, Mimpi, Pengharapan, Cinta dan Dendam manusia. Kata ialah Kebenaran!!! 

 

 

Jakarta, April 2018

 

Daftar Bacaan:

  1. B. Jassin: Pertumbuhan Diri Sebagai Kritikus, Serbaneka Pengalaman di Balai Pustaka dalam Bunga Rampai Kenangan pada Balai Pustaka, (Balai Pustaka, Jakarta, 1992)
  2. Pujangga Baru; H.B. Jassin (Gunung Agung; Cet. 1 1963; Edisi Pustaka Jaya, Bakti Budaya Djarum Foundation; 2013)
  3. B. Jassin: Juru Peta Sastra Indonesia dalam Senarai Kiprah Sejarah, hal. 129-162 (Pustaka Utama Grafiti, 1993)
  4. Chairil Anwar: Aku Ini Bintang Jalang (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cet. 8, 2000)
  5. Kian Kemari – Indonesia dan Belanda dalam Sastra (Penerbit Djambatan, Jakarta, 1973).
  6. Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX; E. Ulrich Kratz, Ed. (KPG, Jakarta, Ford Foundation, 2000)
  7. Chairil; Hasan Aspahani (Gagasmedia, 2016).
  8. Surat-surat Kepercayaan, Asrul Sani (Pustaka Jaya, 1997)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *