akulah si telaga: berlayarlah di atasnya;
berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan
bunga-bunga padma;
berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya;
sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja — perahumu
biar aku yang menjaganya(Akulah Si Telaga – Sapardi Djoko Damono, dari buku “Perahu Kertas”; Balai Pustaka, 1983)
DI MANAKAH letak nilai puisi yang bagus? Yaitu di antara menjejalkan segala-galanya kepada pembaca dan kegelapan yang tak bisa dimasuki, antara yang terang-benderang di titik sini dan yang gelap-gulita di titik sana, antara yang selempang pengumuman dan yang rumit tak bisa dimengerti, antara puisi yang terlalu menghamba pada pembaca dan puisi yang tak peduli pada pembaca.
Ada titik di ujung sana, dan titik lain di ujung sini. Di antara kedua titik itulah penyair meletakkan puisinya. Tidak pernah ada titik yang pasti, tapi pasti ada satu titik yang ditempati puisi di antara dua ujung itu. Proses menyair adalah percobaan yang terus-menerus dan puisi adalah hasil percobaan itu. Tentu saja ada percobaan yang berhasil dan ada yang gagal.
Penyair harus menyadari ada dua titik itu dan harus pula ia sadar akibat fatal yang bisa kena pada puisinya bila ia melampaui dua titik tersebut. Apa itu? Ia menghasilkan puisi yang buruk!
Puisi buruk adalah puisi yang sedemikian gelapnya sehingga tidak bisa dimaknai, tidak bisa dimengerti, dan pada titik lain, puisi buruk adalah puisi yang terang-benderang, yang artinya penyair tak memberi pilihan lain, menjejalkan segala-galanya begitu saja kepada pembaca.
Kita di sini bicara soal hubungan penyair dan pembaca lewat puisi. Dengan kata lain, kita bicara soal komunikasi. Memang, “dalam puisi, pada mulanya adalah komunikasi,” kata Goenawan Mohamad. Kita bisa baca esainya “Pada Mulanya adalah Komunikasi” dalam buku “Kekusastraan dan Kekuasaan” (PT Pustaka Firdaus, Jakarta, 1993).
“Karena itu, puisi yang tidak palsu dengan sendirinya dan sudah seharusnya mengandung kepercayaan kepada orang lain, pembacanya,” katanya. Goenawan menyebut puisi palsu, saya kira kata ‘palsu’ bisa kita tukar dengan kata ‘buruk’.
Demikianlah, penyair percaya bahwa pembaca puisinya bisa menerima bahkan menikmati puisi dan pesan yang ada dalam puisinya. Niat awal dari penyair adalah keinginan untuk berkomunikasi dengan pembacanya lewat puisi, bukan sekadar unjuk gaya, bukan untuk unjuk kemampuan, berakrobat kata-kata.
Komunikasi dalam puisi tentu saja bukan sebuah komunikasi yang praktis. Ini komunikasi tak langsung di mana dua pihak langsung berhadapan. Pertemuan puisi dan pembaca seperti seseorang menemukan surat dalam botol di sebuah pantai. Penyair adalah orang yang melempar botol itu dari sebuah kapal entah di mana.
Komunikasi adalah fungsi utama bahasa. Dalam puisi selain menjalankan fungsi itu, penyair punya kesempatan untuk menggunakan – atau memaksimalkan – fungsi lain dari bahasa, yaitu fungsi estetika.
Bagaimanakah fungsi estetika bahasa itu dihadirkan? Dengan memberdayakan perangkat puitika, alat-alat kerja yang disediakan oleh bahasa, sekedar menyebut beberapa di antaranya: diksi, rima, ritme, metafora, simile, berbagai gaya bahasa, alusi, pembaitan, repetisi, asonansi, ambiguitas, kolokasi, jukstaposisi, dll.
Pemakaian perangkat yang pas, tepat, dan wajar, menghasilkan puisi yang berkomunikasi dengan cara khas, cara yang berbeda. Itulah yang disebut gaya ucap. Ini menyempurnakan kebagusan sebuah puisi.
Puisi yang bagus pada akhirnya mematangkan prestasi kepenyairan seorang penyair. Puisi-puisinya mencerminkan suatu gaya. “Setiap gaya mencerminkan suatu kepribadian, setiap kepribadian tumbuh dan hanya bisa benar-benar demikian bila ia secara wajar berada dalam komunikasi,” kata Goenawan dalam bagian lain esainya.
Harus ditegaskan bahwa pencapaian penyair tidak diukur dari seberapa mudah atau sebaliknya kegagalan penyair jug tidak diukur dari seberapa susah puisinya berkomunikasi dengan pembacanya.
Puisi harus bisa berkomunikasi secara wajar, akan tetapi prestasi penyair atau kematangan seorang penyair tercapai apabila penyair bisa memeragakan gaya ucap yang khas dalam puisi-puisinya. Gaya ucap yang tumbuh dalam kewajaran bukan gaya yang sekadar beda dari gaya penyair lainnya.
Penyair bukanlah orang yang berada pada posisi untuk mengelabui pembaca puisinya. Penyair bukan seorang yang mengacaukan kepingan gambar untuk disusun kembali menjadi gambar yang utuh oleh pembacanya. “Akrobatik kata-kata untuk dengan sengaja membikin gelap suatu maksud sajak menunjukkan tidak adanya kejujuran,” kata Goenawan.
Penyair dan sajaknya memang punya hak atau kebebasan untuk menyimpangkan, menciptakan, dan menggandakan arti dari gramatika yang lazim, dengan cara memberdayakan perangkat puitika tadi itu untuk membuat jalannya komunikasinya dengan pembaca menjadi mengasyikkan, bukannya sengaja bikin gelap dan membuat pembacanya merasa bodoh dan tak berdaya.
Apakah kamu merasa bodoh ketika membaca sajak “Akulah Si Telaga” karya Sapardi Djoko Damono yang membuka tulisan ini? Coba perhatikan, perangkat puitika apa aja yang dipakai oleh penyair di sajaknya itu dan apa yang disumbangkan oleh perangkat itu bagi puisi tersebut?
Aku melihat dan terpesona pada satu hal: sinestesia pada “berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya”. Sapardi mempertukarkan imaji penciuman dan penglihatan. Mempertemukan indera penciuman (harum) dan penglihatan (cahaya). Hasilnya adalah betapa efektifnya suana tedu dan tenang dihadirkan, memperkuat gambaran telaga yang menjadi latar bahkan subjek sajak ini.
Sajak ini bukan sekadar gambar apa adanya sebuah telaga dengan bunga padma, perahu, riak air, dan lain-lain, maka selamatlah dia dari titik ekstrem yang pertama. Telaga itu sendiri telah diolah, dijadikan sosok yang hidup, dipersonifikasikan, dan dimetaforakan, tapi ia tak sampai jadi gelap hingga tak termaknai. Titik ekstrem lain juga bisa dihindari.
Apakah kamu merasakan keselarasan dalam sajak ini? Suasana yang membangkitkan ketenangan emosi? Kepercayaan pada hal-hal yang telah akrab? Jika kita menjalani hidup dengan cara seperti itu, maka apa yang perlu kita cemaskan? Kita pasti akan sampai, di seberang sana, di manapun seberang itu. Dan ini bukan satu-satunya tafsir yang bisa kau beri pada sajak ini. []
