Puisi: Tan (1-3) – Tjahjono Widarmanto

 Tjahjono Widarmanto

Tan (1)

sejak kanak-kanak aku selalu membayangkan
sebagai pengelana jauh yang tak butuh tubuh
tak pernah berencana kapan saat pergi
tak pernah mencatat kapan akan datang
sejak dilahirkan sebagai bayi aku tak pernah takut pada mati
sebab malaikat maut selalu duduk di pinggir ranjangku mendongeng
tentang kisah cinta romantik atau kisah para koboi
melecut kuda meringkik di padang sabana sambil menjentikkan pistol
sejak akrab berkawan dengan gelap petang dan malam
aku menjelma bayang-bayang berterbangan tak butuh tubuh
sebab tubuh tak sanggup penjarakan jiwa seperti anggapan orang dungu itu
yang menerka penjara bisa meringkihkan hasrat
tak ada malam yang kutakutkan setelah jadi kawan
mencatatkan apa yang mereka sebut: revolusi
padahal bagiku itu sekedar permainan petak umpet belaka
telah kutanggalkan tubuh yang tak lagi kubutuh
sebab itu aku hanya melengos tak peduli
saat kalian akan menanam jasadku di bawah pohon-pohon pisang
atau di dasar comberan sekalipun
: kalian terlalu dungu berharap warna merah jadi hitam di lumpur.
sejak aku tak butuh tubuh, aku paham
sejarah selalu lamban dan terlambat mencatat peristiwa!

Tan (2)

penjara-penjara itu hanya cangkang
yang tak bisa mengubah putih telor jadi hitam
tak bisa mencegah tumbuh sayap
tak sanggup jadi tirai penghalang mata nyalang
letup senapan dan panas mesiu
telah memahatmu dalam sejarah
walau kuburmu tanpa nisan
mustahil kaburkan ingatan
segenap aksara tak cukup menuliskannya
namun di setiap ingatan
kau telah pancangkan lonceng besar
berdentang menggelisahkan tidur panjang.

Tan (3)

kusimak bau rerumputan, semak dan lumpur tanah
sebab dari sanalah bisa dihafal kembali sejarah
yang lolos dari pengetahuan anak-anak sekolah
dan tak satu pun tukang kaba atau juru cerita meriwayatkan
sesuatu yang hilang sebelum sempat diberi nama
aku sudah mencoba menyapa kusno
: “terimalah warisan ini, lenguh dan derap langkah.”
tetapi mereka terlalu banyak mengeluh dan mencatat
lalu bermimpi bahwa revolusi bisa berjalan damai dan perlente
mereka juga tak pernah tahu
kompas yang patah jarumnya itu
telah kusimpan di saku celana
dan, betapa bodohnya mereka
saat mendekati senja di dingin yang ganjil
meletupkan pistol dan menguruk tubuhku
kompas yang patah jarumnya
yang kusimpan di saku celana itu
turut dihisap lumpur
mulai saat itulah, mata mereka yang dekil
tersuruk kehilangan mata angin.
Sumber: Koran Tempo, 5 April 2015

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *