Puisi: Mempelajari Silsilah Api – Ilham Rabbani (l.1996)

Ilham Rabbani (l.1996)
Mempelajari Silsilah Api

: Lombok

/1/
Tetapi,
setelah penaklukan itu
bukankah catatan keturunan
hanyalah kitab lusuh, yang jatuh,
kita pungut dan tafsiri,
secara sendiri-sendiri?

/2/
Mempelajari silsilah
ialah menyepakati
akar sebagai permulaan
yang menopang batang,
ranting, juga daun-daun kering: kita
dan mereka yang telah terpelanting
dari hari-hari genting.

Di atas Tanah Mirah,
lamat-lamat kita pun
menyalakan api:
tanah yang mula terapung
diikat tali, dipasak Rinjani
oleh Hyang Pasupati,
menjelma pembakaran,
menjelma pembakaran,
menjelma pembakaran.

Sepetak negeri
sengit mewariskan api:
di dada kiri Lala Seruni;
dan kelebatan rotan
Cupak lawan Gurantang.

/3/
Maka kita
mulai memberi tanda
pada yang terikat nama,
pada yang terjangkau oleh mata.

Kita memagari apa-apa
yang terangkum oleh lengan-angan,
membagi segenap yang teraba,
menepis yang dirasa berbeda.

“Ketakutan dan kehilangan
mulai merambati
dinding dingin jantung kita.”

/4/
Lantas siapakah
yang berkehendak
berada di pihak Cupak?

Jalan ke namanya
tinggallah lorong tunggal
yang tanggal dari kemungkinan.

Kita mulai manipulasi gerak suratan
yang semula sembarang
ke arah tangkas gerak Gurantang,
ke arah jatmika si Sandubaya:
kita berebut darah biru,
berebut tinta emas
pada nama leluhur teratas.

Dakuan lalu terbit
dari celah sepasang gunung
seperti matahari,
sementara cela tenggelam
pada tiap penghabisan lautan:
tanah api, disinar-kitari
matahari-matahari.

/5/
Tetapi memang,
senantiasa ada yang dilupa:
masa lalu yang rentan
disulap dan menghilang
jadi angin dan angan-angan
seperti Anjani,
seperti Anjani.

Tubuh kita: area sengketa
lantaran nama-nama dakuan
terpaut dari ujung rambut
sampai ke dalam palung jantung.

“Dan pemungkas kita
adalah riuh,
pemungkas kita
adalah tuduh-menuduh:
nyala api yang membakari diri.”

Praya–Yogya, 2019–2020

Sumber: Kibul.in, 14 Juni 2020.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *