Esai: Pantun yang Tak Mati Sebagai Tugu Zaman Lalu

Pantun yang Tak Mati Sebagai Tugu Zaman Lalu

Oleh Hasan Aspahani

“KAMI akui keindahan pantun dan syair, gurindam, tetapi tempatnya ialah zaman yang lalu. Dalam zaman ini tiada pada tempatnya!” dengan tegas lantang Armijn Pane menutup tulisannya “Sonnet dan Pantun” (Pujangga Baru, I/2, Agustus 1933).

Lalu setelah seruan itu matikah pantun, syair, dan gurindam? Tidak. Tapi semangat mencari bentuk-bentuk baru yang digelorakan Pujangga Baru sejak itu menjadi meluas, menjadi obsesi.

Armijn dengan artikelnya seakan menjadi juru bicara kelompoknya dan generasinya untuk menyatakan bahwa kesusasteraan Indonesia bukan – dalam bahasanya – natuurmonument, bukan tugu, bukan batu bertulisan yang beku. “…kesusasteraan Indoensia ialah semangat hidup, yang menimbulkan vorm baru akan menjadi penunjukan dirinya,” ujar Armijn.

Apakah vorm baru, bentuk baru, jenis puisi baru yang menggantikan bentuk yang hendak dimasukkan lemari masa lalu itu? Pujangga Baru memilih soneta. Bentuk sajak Italia yang sama sekali tidak baru, yang sampai ke mereka lewat puisi-puisi para penyair Belanda.

Tapi kenapa soneta? Armijn bicara soal semangat zaman. Semangat baru. Semangat zaman yang baru. Ia bicara soal gelombang rasa, yang di dalam soneta bergulung berkejaran di dua kuatrin lalu memecah di dua terzina. Ia mengutip Willem Kloos, salah seorang penyair eksponen angkatan 1880, atau Pergerakan ’80, di negeri Belanda.

Pantun, kata Armijn, tak bisa mengalirkan gelombang rasa yang demikian. Tak ada klimaks yang seperti itu dalam pantun. Tak ada perasaan yang dituntaskan, yang pecah dan habis dihempaskan. Pembagian sampiran dan isi justru meredam perasaan itu.

Pujangga baru tak ingin lagi menahan diri, tak hendak lagi meredam perasaan, mereka ingin puisi yang bicara lantang. Ini ada kaitannya dengan bangkitnya keberanian dalam bidang lain: pergerakan nasional.

Pilihan itu tidak baru sesungguhnya. Muhammad Yamin sudah mulai menulis soneta. Itu sebabnya ia kerap menyebut diri pendahulu Pujangga Baru dalam hal ini. Yamin dalam puisinya juga melakukan perubahan orientasi sikap, dari menyeru solidaritas anak negeri Sumatera ke perhatian pada tanah air yang lebih luas, persatuan nusantara yang senasib sepenjajahan. Sikap itu pula yang menggerakkan Pujangga Baru.

Dua tahun berselang, dalam Pujangga Baru II/10, April 1935, menjelaskan tentang Pergerakan 80. Penjelasan itu tampaknya dinilai penting untuk menegaskan sikap Pujangga Baru, dengan menjelaskan sumber gerakan yang mengilhaminya. Tak jelas siapa penulisnya, sebab disamarkan dalam inisial R.D. saja.

Intinya adalah ya semangat baru itu. Disebutkan, sastra belanda sebelum Pergerakan ’80, adalah sastra yang lahir dari hidup yang lamban, tidak bergelora, terkungkung oleh tujuannnya dan bentuk-bentuk perkataan yang tetap.

Kemajuan ekonomi Belanda, meningkatnya kesejahteraan, yang antara lain berkat mengalirnya uang hasil gula, teh, kopi, dan tembakau, di negeri jajahan Indonesia, lalu terbukanya jaluar pelayaran, berdirinya perusahaan pelayaran besar, telah mengubah masyarakat Belanda dan juga sastranya.

Pujangga Baru ingin mengambil semangat perubahan itu. Tapi berbeda dengan gerakan ’80 yang berubah karena masyarakat yang berubah, Pujangga Baru ingin mengubah masyarakat dengan mengubah sastra, meninggalkan pantun, syair, gurindam, bentuk lama yang tak menggelorakan itu. Bentuk-bentuk beku yang melenakan, yang hanya didendangkan di kedai ikan sambil menunggu pembeli, kata Armijn.

Pantun tidak mati. Soneta memang sempat menjadi jalan dan membawa semangat baru. Tapi perubahan yang besar, cita-cita dan pekerjaan Pujangga Baru justru kelak dituntaskan oleh Chairil Anwar, yang oleh Jassin disanjung sebagai pelopor angkatan ’45. Chairil meneruskan semangat mencari bentuk-bentuk baru yang digelorakan Pujangga Baru.

Tapi Chairil tak meninggalkan syair dan pantun. Ia menjadikan khazanah  sastra lama itu menjadi bahan dasar untuk ia hibrid dengan bentuk-bentuk baru, menjadi bentuk lain yang lebih segar. Ia mengolah syair dan pantun. Ia tak terkungkung bentuk, ia memperbaharui bahasa yang ia pakai dalam sajaknya.

Ia, sebagai mana disebut Sapardi Djoko Damono, pada puncak-puncak kematangan karyanya, berhasil menaklukkan konvensi persajakan lama itu. Ia menulis sajak bebas, tapi sebenarnya ia menulis dalam bentuk pantun atau syair, tapi sama sekali tak terasa sebagai pantun dan syair.

Ia memberi nafas baru. Chairil tak menjadikan syair dan pantun sebagai natuurmonument, sebagai tugu batu, juga tak meninggalkannya sebagai masa lalu, ia meruntuhkannya, dan menyusunnya kembali menjadi bagian untuk monumen baru.

Jakarta, 12 Juli 2021.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *