Esai: Bicara tentang Sejarah Kritik Sastra

 


Catatan: Tampaknya majalah Horison sejak awal lahir dengan pikiran yang menyeluruh untuk mengembangkan kehidupan sastra yang sehat. Termasuk memikirkan dan mendudukkan fungsi kritik. Tulisan dan pemikiran tentang kritik yang baik bermunculan ditulis oleh beberapa sastrawan dan kritkus, salah seorang di antaranya Subagio Sastrowardoyo.  Tulisan tahun 1966 ini masih relevan untuk kita baca dan saat ini. 


Oleh Subagio Sastrowardoyo (1924-1995)

KELUHAN yang sering terdengar ialah bahwa kita kurang punya kritik sastra. Jumlah yang terbanyak yang diterima redaksi majalh sastra adalah sajak dan cerita, sedang buah pendapat tentang sastra berupa kritik atau bahasan jarang terdapat. Akibatnya terlihat pada produksi sastra yang menghiasi rak-rak toko buku tapi yang nampak terbengkalai saja karena tidak mendapat penggarapan pikiran kritik.

Kekecewaan menyaksikan kesepian kritik sastra itu diperdalam oleh keinsafan bahwa telah dapat disusun sejarah kesusastraan yang menempatkan pengarang dengan karangan-karangannya dengan jelas dalam urutan zamannya tetapi bahwa belum juga terlihat kemungkinan disusun sejarah sastra. Sejarah demikian akan memberi perspektif kepada tinjauan umum tentang sastra.

Barangkali justru kesadaran tidak adanya sejarah kritik itu menghambat timbulnya kegiatan kritik. Orang tidak punya pegangan pada aparat-aparat kritik, dan keseganan melancarkan kritik pada sastra sebagian datang dari kurang pengetahuan tentang azas dan cara mengeritik. Kemantapan dan kesibukan kritik sastra bisa bangkit dari pengetahuan sejarahnya.

Sejarah kritik sastra di negeri manapun menggambarkan corak-corak kritik yang berbeda-beda. Setiap bentuk kritik punya hak untuk berlaku sebagai kritik dan wajib dicatat peran sejarahnya. Justru azas dan cara kritik yang berbeda dan sering berlawanan itu membuktikan adanya sejarah dalam dunia kritik.

Dalam mengharapkan kegiatan kita cenderung mengikatkan diri pada pengertian-pengertian kritik yang terlalu tegang. Kita menuntut penelitian yang menganut metode yang tegas dengan uraian pikiran yang dingin. Tetapi kritik sastra tidak selamanya demikian dan jarang adanya demikian. Kritik sastra kebanyakan mengikuti sifat obyek penyelidikannya. Bayangan imajinasinya tidak tahan dikungkung dalam bagan-bagan sistematik yang padat. Selalu ada yang menerobos jaringan pikiran. Karena itu kritik sastra banyak yang bersifat impresionistik, berupa kesan-kesan sesaat yang sempat ditangkap. Tidak jarang kritik demikian hilang kepadatan gagasannya karena digerogoti arus emosi. Ada pula yang menyorot karangan dari lapangan dan kepentingan lain dari sastra. Orang hendak memeriksa dan menilai sastra dari jurusan suatu mahzab filsafat. Dalam hal ini ukuran-ukurn dari luar dikenakan kepada sastra yang dituntut mematuhinya. Kritik demikian dengan sendirinya membawa serta prasangka-prasangka kekhasan perhatian. Prasangka-prasangka datang pula dari jususan psikoanalisa, dari sosiologi, dari politik, dari agama dan moral. Semua ragam kritik itu pada gilirannya dan menurut kepentingannya memiliki hak berlakunya sebagai kritik sastra.

Kritik sastra mengorganisir dunia seni menjadi dunia pikiran. Seni yang tak memperjelas diri membutuhkan tanggapan pengertian. Kritikus merumuskan pengertian itu dalam dalil-dalil Bahasa yang konvensionil. Ia memecahkan kekhasan dunia seni dan menyusunnya kembali dalam keumuman pikiran. Kritikus adalah dia yang menyorot dan menganalisa buah sastra dalam perspektif kesejarahan dan filsafat, tetapi juga dia yang sekedar memberi timbangan dan komentar. Soal tepatnya orang diberi julukan kritikus, pembahas atau hanya komentator saja adalah soal penentuan nilai dan gelar dan tidak bersangkutan dengan pengertian pokok.

Sejarah kritik sastra di luar maupun di dalam negeri sendiri menyadarkan kita akan berbagai kemungkinan bentuk kritik. Pelbagai asas penglihatan sastra telah menentukan perkembangan kritik sastra kita sejak semula. Dari anggapan popular bahwa sastra sekadar penghibur di waktu senggang saja, kepada kepercayaan magik bahwa fungsi sastra mengundang tenaga-tenaga dari alam gaib, sampai kepada tuntutan bersifat borjuis bahwa sastra harus mematuhi norma-norma Susila; dari syarat-syarat penerimaan naskah di Balai Pustaka, kepada cita-cita kebudayaan Pujangga Baru, sampai kepada surat kepercayaan Angkatan 45; dari pernilaian kolektif hasil sastra oleh almarhum Lekra, kepada pengistilahan dan kwalifikasi individual terhadap sastra modern oleh H.B. Jassin sampai kepada persaksian pengalaman pengarang yang bersifat subyektif oleh sastrawan-sastrawan, merupakan berbagai asas yang melandasi dan sekaligus juga mengandung kritik sastra.

Sejarah kritik sastra yang mencatat perkembangan kritik itu akan menyadarkan kita akan pelbagai kemungkinan ragam kritik dan akan memberikan kemantapan kepada penulisan kritik. ***

 

Sumber: Horison, No. 6, Desember 1966.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *